Batas masa jabatan hakim konstitusi digugat. Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI) atau Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas Indonesia mengajukan permohonan uji materi atas Undang-undang Mahkamah Konstitusi (MK), terutama terkait dengan batas masa jabatan hakim konstitusi di Pasal 22 undang-undang tersebut.
Pasal 22 UU No. 8/2011 tentang MK itu menyebutkan bahwa masa jabatan hakim konstitusi selama lima tahun, dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.
Menurut CSSUI, masa dan periodisasi jabatan hakim MK akan menghalangi kemunculan hakim MK yang memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela. CSSUI menilai Pasal 22 UU MK "merupakan produk politik hukum yang membatasi atau setidaknya berpotensi membatasi MK untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan."
Ini bukan pertama kalinya batas masa jabatan hakim konstitusi digugat. Tahun 2014, pemohon bernama Riyanti pernah juga mengajukan uji materi untuk hal yang sama.
Berbeda dengan CSSUI, Pasal 22 Undang-undang MK membuat Riyanti khawatir dengan potensi hambatan proses rekrutmen hakim konstitusi oleh DPR. Kekhawatiran Riyanti terutama sekali terkait dengan perseteruan yang terjadi pada anggota DPR periode 2014-2019 antara kubu Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat.
Dalam perkara itu Riyanti berpandangan perseteruan tersebut dapat berimbas pada pemilihan hakim konstitusi apabila ada hakim konstitusi yang berasal dari pilihan DPR habis masa jabatannya.
Baik CSSUI maupun Riyanti sama-sama membandingkan Undang-undang MK dengan Undang-undang Mahkamah Agung (MA). Undang-undang MA tidak membatasi masa jabatan hakim di MA itu.
Jika gugatan tersebut dikabulkan, jabatan hakim konstitusi akan berlaku nyaris seumur hidup. Kenapa nyaris? Pasal 23 Undang-undang MK menyebutkan bahwa hakim konstitusi bisa diberhentikan secara hormat pada usia 67 tahun.
Dengan masa jabatan yang hampir seumur hidup itu, terlalu banyak urusan penting yang dipertaruhkan. Apalagi hakim konstitusi berwenang untuk memutuskan hal-hal yang sangat mendasar dalam politik bernegara.
Mulai dari menguji undang-undang, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara, perselisihan hasil Pemilu, pembubaran partai politik, sampai membuat keputusan apabila DPR berpendapat Presiden atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum.
Lagi pula terlalu banyak godaan untuk bersentuhan dengan konflik kepentingan ketika sebuah jabatan terlalu lama dipegang. Konflik-konflik kepentingan itu akan sangat menyulitkan seorang hakim untuk berada di posisi independen sebagai penegak hukum.
Kita semua pernah menyaksikan betapa bahkan seorang yang menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi sekali pun tidak bisa terbebas dari konflik kepentingan. Kasus suap yang menggiring Akil Mochtar sebagai terpidana dengan hukuman penjara seumur hidup seharusnya benar-benar menjadi peringatan bahwa kekuasaan haruslah bisa dikendalikan.
Membatasi masa jabatan adalah satu upaya agar seseorang tidak berada dalam posisi kekuasaan yang tidak terkendali.
Dengan uji materi Pasal 22 UU MK ini, mereka yang menjabat sebagai hakim konstitusi saat ini sebetulnya juga sedang menguji dirinya sendiri. Para hakim sedang diminta untuk menguji perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri, tentang masa jabatan yang mereka emban.
Dalam menghadapi perkara uji materi tersebut para hakim konstitusi sudah sepantasnya memegang prinsip dalam dunia peradilan: nemo judex in causa sua, tak seorang pun boleh menjadi hakim dalam perkara yang di dalamnya menyangkut dirinya. Ada persoalan etika bagi para hakim konstitusi dalam memutuskan perkara ini.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/cegah-masa-jabatan-seumur-hidup-hakim-konstitusi