Sudahlah. Penjualan e-book sudah pasti meningkat berlipat-lipat ketimbang waktu-waktu sebelumnya. Itu masuk akal kok. Coba tengok: harga e-reader makin murah, bahkan konsumen cukup mendayagunakan ponselnya untuk membaca e-book, dan judul-judul buku yang terbit dalam format e-book makin banyak.
Pada saat yang sama penjualan buku fisik mungkin menurun. Di Inggris, ketika penjualan e-novel naik lebih 3 kali lipat, penjualan buku fisik tahun 2011 turun lebih dari 10% ketimbang 2010.
Meski penjualan e-book cenderung naik dari tahun ke tahun, namun konstribusi omset e-book belumlah menjadi mayoritas. Di Amerika Serikat yang penjualan seluruh jenis buku tahun 2011 turun 2,5% ketimbang 2010, di kategori novel dewasa, e-book menyumbang 30% omset penjualan. Sedangkan di kategori buku-buku yang ditujukan untuk anak-anak, e-book hanya menyumbang 15% kepada omset penjualan.
Dari sisi omset, e-book belum menjadi mayoritas penyumbang hasil penjualan. Tapi dari sisi oplah terjual, di toko buku amazon.com, e-book sudah melampaui capaian buku cetak. Setiap 100 buku cetak terjual, ada 114 e-book yang di-download pembeli.
Yang perlu dicatat juga bahwa tidak semua pembeli e-book sebegitu fanatik sehingga hanya mau membeli buku dalam format e-book. Sebuah laporan yang diterbitkan akhir Juli lalu oleh Book Industry Study Group memperlihatkan bahwa ada penurunan pembeli e-book yang melulu hanya memilih buku berformat e-book. Pembeli e-book kelompok ini pada Agustus 2011 mencapai 70%, sedangkan pada Mei 2012 turun menjadi 60%. Sebaliknya, pembeli e-book yang masih mau membeli buku dalam format cetak malah naik persentasenya. Semula 25% menjadi 34%.
Ini sekadar memperlihatkan bahwa, di negara-negara yang masyarakatnya sudah gandrung dengan e-book sekalipun, penerbit buku cetak masih belum akan mati gara-gara e-book. Setidaknya, belumlah dalam waktu dekat. Nah, apalagi di Indonesia.
Tentu saja ini tidak berarti bahwa para penerbit tradisional boleh mengabaikan trend penerbitan e-book. Era digital memberikan banyak tantangan kepada penerbit untuk membidik peluang-peluang baru. Bagi penerbit, era masa kini bukanlah sekadar era mengkonversi buku cetak menjadi dokumen digital. Tidak sesederhana itu. Ada sejumlah perubahan yang sedang terjadi di tengah para pembaca buku yang harus direspon oleh kalangan penerbit.
Menjadi Content Provider?
Preferensi pembaca untuk memilih sumber bacaan dan format informasi berubah. Internet telah menyediakan begitu banyak bacaan dan informasi bagi mereka. Ini cukup memberi alasan bagi banyak pembaca untuk tak lagi membeli beberapa jenis buku -baik berformat cetak maupun e-book. Untuk beberapa jenis kebutuhan informasi, mereka bahkan sudah tak lagi menjadi pembaca teks; mereka mungkin menjadi penonton di Youtube; atau mereka mungkin menjadi pengguna aplikasi tablet.
Untuk mengantisipasi ini, beberapa penerbit buku membangun divisi baru yang bertanggungjawab untuk mengantisipasi kebutuhan pengembangan aplikasi-aplikasi komputer yang menjadi turunan dari buku yang mereka terbitkan. Bahkan bisa jadi perkambangan itu pun mendorong penerbit buku untuk mengevaluasi visi mereka dan menafsirkan ulang apa yang selama ini disebut sebagai “penerbit buku”. Selain tetap bertahan dalam pengertian tradisonal penerbit buku dengan tambahan format baru digital, salah satu opsi lain bagi penerbit buku di era digital adalah bertransformasi menjadi content provider yang siap untuk dicocokan dengan berbagai platform.
Membaca dan Menulis di Era Jaringan Sosial
Kultur media sosial yang dijalani oleh sebagai besar pembaca muda juga telah membuat perilaku membaca berubah. Semula, kita tahu, kegiatan membaca adalah kegiatan penyendiri: Si pembaca membaca buku sendirian; mencernanya sendirian; menikmatinya sendirian pula. Gara-gara itu, kutubuku seringkali digambarkan sebagai orang aneh penyendiri.
Sekarang tidak lagi harus begitu. Kegiatan membaca adalah kegiatan sosial. Di media sosial sekarang pembaca saling berinteraksi dengan pembaca lainnya bukan hanya soal buku yang sudah selesai mereka baca, melainkan juga buku yang sedang mereka baca. Para pembaca bisa membaca, mecerna, dan menikmati sebuah buku secara bersama-sama dengan sesama pembaca maupun penulisnya. Sekarang kutubuku lebih sering digambarkan sebagai orang keren. Inilah yang disebut social reading. Beberapa pihak saat ini sedang mengembangkan platform yang akan membuat social reading semakin mulus dan menarik untuk dilangsungkan.
Bagi penerbit, perbincangan yang seru tentang sebuah buku di media sosial macam itu akan bersinggungan dengan urusan promosi, layanan pembaca dan penulis, dan juga pastilah penjualan. Mereka yang bekerja di bagian promosi dan layanan pembeli di industri ini harus menguasai betul karakter komunikasi media sosial. Mereka yang bertanggungjawab di bagian penjualan harus menyiapkan strategi yang akan memudahkan siapapun untuk membeli buku yang sedang menjadi bahan perbincangan seru itu.
Social reading dan keasikan orang hidup di media sosial, sekecil apapun, akan mempengaruhi penjualan di toko buku berlantai. Terlebih jika kelompok pembaca yang hidup asik di media sosial ini juga lebih menyukai toko buku online ketimbang toko buku berlantai. Tingkat kunjungan pembeli ke toko buku berlantai akan menurun. Penjualan yang biasanya diperoleh dari kelompok impulsive buyer di toko buku berlantai pun mungkin akan berkurang karena keputusan untuk membeli buku tertentu sudah dibuat sejak mereka berada di media sosial.
Pergeseran perilaku pembaca macam itu, bagi penerbit, seharusnya merupakan peluang. Kenapa? Media sosial dan perilaku social reading memberikan ruang lebih lebar bagi penerbit untuk menampilkan bukunya ketimbang rak-rak di toko buku berlantai.
Bagaimanapun, rak-rak di toko buku itu terbatas. Perluasannya tidak seimbang dengan pertumbuhan judul buku yang diproduksi penerbit. Itu sebabnya pengelola toko buku berlantai semakin memperketat diri dalam menerima buku yang akan dipajang di rak tokonya, dan makin mempercepat masa pajang bagi buku-buku yang tidak memenuhi kriteria penjualan mereka. Sementara media sosial tak mempunyai keterbatasan ruang semacam itu. Lagi pula, selama sebuah buku menarik untuk diperbincangkan –apalagi jika pengarangnya juga cukup aktif berinteraksi, maka buku tersebut akan selalu tampil di media sosial. Tantangan bagi penerbit adalah mengubah perbincangan menjadi penjualan.
Budaya jaringan dan media sosial bukan melulu menyodorkan perilaku baru dalam membaca buku. Seperti juga berlaku pada bidang-bidang lain, budaya ini juga menumbuhkan tuntutan agar konsumen dalam kadar tertentu “didengar” dan “dipertimbangkan” dalam pengambilan keputusan yang menyangkut produksi. Dalam hal penerbitan buku, budaya ini menuntut agar dalam kadar tertentu pembaca dilibatkan dalam proses penulisan buku.
Seperti juga membaca, dalam budaya jaringan dan media sosial, menulis juga bisa bukan lagi kegiatan penyendiri. Penulis melibatkan calon-calon pembacanya dalam proses penulisan. Sebelum naskahnya benar-benar siap untuk diterbitkan, penulis bisa bolak balik meminta masukan dari komunitas calon pembeli bukunya atas karangan yang sedang dia susun. Inilah model kerja penerbitan yang sedang hangat diperbincangkan di kalangan penerbit belakangan ini: agile publishing.
Agile publishing berbeda dengan menulis dan menerbitkan secara keroyokan. Penulis tetap bekerja sendiri namun dalam proses penulisan ia sungguh melakukan perbicangan dengan komunitas calon pembeli bukunya. Model kerja macam ini diyakini akan menghasilkan buku yang sesuai dengan kebutuhan pembaca dan mempercepat masa penulisan.
Penerbit jelas harus punya peran dalam model agile publishing ini. Penerbit harus memberikan dukungan dan sumber daya, teknis maupun kreatif, dalam mengembangkan dan menumbuhkan perbincangan antara penulis dan komunitas pembacanya itu.
Dibunuh oleh Self Publishing?
Di era digital, tentu saja dalam format e-book, buku lebih mudah disebarkan. Tak ada proses menggandakan buku yang makan banyak biaya. Dalam format digital, buku tidaklah digandakan, melainkan cuma disalin. Penerbit hanya perlu menyediakan satu file saja untuk masing-masing satu judul e-book. File itu tak akan hilang jika ada seorang pembaca membelinya. Sebab pengecer maupun pembaca yang membelinya, pada dasarnya, hanyalah menyalin file tersebut.
Itu artinya menerbitkan e-book jauh lebih murah ketimbang menerbitkan buku cetak. Wajar jika penulis tergoda untuk melakukan self publishing dalam format e-book: biaya terjangkau dan potensi royalti lebih besar. Belakangan juga beredar kabar beberapa penulis di luar negeri meraup banyak uang dari self publishing bukunya dalam format e-book.
Kalau begitu, apakah penerbit masa kini masih dibutuhkan oleh penulis? Apakah self publishing akan membunuh penerbit di era digital?
Self publishing tak akan membunuh penerbit. Alasannya yang paling mudah adalah tidak semua penulis punya waktu dan keahlian dalam menerbitkan buku. Sepeti kita tahu, menjadi penerbit buku bukanlah melulu soal menggagas dan menulis karangan, menyusun tataletak buku, dan lalu menawarkannya kepada pembaca. Bukan cuma itu.
Menjadi penerbit buku adalah menghubungkan penulis dengan pembaca. Penerbit bertugas menyerap dan menganalisa kebutuhan pembaca dan mendorong penulis untuk menyediakan solusi atas kebutuhan itu. Penerbit juga bertugas untuk memastikan bahwa buku dan penulisnya dikenal oleh pembaca yang disasar. Penerbit harus juga memastikan bahwa ada cara yang tepat dan tempat untuk menjual buku yang gampang diakses oleh calon pembeli. Dan, penerbit harus memastikan pembayaran royalti bagi penulis dihitung secara jujur. Selama tugas-tugas itu bisa dilakukan oleh penerbit secara optimal dan efektif, maka selama itu juga penerbit tak akan pernah terbunuh oleh digital self publishing.
Bagi penerbit buku, mati kutu di era digital adalah pilihan. Yang mau mati, silakan. Yang mau terus berjaya, ya sumangga.
(Pertamakali diterbitkan di yayan.com. kemudian diterbitkan di majalah "Warta Buku" Edisi Januari Maret 2013 halaman 23-26)