Saya kecele lagi Sabtu siang pekan lalu. Program komputer penganalisa situs Web detikcom masih menunjukkan bahwa artikel berita tentang klaim adanya foto-foto korban perkosaan masih menempati rangking paling atas di daftar 10 berita yang paling banyak diakses. Semula saya menduga posisi teratas pada daftar itu sekarang akan diduduki oleh artikel berita lain. Tetapi ternyata saya keliru.
Bukan apa-apa. Artikel tentang foto-foto korban perkosaan itu sudah terpajang di situ sejak 31 Juli lalu. Itu artinya, sudah 3 minggu artikel itu terus-menerus menjadi artikel berita yang paling banyak dicari di situs detikcom.
Barangkali ini gelagat yang menunjukkan betapa besarnya perhatian kita dan dunia atas isu kasus perkosaan yang terjadi pada kerusuhan Mei lalu. Boleh jadi orang hanya ingin melihat foto-foto itu. Boleh jadi juga orang penasaran untuk menelusur benar tidaknya keterkaitan foto-foto itu dengan peristiwa perkosaan Mei.
Foto-foto yang mulai disebar di Internet pada awal Juli lalu itu semula dipajang di beberapa situs Web kelompok anti-diskriminasi dari kalangan etnis Cina. Boleh jadi, mungkin karena terlalu lugu, mereka berharap foto-foto itu akan ikut menegaskan adanya perkosaan pada kerusuhan Mei.
Belakangan, dalam waktu yang cukup singkat, mereka cepat menyadari bahwa foto-foto itu sama sekali tak berkaitan dengan peristiwa Mei. Mereka segera mencabut foto-foto itu dan menyebarkan bantahannya atas foto itu, jauh-jauh hari sebelum sebuah kelompok mahasiswa di Surabaya menilai foto-foto itu sebagai foto rekaan.
Namun emosi etnis Cina dunia terlanjur terbakar oleh adegan mengerikan yang tergambar dalam foto-foto itu dan berbagai berita mengenai nasib etnis Cina Indonesia pada saat kerusuhan. Emosi mereka tak dapat diredam oleh bantahan. Demonstrasi anti-penindasan etnis Cina Indonesia meledak di berbagai negara.
Dan lalu, sekarang sang foto menjadi bumerang. Sudah tampak kecenderungan untuk menggunakan foto-foto yang terbukti tidak berkait dengan peristiwa Mei itu sebagai alat bantahan terjadinya perkosaan, sebelum Tim Gabungan Pencari Fakta mengumumkan hasil temuannya.
Betapa malangnya nasib foto-foto itu. Dia digiring ke sana ke mari. Dia seperti layang-layang putus tanpa tuan, yang terbang mengikuti arah angin paling kencang.
Dan kita tidak membiarkan foto itu berbicara apa adanya. Atau setidaknya, kita lupa bertanya: Apakah foto-foto tersebut hasil rekaan teknologi? Jika ya, siapa yang mereka-rekanya dan untuk kepentingan apa? Jika bukan, lalu sesungguhnya sang foto merekam peristiwa apa? Dimana dan kapan peristiwa itu terjadi? Siapakah perempuan malang yang terekam dalam foto itu? Siapa pula orang-orang berseragam itu?
Boleh jadi jawaban-jawaban atas pertanyaan itu justru akan menggiring kita ke masalah lain, terutama jika terbukti foto-foto itu bukan hasil rekaan teknologi. Sebab di sumber yang sama di Internet siapapun dapat melihat rangkaian foto penyiksaan lain. Apa boleh buat, itu harus dihadapi sejauh berkait dengan bangsa ini.
Masalah-masalah agaknya memang harus dipiilah-pilah agar tidak membuat jebakan ke arah sesat-pikir (fallacy), ke arah cara berlogika yang salah. Lepas dari terkait atau tidaknya dengan peristiwa Mei, foto-foto itu dan masalah perkosaan pada Mei adalah dua hal yang berbeda. Masing-masing selayaknya dibedah dengan tuntas di kamar yang berbeda.
Tanpa ketuntasan, kita hanya akan menanam ranjau bagi etnis Cina dunia dan kita sendiri. Tanpa ketuntasan, kita membiarkan diri kita menjadi bangsa yang solipstik, yang mengaku tak pernah berbuat salah. Tanpa ketuntasan, berarti membiarkan banyak etnis Cina dunia terkurung ilusi perang antara ras Cina dan non-Cina di Indonesia.
Perang antara ras Cina dan non-Cina saat ini sudah berlangsung sebenarnya. Untungnya, itu hanya terjadi di Internet.
17 Agustus lalu, 2 situs Web Indonesia diserang hacker yang mengatasnamakan etnis Cina. Sampai saat ini belum ada hacker Indonesia yang -setidaknya- secara terang-terangan akan melakukan serangan balik.
Di sisi lain Internet, pernah ada sebuah situs Web yang menamakan dirinya sebagai Komite Gerakan Anti Cina yang dipenuhi oleh propaganda rasial. Salah satunya berisikan ajakan untuk membunuh seluruh etnis Cina di Indonesia. Namun sejak Sabtu lalu, situs Web itu ditutup oleh pengelola server. Sang pengelola menulis, "Situs web yang menyebarkan rasa kebencian antar manusia tidak diperkenankan di sini, jadi silakan berperang di tempat lain."
Di tempat lain? Ah! Jangan di sini! Jangan dimanapun!
(Tabloid Adil, Agustus 1998)