John Naisbitt dan Patricia Aburdene maupun Rangga warsita, yakni mereka yang berbicara tentang 'hari esok', mampu mengusik banyak orang pada 'hari ini'-nya. Prediksi-prediksi mereka tentang masa depan berhasil merangsang orang berpikir keras untuk membuat ancang-ancang strategi masa depannya sejak dini.
Tom Schulman, penulis cerita pendek film Dead poets Society (DPS), justru mempercayai bahwa 'hari kemarin' pun dapat memacu kreativitas di masa kini. Masa lalu tokoh guru yang bernama John Keating telah memacu tujuh siswanya (Niels dan kawan-kawan) untuk mendobrak kebekuan-kebekuan sekolahnya yang telah mentradisi. Romantisme ala Schulman ini tidak saja merasuk pada tingkat gagasan, melainkan sampai pada dataran pergaulan yang real dari ketujuh siswa itu.
DPS, selain mengingatkan kita akan pentingnnya kebebasan berpikir dan berpikir bebas, agaknya berniat menunjukkan daya kreatif yang dikandung oleh romantisme. Namun film ini cukup jujur dengan mengemukakan sisi lain romantisme: daya fatalis, yang diungkapkan lewat tokoh Nolan (sang kepala sekolah) yang secara genjar mengumbar semangat kepatuhan kepada tradisi dengan men-tabu- kan segala hal baru yang menentangnya. Secara normatif, penulis cerita ini berpesan bahwa pada saat salah membaca peta kehidupan setiap orang bisa-bisa dibelenggu secara fatal oleh romantismenya, seperti halnya romantisme ala ratapan asmara dalam lagu-lagu pop kita. Lalu apa hubungannya DPS dengan pers mahasiswa kita saat ini?
Titik temu diantara keduanya terletak pada pandangan romantisme.
Seperti hal Neils dan kawan-kawannya dalam DPS, pers mahasiswa saat ini masih cukup dibayang-bayangi oleh zaman kegemilangan 'kakak-kakaknya' terdahulu. Setidaknya, sampai akhir dekade 70-an pers mahasiswa zaman itu dinilai cukup artikulatif menyajikan tema, isu dan bahasan yang tepat dan dibutuhkan. Ini tentu saja berkaitan dengan kecenderungan kultural terhadap politik dan posisi sosial politik mahasiswa yang menguntungkan pada saat itu.
Kegemilangan inilah yang sampai sekarang menyilaukan mata para aktivis pers mahasiswa dijadikan rujukan yang dominan. Tidak saja mempertahankan komitmennya terhadap tema dan isu yang sama, pers mahasiswa saat terasa menjiplak gaya dan bahasan masa lalu.
Agaknya, romantisme ini cenderung dilakukan untuk merebut kembali peranan sosial politik mahasiswa, yang secara perlahan mulai tersisih. Bahkan di tengah para aktivisnya berkembang pemikiran bahwa satu-satunya cara agar pers mahasiswa tetap survival adalah indentifikasi diri dengan para pendahulunya. Akibatnya, sekarang gampang sekali untuk menemukan produk pers mahasiswa yang setiap edisinya sarat oleh tema dan isu monoton - yang berbau kepolitik-politikan yang diklaim sebagai trade marknya - dengan bahasa, penyajiannya, dan pembahasan yang hampir-hampir tak pernah berubah. Sementara mereka yang mencoba warna yang berbeda tampak tertatih-tatih dan kehilangan keparcayaan diri, sebagai akibat ketidakmampuannya untuk melepaskan diri dari cengkeraman masa lalunya.
Romantisme ala mahasiswa malah telah menjadi bumerang. Sikap ini pula yang justru menjadi salah satunya faktor devolusinya. Tidak sedikit anggota masyarakat mahasiswa kehilangan selera baca begitu berhadapan denga produk pers mahasiswa. Sebab kerap sekali bahasa dan simbol-simbol komunikasi yang disajikannya tak bisa dipahami: gak gathuk. Pada satu sisi, fenomena ini boleh saja dipandang mengasumsikan adanya rekayasa dunia kemahasiswaan sedemikian rupa sehingga mahasiswa tersaing dari persoalan sosial politik. Namun pada sisi lain dan dalam waktu yang bersamaan, setiap zaman cenderung memiliki bahasanya masing-masing. Dengan demikian setiap zaman mempunyai cita rasa, cara dan kapasitas mencerna realitas secara berbeda pula.
Lebih tepat dikatakan bahwa romantisme ala pers mahasiswa sangat bersifat statis karena dibekukan menjadi mitos-mitos. Selancar apa pun kalimat yang disusun para redaktur pers mahasiswa, dengan orientasi kepada mitos tetap membuatnya tampak gagap dalam merumuskan realitas secara informatif di tengah khalayaknya. Sebab ia miskin tema dan alat pendekatan. Mitos memang mempunyai daya eliminasi yang kuat terhadap kontekstualitas yang justru disyaratkat bagi lancarnya komunikasi dan menjadi dasar pijakan ke arah perkayaan wawasan menuju masa depan.
Apa yang dilakukan oleh pers mahasiswa saat ini kiranya sepadan dengan polah tokoh Dalton alias Nuwanda dalam DPS. Dalam mengidentifikasikan dirinya dengan DPS zaman gurunya, Dalton mengunakan gaya dan simbol-simbol komunikasi yang kontektual terhadap lingkungannya. Ia mengira, dengan sikap demikian, bakal mendapat penghargaan dari sang guru, yang kakak kelasnya itu. Ternyata John Keating, sang guru itu, malah memandang bahwa sikap Dalton sangat tidak bijak dan akan mendorong ke arah bunuh diri.
Romantisme hanya menemukan daya kreatifnya jika yang dipetik dari masa lalu bukanlah gaya, bahasa, simbol, ritus maupun lingkungan pergaulannya yang sempit secara ketat. Daya kreatif romantisme dapat muncul manakala semangat dan nilai pembaharuan masa lalu diaktualisasi dalam konteks situasi, kondisi, dan persoalan masa kini. Bagaimanapun perjalanan sejarah dari waktu ke waktu senantiasa membuahkan pertambahan jangkuan persoalan, yang kemudian membangun kompleksitas yang bertambah rumit, yang tidak bisa degan serta merta diantisipasi dengan jurus-jurus lama yang lebih sederhana.
Bagi pers mahasiswa, pertama-tama, ini berarti sebuah tuntutan untuk berani sejara jujur melihat perubahan-perubahan yang berlangsung menimpa dunia kemahsiswaan dan masyarakat. Pergeseran posisi mahasiswa di tengah masyarakat dari kedudukan yang cukup penting dan strategis secara politis ke posisi yang marjinal sehingga tak begitu istimewa sebagai agen perubahan, harus mengilhami suatu strategi yang tepat untuk mengukuhkan peranan sosialnya yang baru, untuk mencari makna keberadaanya. Strategi tersebut mencakup pemahaman semakin luas dan ruwetnya peta pergaulan masyarakat dan kebaruan bahasa sosialnya yang aktual.
Dalam kaitan ini, setidaknya terdapat dua point penitngnya sehubungan dengan posisi obyektif pers mahasiswa. Pertama, pers mahasiswa sangat dekat dengan universitas: suatu institusi yang selalu dituntut mengembangkan wawasan yang luas tentang berbagai hal dalam kerangka yang integral. Kedua, pers mahasiswa jelas-jelas merupakan institusi yang secara langsung berurusan dengan bahasa yang komunikatif.
Oleh karenanya pers mahasiswa sangat potensial menjembatani kesenjangan komunikasi antara kampus dan masyarakat luas. Faktor perbedaan tradisi bahasa akademis dan bahasa khalayak masyarakat yang menjadi faktor utama kesenjangan komunikasi itu, bisa diatasi lewat skill jurnalistiknya. Sehingga kepercayaan masyarakat terhadap para cendikiawan dan ilmuawan di kampus, yang belakangan ini mulai disetarakan dengan para politisi dan ekonom seperti tercermin dalam berbagai pemberitaan, dapat melangkah lebih jauh dari sekadar statement-statement psikologis mereka menuju hasil-hasil penelitian ilmiah yang cukup kaya fakta dan nilai. Dengan begitu sekaligus memacu para 'penghuni' kampus itu agar lebih kritis dan tanggap terhadap persoalan masyarakat luasnya.
Mau tidak mau, untuk hal ini, para aktivis pers mahasiswa harus meninggalkan asumsi bahwa dunia akademis dan ilmiah sangat mandul dan netral sehingga tidak cukup memiliki taring untuk memacu perubahan dan perkembangan masyarakat. Ber-ilmiah-ilmiah sama sekali tidak ada hubungannya dengan kelunturan konsernitas pers mahasiswa kepada persoalan sosial. Jika asumsi tersebut di atas gagal dihapuskan, pers mahasiswa sangat mungkin terjebak ke dalam pemberhalaan mitos-mitos.
Masa lalu berharga dalam masa kini hanya jika ia memiliki semangat dan nilai pembaharuan dan nilai pembaharuan serta kemajuan yang masih bisa dipetik. Barang kali ada baiknya para aktivis pers mahasiswa se Indonesia, yang akan berkumpul di Yogyakarta pada minggu pertama pebruari 1991 ini, mendengarkan desahan John Keating, sang pendiri Dead Poets Societs, "Raihlah hari ini !"***
(Esai ini dimuat di Harian Bernas, 6 Februari 1991)