Jika tetralogy karya Pramoedya Ananta Toer dituliskan di atas bambu, kira-kira bagaimana anda akan membacanya? Jika The Da Vinci Code ditulis di atas sutera, kira-kira berapa banyak orang sanggup membelinya?
Saya dan anda harus berterimakasih kepada Cai Lun, seorang kasim yang hidup di Cina pada era Dinasti Han Timur. Dialah penemu formula dan proses membuat kertas. Kalau saja Cai Lun tidak menemukan cara membuat kertas, saat ini kita tidak akan merasakan nikmat ketika menulis dan membaca.
Di Cina, sebelum Cai Lun menemukan kertas, kebanyakan tulisan diterakan di bilahan bambu atau helaian sutera. Itu berarti, pada masa itu, pengalaman membaca dan menulis adalah sebuah pengalaman yang mewah -jika media yang dipakai adalah sutera, atau sebuah pengalaman yang melelahkan -jika media yang dipakai adalah bambu.
Berkat temuan Cai Lun, medium untuk baca tulis menjadi lebih enteng dan murah. Kertas Cai Lun menyulut perkembangan sastra dan seni yang luar biasa di Cina. Dengan temuan yang revolusioner itu, peradaban Cina melaju lebih cepat ketimbang pada era sebelumya ketika tulisan lebih banyak diterakan di atas bambu.
Selain kepada Cai Lun, anda dan saya juga harus berterimakasih kepada Johannes Gutenberg. Berkat teknik pencetakan modern yang ia temukan dan menginspirasi perkembangan teknologi pencetakan berikutnya, buku-buku bisa dicetak secara massal dan lebih murah. Bisakah anda bayangkan, jika teknik pencetakan modern tidak pernah ditemukan, maka kira-kira butuh waktu berapa (puluh) tahun agar anda bisa membaca salinan novel serial Harry Potter yang ditulis tangan?
Nama Cai Lun dan Johannes Gutenberg mengingatkan kita bahwa keintiman manusia dengan buku, yang kita kenal sekarang, ditopang oleh semangat produksi dan distribusi massal yang murah serta nilai kenyamanan dari barang-barang yang mampu-cangking (portable). Tanpa itu, susah bagi kita untuk akrab dengan buku. Sehebat apapun sebuah buku dan sedahsyat apapun hasarat kita untuk membacanya, kita akan sukar menjangkaunya jika buku itu diproduksi dan distribusikan secara terbatas dengan harga sangat mahal serta tidak bisa dicangking.
Kemudahan untuk dicangking (portability) maupun produksi dan distribusi yang massal tidaklah menjadi bagian yang dipikirkan oleh Michael Hart ketika menemukan e-book pada 1971. Pusat perhatian Hart saat itu adalah mengelola ledakan informasi yang menandai abad 20. Pikirannya mengarah kepada pemanfaatan teknologi digital untuk mempermudah cara menyimpan dan menemukan kembali buku, serta mencari informasi yang ada di dalam buku.
E-book memberikan pengalaman baru dalam membaca; yaitu kemudahan menemukan kembali informasi yang ada di dalam buku. Sebelum ada e-book, kita harus mengandalkan ingatan dan jari-jari kita untuk membuka-buka halaman buku demi menemukan kembali informasi yang pernah kita baca. Dengan e-book, kita hanya perlu memilih perintah pencarian dan memasukan kata kunci yang ingin kita temukan. Lebih mudah, memang.
E-book juga memberikan pengalaman baru dalam mengoleksi buku. Kita tidak memerlukan ruang yang besar untuk mengoleksi ratusan atau bahkan ribuan e-book. Kita juga tidak perlu pusing untuk menemukan kembali e-book yang kita mau di tengah ratusan atau ribuan koleksi e-book kita. Komputer akan membantu kita untuk menangani urusan itu.
Selain memberikan pengalaman-pengalaman baru tadi, pada masa-masa awalnya, e-book juga merampas pengalaman-pengalaman lama kita dengan buku cetak. E-book tidak memberikan rasa intim karena kita tidak leluasa untuk membacanya. Kita tidak bisa membaca e-book sambil menyandarkan leher dan menjulurkan kaki kita di sofa. Ini terjadi ketika PDA (personal data assistence) belum mewabah dan e-book reader -semacam Sony Reader atau Kindle- belum dikembangkan.
Banyak orang malas beralih dari buku cetak ke e-book karena persoalan portablitas ini. Repot rasanya memiliki buku yang tidak bisa dicangking. Agarknya hal ini juga yang membuat Barnes & Noble menutup penjualan ebook di toko buku onilinenya pada tahun 2003, padahal tiga tahun sebelumnya toko buku besar ini begitu menggebu-gebu untuk menjual ebook yang bisa dibaca oleh software Microsoft Reader.
Meluasnya penggunaan PDA dan di produksinya berbagai e-book reader memberikan jawaban atas problem portabilitas e-book. Dengan perangkat yang gampang dicangking itu banyak orang merasa bisa lebih intim dengan e-book, meskipun masih ada keluhan untuk beberapa urusan kenyamanan dalam melihat teks -yang sekarang terus dibenahi dengan teknologi display e-ink. Bersamaan dengan itu boleh jadi pelan-pelan e-book lebih bisa diterima oleh banyak orang.
Namun kehebohan di seputar e-book baru benar-benar menggelora -terutama di Amerika Serikat- sejak toko buku online Amazon.com mengeluarkan e-book reader yang diberi nama Kindle. Dalam waktu relatif singkat sejak diluncurkan, Kindle habis tandas diburu orang. Setidaknya ada dua keunggulan yang membuat Kindle menjadi cukup sukses pada awal peluncurannya.
Pertama, pengguna Kindle tidak memerlukan komputer tambahan untuk mendownload e-book yang dibelinya. Sebelum Kindle, e-book dibeli lewat Internet dengan menggunakan personal computer atau laptop dulu; setelah itu baru dimasukan ke e-book reader.
Kedua, pengguna Kindle merasa terjamin oleh nama besar Amazon.com yang punya reputasi baik dalam menyediakan bermacam-macam buku. Siapapun tidak akan pernah memebli perangkat khusus e-book reader jika tidak ada jaminan bahwa buku-buku bagus yang mereka minati akan tersedia dalam format e-book, bukan?
Meskipun baru bisa dirasakan oleh penggila buku di Amerika Serikat, Kindle barangkali menjadi contoh adanya terobosan bagi penggila buku yang berminat untuk pelan-pelan beralih ke format e-book. Namun sejauh ini, e-book masih mengabaikan aspek sosial dari buku.
Kepemilikan e-book berbeda dengan kepemilikan buku cetak, misalnya. Isu kepemilikan, hak pakai, dan hak cipta memang merupakan isu yang pelik di era digital. Ketika kita sudah membeli sebuah buku cetak, maka kita sudah sah untuk memiliki secara penuh buku itu. Kita boleh bertukar buku dengan teman kita. Kita boleh meminjamkan buku. kepada siapapun. Tapi tidak demikian dengan e-book. Ketika kita membeli sebuah e-book, kita hanya diberi hak untuk membacanya di sebuah komputer atau e-book reader. Kita tidak diperbolehkan berbagi, menghibahkan, meminjamkan atau bertukar e-book dengan lingkungan di sekitar kita.
Masih di seputar aspek sosial sebuah buku, saya juga belum bisa membayangkan bagaimanakah seorang pengarang akan membubuhkan tanda tangannya di e-book yang sudah dibeli oleh penggemarnya. Saya kira, anda juga tidak bisa membayangkan bagaimana membubuhkan sedikit ucapan selmat ulang tahun di e-book yang anda hadiahkan kepada seorang teman.
Banyak analis meramalkan bahwa e-book di masa depan akan memberikan pengalaman membaca yang berbeda, yang melibatkan multimedia di dalamnya. Saya punya ramalan yang berbeda. Pengembangan e-book dalam waktu dekat, menurut perkiraan saya, akan mengarah kepada upaya untuk memenuhi aspek sosial buku -yang belum terjamah oleh ebook selama ini. Para pengembang teknologi e-book akan memadukan buku sebagai bacaan dan trend Internet sebagai sebuah "komunitas percakapan global".
E-book di masa depan akan menyediakan jendela yang memungkinkan pembacanya untuk langsung bersosialisasi secara virtual dengan pembaca lain yang sama-sama sedang membaca judul e-book yang sama. Para pembaca e-book yang sama bisa saling mendiskusikan bab demi bab -bahkan halaman demi halaman- e-book yang sedang dibacanya. Bergaul secara virtual memang adalah aspek sosial buku yang paling mungkin dapat diberikan oleh teknologi informasi dan komunikasi saat ini.
Kita bisa memimpikan e-book macam apa pun di masa depan. Tetapi, jangan pernah memimpikan matinya buku cetak di masa depan. Buku cetak akan tetap hidup di masa depan seperti halnya radio masih hidup di era televisi dan multimedia interaktif saat ini.
(Dimuat di Ruang Baca Koran TEMPO edisi 30 Maret 2008)