Mengintip Fenomena Mudik

"Going Home" karya Thomas Hart Benton

Kebiasaan mudik itu amat merepotkan, bahkan menjengkelkan. Tapi semerepotkan apapun, kebiasaan itu tetap terpelihara sebagai tradisi kaum migran. Bahkan arus mudik diperkirakan akan semakin meningkat sesuai dengan perkembangan penduduk dan migrasi dari desa ke kota.

Dan memang pertama-tama persoalan mudik harus dipahami dalam konteks tersebut. Tak ada tradisi mudik tanpa didahului fenomena migrasi dari desa ke kota. Namun ini tak berarti bahwa fenomena mudik maupun urbanisasi semata-mata menyangkut persoalan perpin-dahan orang dari satu tempat ke tempat lain. Sebab, kedua tempat yang dirujuknya -yakni desa dan kota- bukan suatu ruang hampa nilai, yang sama sekali tidak mempengaruhi nilai-nilai para penghuninya.

Penyeimbang Nilai ?

Kota selalu diidentikkan dengan peradaban dan kebudayaan. Kata "kebudayaan" dalam bahasa Arab adalah "al-hadharah", yang juga berarti tinggal di perkotaan. Sebaliknya, seperti dalam a kata Sunda pesisir dan Betawi, kata "udik" (yang seakar dengan kata "mudik") merujuk kepada "desa" dan "kampungan, kurang beradab".

Perbedaan nilai yang menonjol antara desa dan kota terletak pada intensitas respon daya-daya manusiawi atas daya-daya alami. Kota lebih culture, sebab di sini daya-daya manusia selalu tampak kuat untuk mengatasi determinasi alam. Sedangkan desa lebih nature, di sini manusia lebih ditaklukan oleh daya-daya alam, dengan atas nama keseimbangan dengan alam. Para sosiolog memperlihatkannya dengan menunjuk fakta bahwa kota merupakan tempat-tempat pusat industri, kantong mobilitas ekonomi, dan pusat keku-asaan yang membuat keputusan-keputusan khalayak.

Namun bagaimanapun kota dipandang mempunyai daya tarik, lebih beradab dan berbudaya ketimbang desa, tidak berarti bahwa kota benar-benar merupakan ruang ideal bagi manusia. Sangat ba-nyak kritik dilontarkan atas nilai-nilai urban. Kritik-kritik ini semakin tajam dengan mengindustrinya daerah perkotaan. Kritik-krtik ini pertama-tama menunjuk kepada logika khas industrialisa-si, yakni logika fungsional.

Bagi para pengkritik, dengan logika ini identitas manusia-kota ditentukan oleh fungsinya sehinggga kehilangan identitas obyektif dirinya (identitas ontologis). Manusia-kota cenderung terkonsentrasi kepada pekerjaannya secara mekanis. Mereka tersu-ruk-suruk sebagai bagian dari mesin-mesin. Dengan demikian, manusia-kota diliputi anonimitas. Logika fungsional industrialsa-si pula yang memperparah watak individualisme kaum urban yang telah ada sebelumnya.

Dengan dua karakteristik nilai ini, bagi para pengkritiknya, manusia-kota menjadi sosok yang kering kerontang. Kondisi ini semakin kronisrdengan kecenderungan orientasi kota kepada nilai-nilai yang material dan profan. Lengkaplah sudah kegersangan manusia-kota.

Berangkat dari asumsi-asumsi tersebut banyak orang memandang bahwa tradisi mudik memberikan dampak positif bagi kaum urban yang berasal dari desa (lihat laporan Bernas 26/3/92). Dengan mudik, mereka mendapatkan siraman nilai-nilai desa untuk mereda-kan kegersangan yang dialaminya di kota. Oleh karenanya, diyakini bahwa mudik dapat menjadi mekanisme penyimbangan nilai-nilai kaum migran.

Keyakinan ini agaknya separuh benar. Di desanya seorang pe-mudik dapat tersenyum dan berdandan tanpa dibebani kepentingan- kepentingan fungsional. Mereka pun dapat menghayati makna kedudukannya sebagai adik, paman, keponakan atau saudara. Dengan tinggal beberapa saat di desanya, mereka pun menyadari kembali makna sosial seorang tetangga; bukan sekedar sebagai orang lain yang tinggal di seberang rumah atau di samping meja kerjanya seperti yang dihayatinya di kota.

Sayangnya yang terjadi kemudian, menurut hemat saya, proses ini berjalan temporer seperti yang terjadi pada proses refreshing dalam rekreasi. Penyegaran yang didapat selama mudik seakan habis di tengah perjalanan menuju kota. Sesampainya di kota, para pemu-dik kembali ke dalam watak manusia-kotanya. Dengan demikian, ke-yakinan bahwa tradisi mudik dapat menyeimbangkan nilai-nilai kaum migram, justru menjadi penegasan status quo dikotomi nilai kota dan nilai desa.

Heteronomia

Tradisi mudik, kiranya, lebih berkaitan dengan kesadaran terhadap asal-usul. .Sejauh-jauh burung terbang, akhirnya kembali ke sarangnya". Itulah kiasan yang selalu dipakai para migran, baik yang menetap sementara maupun yang benar-benar berdomisili dan berumah di kota.

Terutama sekali dalam kebudayaan Jawa, asal-usul sangat bermakna. Yang dicakup dengan pengertian ini bukan hanya asal-usul genetisrdan transendental, tapi juga asal-usul ruang atau tempat. Penelusuran semantisrmemperlihatkan bahwa manusia diiden-tifikasi oleh asal-usul tempat. Atau dalam bahasa yang agak metafisis, Aku adalah Aku dari Ruangku.

Misalnya, dalam bahasa Jawa, kata "dalem" berarti "saya". Dalam aalimat lain, kata tersebut juga merujuk kepada tempat tinggal. Namun tempat tinggal yang dimaksud bukanlah rumah, mela-inkan simbol identitas. Dengan demikian, ikatan asal-usul sangat kuat bagi para migran.

Dari sini tampak bahwa fenomena mudik mengimplikasikan suatu heteronomi kultural. Para pemudik berada pada sisi tarik-menarik antara situasi dan nilai-nilai baru dengan yang lama. Di satu sisi mereka tak bisa memungkiri bahwa mereka hidup, bekerja, berdomisili, dan berumah di kota. Di sisi lain, mereka sangat terikat dengan desa yang menjadi asal-usulnya.

Hal ini berarti, pertama, bahwa tradisi mudik memperlihatkan betapa masyarakat kita sangat dikendalikan oleh masa silamnya. Kepulangan para pemudik ke desanya meruapakan simbol romantisme masyarakat kita. Tantangannya terletak pada pengalaman bahwa ro-mantisme cenderung lebih bersifat reaktif ketimbang kreatif.Kedua, tradisi mudik menggambarkan masih kuatnya ikatan primordial masyarakat. Dan, sayangnya, ikatan-ikatan primordial itu justru tumbuh pada mereka yang telah tinggal di kota, yang nilai-nilainya seharusnya lebih berwatak mondial. Persoalannya adalah bahwa primordialisme cenderung bersifat absolut, solipstisrdan tertutup.

Ketiga, tradisi mudik mempertajam dikotomi makna bertempat-tinggal (dalem) dan berumah (griya). Kota, bagi para pemudik, tak lebih dari rumah tempat berteduh. Namun sebenarnya mereka masih bertempat tinggal di desa asalnya. Hal ini mencuatkan perbedaan intensitas kepedulian orang terhadap lingkungannya. Intensitas kepedulian orang terhadap rumah (griya) cenderung lebih rendah daripada terhadap tempat tinggal (dalem). Pada dataran praktis konsekuensi sikap semacam ini, misalnya, menimbulkan persoalan perkotaan: ketertiban, kebersihan, atau keamanan di daerah kantong kaum migran.

Kenyataan-kenyataan tersebut di atas seakan memperingatkan bahwa mudik tidak selalu mengimplikasikan aspek positif dengan bertambahnya 'devisa desa' yang masuk dari para pemudik. Malah sebaliknya, fenomena mudik menunjukkan betapa wajah kebudayaan kita retak dalam tarik-menarik yang tak pernah tuntas. Namun itu tidak berarti bahwa kesadaran akan asal-usul kurang penting. Sejarah kebudayaan, terutama dalam filsafat kebudayaan Islam, menunjukkan bahwa terputusnya kesadaran historis dengan asal-usul beresiko ambruknya kebudayaan. Yang terpenting adalah mengubah asal-usul dari sekedar suatu ikatan yang menyesakkan menjadi suatu simpul orientasi ke masa depan.

Jika anda seorang migran, seperti juga saya, mungkin tak ada salahnya untuk mudik saat lebaran ini. Tapi bukan untuk kembali ke asal-usul, sebab asal-usul menjadi sangat absurd ketika didudukan sebagai tujuan. Namun justru kesadaran akan asal-usul menjadi titik pandang ke depan: ke manakah tujuan kita ?

(Berita Nasional, 2 April 1992)

Jaringan

Kontak