Halusinasi Sistem Informasi (Pemilu)

"Crossing the Channel at Dusk" karya John Scott Martin

Rupanya kita mengalami banyak halusinasi selama ini. Pertama, kita mengira, kita akan lebih cepat mendapatkan hasil Pemilu 2004 dengan memanfaatkan TI (teknologi informasi) ketimbang dengan cara-cara manual.

Ternyata, perkiraan itu salah. Target waktu 9 jam untuk mengetahui hasil Pemilu, tidak tercapai. Argumen dan dalih telah dilontarkan untuk menjelaskan kegagagalan ini. Tapi publik sudah terlanjur kecewa. Keterlibatan penggunaan TI dalam Pemilu 2004 ternyata tidak benar-benar memberikan keuntungan yang besar bagi khalayak.

Halusinasi kedua. Kita mengira, hasil penghitungan suara Pemilu 2004 yang resmi adalah angka-angka yang diolah dan ditampilkan oleh sistem informasi berbasis TI yang dipakai KPU (Komisi Pemilihan Umum) selama ini.

Ternyata, menurut mereka yang paham hukum, penggunaan TI untuk penghitungan suara Pemilu yang resmi tidak mempunyai dasar hukum. Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia pun jelas-jelas menegaskan bahwa hasil Pemilu yang resmi akan bersandar pada angka-angka yang berdasar kompilasi data-data manual. Ini artinya, Pemilu 2004 ternyata tidak sungguh-sungguh computerized seperti yang digembar-gemborkan. TI dalam sistem informasi KPU tidak punya andil besar dalam Pemilu 2004.

Kenyataan itu menegaskan bahwa jika kita menganggap sistem informasi berbasis TI yang selama ini dipakai oleh KPU sebagai sistem informasi Pemilu 2004 maka sebetulnya kita pun sedang mengalami halusinasi. Sistem informasi KPU saat ini bukanlah sistem informasi Pemilu 2004 yang resmi.

Kita memang harus memilah secara jelas antara sistem informasi KPU dan sistem informasi Pemilu 2004. Sistem informasi KPU adalah urusan internal KPU, yang berfungsi hanya untuk menopang kerja internal KPU sebagai sebuah lembaga. Sedangkan sebuah sistem informasi Pemilu seharusnya merupakan sistem yang terpadu dengan hajatan demokrasi rakyat, transparan, dan berurusan dengan kepentingan dan hak politik rakyat banyak.

Itulah sebabnya jauh-jauh hari sebelum fase implementasi, sebuah sistem informasi Pemilu harus teruji kehandalannya. Kredibilitas serta akuntabilitasnya pun harus bisa dipertanggungjawabkan. Audit terhadap sebuah sistem informasi Pemilu oleh auditor independen merupakan hal yang tak bisa ditawar-tawar. Pada faktanya, sistem informasi KPU yang berbasis TI saat ini belum pernah melewati proses audit tersebut.

Tanpa proses audit, sudah cukup alasan bagi publik untuk meragukan sistem informasi KPU sebagai sistem informasi resmi Pemilu 2004. Ketika tak ada secuil pun hasil audit yang dapat dijadikan pegangan oleh publik, keganjilan apapun yang dirasakan oleh publik dapat membuahkan reaksi besar dan melebar. Terlebih, angka-angka yang dihasilkan oleh sistem informasi KPU telah dijadikan acuan oleh media massa, yang dapat mempengaruhi psikologi politik publik.

Kita memang tak bisa dengan naif menganggap penolakan hasil Pemilu oleh sejumlah besar parpol merupakan akibat langsung dari kegagalan sistem informasi KPU. Tapi harus diakui bahwa kegagalan sistem informasi KPU telah menjadi pemicu keruwetan politik belakangan ini. Suhu politik merambat hangat setelah peristiwa pengoreksian jumlah suara di TNP (Tabulasi Nasional Pemilu), yang kemudian disusul oleh penolakan penghitungan suara dengan TI oleh sejumlah parpol, dan lalu disusul secara cepat dengan pernyataan penolakan hasil Pemilu oleh sebagian besar parpol peserta Pemilu.

Tanpa proses audit terhadap sistem informasi KPU, lonjakan jumlah suara sebesar 70 juta yang kemudian dikoreksi kembali menjadi 4 juta suara dapat ditafsirkan apa saja. Seorang ahli komputer boleh saja menduga bahwa kejadian itu diakibatkan oleh ulah para hacker. Ahli TI yang lain mungkin saja menduga bahwa program-program yang berjalan di sistem informasi KPU tidak steril. Para politisi boleh-boleh saja menduga adanya indikasi kecurangan perhitungan suara. Sementara tim ahli TI KPU menjelaskan bahwa kegagalan tersebut terjadi karena ada kesalahan prosedur yang mengakibatkan adanya double looping. Selama tak ada audit sebelumnya terhadap sistem, penjelasan apapun mengenai kejadian ini boleh dipercaya dan sekaligus boleh disangsikan

Halusinasi-halusinasi yang kita alami mengenai sistem informasi Pemilu juga disumbangkan oleh kesalahan dalam menempatkan sistem informasi sebagai melulu berurusan dengan perkara teknis. Hal ini sangat jelas terlihat pada fase sebelum Pemilu berlangsung, Wacana seputar sistem informasi Pemilu lebih didominasi oleh praktisi TI yang mengumbar perdebatan teknis: mulai dari kualitas desain dan arsitektur jaringan, aspek keamanan data, sampai urusan piranti lunak dan sistem operasi.

Media massa pun lebih terpesona dengan jargon-jargon teknis yang terdengar dahsyat. Media banyak mengeskpose diskusi tentang kemungkinan serangan hacker terhadap sistem informasi KPU. Tapi, seakan-akan lupa bahwa serangan dan perusakan terhadap sistem dapat dilakukan dari dalam. Begitu sempitnya waktu pengembangan dan implementasi sistem seolah menutup penglihatan bahwa, selain para hacker dan ahli pemrograman yang jahat, yang tak kalah berbahaya bagi sebuah sistem informasi adalah kelelahan dan rasa kantuk orang-orang yang terlibat dalam sistem ini.

Sebuah sistem informasi tidak melulu merupakan urusan teknis. Pada masa kini TI boleh jadi merupakan tulang punggung sebuah sistem informasi. Tapi TI hanyalah alat (tool) saja dalam sebuah sistem informasi. Sebuah sistem informasi harus mempertimbangkan dan ditopang pula oleh aspek sosial budaya penggunanya.

Terlebih untuk hal-hal yang bersinggungan dengan kepentingan dan hak politik rakyat sebuah negara, sebuah sistem informasi harus mempunyai landasan hukum yang jelas, dan menjunjung tinggi azas keadilan politik. Itulah sebabnya, agak susah untuk memaklumi sebuah sistem informasi Pemilu yang tidak memperkenankan adanya saksi-saksi dari parpol peserta pemilu dalam proses entry data. Sama susahnya untuk memahami sebuah sistem informasi Pemilu yang melibatkan sumber daya manusia yang tidak berada di bawah sumpah.

Salah satu pelajaran berharga (dan sederhana) yang dapat dipetik dari sebuah sistem informasi seharga 200 miliar rupiah ini adalah bahwa praktisi TI tidak bisa hidup soliter di kubangan pemrograman dan instalasi jaringannya belaka. Orang-orang TI sudah sepatutnya melek dan tanggap terhadap aspek sosial budaya penggunanya, rasa keadilan, landasan hukum, dan sensitivitas politik. Dan bahwa propaganda tentang hidup yang lebih baik lewat penggunaan TI adalah halusinasi belaka jika propaganda itu datang dari para pedagang dan praktisi TI yang tidak mempunyai wawasan yang multidimensional.

(versi pra-sunting, dimuat di Koran Tempo edisi Senin 12 April 2004)

Jaringan

Kontak