AGAKNYA memang menarik untuk mencermati sumber percikan api yang membakar huru-hara di Los Angeles beberapa waktu lalu. Namun agaknya kurang tepat untuk menganggap bahwa vonis bebas yang dijatuhkan polisi terhadap empat polisi, yang telah menganianya Rodney King, sebagai pemantik api huru-hara itu seandainya mereka tak pernah terlebih dulu menyaksikan kebengisan penganiayaan terhadap King lewat televisi.
Benar. Bidikan juru kamera amatir yang berhasil meliput penganiayaan atas King itulah yang membuat banyak orang lebih peduli pada vonis pengadilan. Fenomina ini lebih dari sekedar fenomena kepedulian seorang manusia terhadap manusia lainnya. Namun hal tersebut juga merupakan fakta yang dapat disodorkan ke dalam wacana mengenai kaitan antara kekuasaan dan teknologi media.
Selama ini setiap pembicaraan mengenai hubungan kakuasaan dan teknologi media akan selalu mengacu pada gagasan George Orwell dalam 1984. Dalam novelnya itu, Orwell berkisah tentang sebuah negara polisi di bawah rezim diktator Bung Besar yang mengawasi rakyatnya sedemikian ketat. Pengawasan itu sangat efektif dan efesien, karena sang diktator telah menggunakan teknologi media yang canggih. Fantasi Orwell itu pun sempat membangkitan kecurigaan bahwa teknologi hanya akan lebih menguntungkan kekuasaan negara dalam mengawasi dan membatasi hak-hak asasi rakyatnya.
Sikap kritis terhadap teknologi memang pantas diajukan. Bagaimanapun kebudayaan yang dibangun manusia setiap zaman tidak selalu mengandalkan kebaikan. Tak sedikit catatan-catatan menunjukan bahwa di bebrapa negri yang dikuasai diktator, dengan bantuan teknologi para agen dinas rahasia berhasil menggiring banyak orang ke penjara-penjara atau ke liang-liang lahat tanpa pengadilan yang fail. Kebudayaan manusia selalu saja terdiri atas dua sisi yang kontradiktif.
Huru-hara di LA telah menunjukan bahwa kekhawatiran Orwell tidak sepenuhnya benar. Premis Orwell bahwa teknologi media cenderung mengontrol manusia, masih terbukti. Namun Orwell keliru mengenai arah pengawasan.
Pada kasus LA, kontrol lewat teknologi media tidak dilakukan negara pada sipil, melainkan sebaliknya. Kamera tidak dibidikan oleh Bung Besar-nya Orwell, melainkan oleh seorang warga sipil kepada empat orang aparat negara. Hal yang serupa terjadi pada Revolusi Iran, meskipun dengan jenis yang berbeda. Pita-pita kaset video maupun audio telah memungkinkan kharisma dan kritik-kritik sosial Ayatollah Khomeini merasuki rakyat Iran unutk menumbangkan rezim lama.
Teknologi media memang tidak khusus dirancang untuk kontrol sosial politik secara vertikal, dari sipil terhadap negara. Teknologi ini pun memberi peluang kontrol sosial secara horisontal.
Mereka yang sempat mengecap hidup di AS mengungkapkan bahwa teknologi handycam telah membantu warga AS unutk membantu kohesivitas sosial yang lebih baik di tengah kecenderungan individualismenya. Seorang warga yang tinggal di suatu blok harus sedemikian berhati-hati dalam bertindak-tanduk, sebab tanpa disadarinya seorang tetangga bisa saja membidikan kamera kecil kearahnya. Orang mungkin dapat mengelak dari kesaksian verbal, namun tak bisa mengingkari rekaman peristiwa yang akurat.
WARGA LA tak akan pernah menyaksikan kebengisan empat orang polisi yang menganiaya Rodney King jika televisi setempat menayangkan hasil bidikan si juru kamera amatir. Dan si juru kamera amatir tak akan bisa merekam peristiwa itu jika teknologi kamera masih seperti beberapa puluh tahun yang lalu. Pada dekade-dekade itu, setiap pembicaraan teknologi berarti menunjukan ke gundukan perabot yang besar, berat, rumit, dan -- dengan demikian --elitis.
Namun pada saat ini, teknologi merupakan soal keseharian yang personal. Hal tersebut, pertama, dimungkinkan oleh kemajuan di bidang pengembangan teknologi untuk keperluan individual yang mampu cangking (portable) dan handy. Kedua, perabot-perabot teknologi terbesar lebih luas dengan harga yang relatif tidak terlalu tinggi. Faktor itulah yang menjadi titik balik gagasan Orwell.
Cukup dengan empat juta rupiah sekarang orang bisa memiliki handycam, video casette recorder(VCR), dan televisi berwarna sederhana. Dengan modal yang hampir sama juga bisa mendapatkan personal computer lengkap dengan pencetaknya. Dengan perabot itu sebuah film dan newsletter sederhana sudah bisa dibuat dan dipublikasikan. Itu artinya teknologi media telah mempermudah manusia untuk memperluas wilayah, bahkan menembus berbagai pemusatan dan pembatasan, arus informasi serta komunikasi.
Persoalan kemudian, bagaimana manusia sendiri memberi makna kepada informasi dan komunikasi?Dan, bagaimana manusia mamberikan ruh yang tepat dan baik kepada teknologi madia?
***
ASUMSI dasar setiap penciptaan teknologi media adalah bahwa orang memerlukan perkakas yang memberikan kenyamanan, keleluasaan, kecepatan, efesiansi dan efektivitas dalam berkomunikasi. Sejarah kebudayaan dan paradaban manusia menunjukan bahwa isolasi lebih banyak memberikan akibat-akibat buruk.
Dan sebaliknya, akses yang besar kepada informasi dan komunikasi menjadi jendela dialektika bagi masa depan kebudayaan. Teknologi tidak dengan langsung memberikan manfaat. Meskipun demikian, berbeda dengan jenis perkakas lainnya, harus diwaspadai bahwa setiap teknologi yang tidak dikelola atua justru dikelola secara salah -- akan menjadi bumerang bagi umat manusia.
Dalam masyarakat kita, teknologi media sudah dikenal dengan baik meskipun belum berumur lama;. Keberadaan VCR dalam sebuah keluarga (menengah-bawah) saat ini bagai keberadaan radio transistor dua puluh tahun yang lalu; apalagi keberadaan televisi.
Komputer dan handycam mulai berserakan pula. Bahkan diramalkan bahwa pada tahun 1994, setiap personal komputer akan dilengkapi dengan fasilitas multimedia yang canggih (Info Komputer, April 1992).
Boleh jadi teknologi media yang canggih ini telah cukup memberikan keuntungan individual bagi pemiliknya. Namun ini saja tidak cukup. Pertanyaan berikutnya harus dilontarkan: keuntungan macam apa yang telah diberikan oleh teknologi media dalam masyarakat kita? Persoalan ini berkaitan etika sosial zaman ini yang menekankan kepada apa yang di sebut Drucker sebagai "kekuatan pribadi memberikan keunutngan sosial".
Agak sulit bagi kita unutk menjawab pertanyaan tersebut karena dua alasan. Pertama, terknologi yang dimiliki secara perorangan belum didayagunakan secara optimal. Bahkan, lebih celaka lagi, hal itu lebih banyak dikondisikan oleh kecenderungan-kecenderungan masyarakat dalam mengapresiasi berbagai teknologi yang ada hanya sebagai klangenan belaka. Masih sangat banyak warga masyarakat yang memperlakukan televisi, VCR, komputer, maupun kamera hanya sebagai pengganti burung perkutut yang menjadi simbol budaya masa lalu.
Kedua, birokrasi di bidang informasi dan komunikasi massa masih sangat rumit. Fenomena semacam ini yang paling dekat kita tunjuk adalah "bocoran" siaran RCTI yang sempat dinikmati warga Yogya minggu lalu tak bertahan lama. Dan tidak berlebihan jika banyak orang menganggap terhentinya "bocoran" itu disebabkan oleh ketakutan si pembocor (Bernas, 7/5/92). Padahal nilai kebocoran siaran RCTI itu terletak pada terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan informasi alternatif, yang memang merupakan nilai lebih dari kehidupan di abad informasi ini. Birokrasi yang sama ketatnya juga dirasakan di bidang pers cetak, audio broadcasting, dan lainnya.
Hal-hal tersebut diataslah yang pertama-tama perlu dibenahi dalam mengantisipasi perkembangan teknologi media. Terkecuali kita merelakan peribahasa "ayam mati di lumbung padi" berganti menjadi "di abad informasi, orang mati di tengah teknologi media".
(Bernas, SELASA LEGI, 12 MEI 1992)