Pada penghujung 2015 program bela negara yang diusung oleh Kemenhan (Kementerian Pertahanan) sempat menjadi gagasan yang kontroversial. Kemenhan pada saat itu menargetkan 100 juta kader bela negara akan terbentuk lewat program tersebut dalam kurun 10 tahun.
Namun ada kelompok masyarakat yang khawatir program tersebut akan menjadi kegiatan yang melembagakan militerisme. Kontroversi itu pelan-pelan menghilang, terlupakan. Masyarakat disibukkan oleh isu-isu lain. Kegiatan-kegiatan program bela negara berlangsung tanpa ada kegaduhan lagi.
Minggu ini isu program bela negara muncul lagi. Diawali dengan postingan akun @dpp_fpi di Instagram yang memamerkan sejumlah foto kegiatan yang diberi keterangan "TNI dan FPI menggelar PPBN (Pelatihan Pendahuluan Bela Negara) serta tanam 10.000 pohon di Lebak Banten". Kegiatan itu dilakukan oleh Kodim (Komando Distrik Militer) Lebak pada 5 sampai 6 Januari lalu.
Foto dan berita kegiatan itu menyebar lewat situs-situs web dengan bunyi dukungan yang seragam. Sementara ada juga media online menerbitkannya dengan judul "FPI dan TNI Latihan ala Militer di Banten".
Masyarakat bereaksi keras atas kabar tersebut. Tentu reaksi itu muncul bukan semata-mata karena masyarakat teringat kembali dengan kontroversi program bela negara pada penghujung 2015 itu. Masyarakat tahu bahwa program bela negara sudah berjalan dan bisa diikuti siapa saja.
Reaksi keras atas pelibatan FPI (Front Pembela Islam) dalam PPBN -kependekan dari Pendidikan Pendahuluan Bela Negara- tentulah terkait dengan catatan masyarakat atas perilaku FPI selama ini.
Masyarakat mencatat, selama ini aksi-aksi FPI sering diwarnai kekerasan, sikap tidak toleran, dan berwujud tindakan yang di luar kewenangannya. Terlebih belakangan tampak ada upaya keras dari FPI untuk memosisikan dirinya sebagai sebuah kekuatan politik yang lebih berpengaruh dari sekadar ormas biasa.
Itu sebabnya menjadi sangat terasa wajar jika masyarakat melihat kegiatan PPBN yang diikuti oleh FPI di Lebak Banten itu mempunyai muatan politik; lebih dari sekadar kegiatan pelatihan bela negara biasa. Lewat kacamata politik pula masyarakat menjadi paham mengapa akun @dpp_fpi perlu memublikasikan kegiatannya tersebut.
Dalam kacamata politik, secara implisit publikasi itu membawa serta dua sinyal klaim untuk membangun persepsi tertentu. Pertama, klaim kedekatan politis FPI dengan TNI. Kedua, klaim bahwa FPI didukung oleh TNI.
Jika persepsi itu berhasil terbentuk maka kekhawatiran Ketua Setara Institute Hendardi menjadi terasa masuk akal. Hendardi menyatakan, "Langkah TNI melatih sejumlah anggota FPI juga mempertegas dugaan 'kedekatan' TNI dengan kelompok Islam radikal semacam FPI yang hanya akan mempersulit penegakan hukum atas aksi-aksi intoleransi yang dilakukan kelompok ini".
Selain menyangkut sinyal-sinyal klaim tersebut, sorotan masyarakat atas PPBN FPI itu mengandung pertanyaan: tidakkah program bela negara seharusnya lebih selektif memilih peserta?
Pangdam III Siliwangi Mayjen M Herindra menyatakan bahwa kegiatan PPBN yang dilakukan oleh Kodim Lebak itu tidak sesuai dengan SOP (Standard Operating Procedure). Pernyataan Herindra tersebut jelas menegasikan sinyal-sinyal klaim maupun persepsi-persepsi mengenai kedekatan dan dukungan TNI kepada FPI.
Penyelenggaraan pelatihan bela negara harus melalui izin dari Dandim ke Danrem, dan kemudian dari Danrem ke Pangdam. Kegiatan PPBN di Lebak itu ternyata tidak melalui prosedur tersebut. Dandim Lebak tidak meminta izin.
"Ini pelanggaran serius," tegas Herindra. Itu sebabnya kemudian ia mencopot Dandim Lebak.
Berangkat dari kasus PPBN di Lebak tersebut, Kemenhan sebaiknya merumuskan kembali syarat peserta program bela negara. Sebab, program bela negara mengandung materi pengetahuan strategis seperti sistem pertahanan semesta dan pengenalan alutsista TNI, pengetahuan intelijen, program bela negara secara fisik.
Dengan materi yang strategis seperti itu, peserta program bela negara harus betul-betul disaring untuk memastikan mereka adalah warga negara yang setia kepada 4 pilar berbangsa dan bernegara: Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bineka Tunggal Ika. Saringan itu untuk memastikan bahwa materi-materi pendidikan strategis diberikan kepada warga negara yang tepat.
Atau, program bela negara sebaiknya lebih fokus kepada pendidikan yang bertujuan untuk memperkuat pemahaman mengenai 4 pilar berbangsa dan bernegara, kecintaan kepada tanah air, serta kerelaan berkorban bagi bangsa dan negara. Para peserta tidak perlu mendapatkan latihan untuk memperkuat pengetahuan strategis dan keterampilan militer.
Dalam kasus PPBN di Lebak, masyarakat menangkap sinyal positif dari koreksi yang dilakukan Pangdam III Siliwangi Mayjen M Herindra kepada Dandim Lebak.
Lebih dari itu, masyarakat juga pasti senang jika kejadian tersebut menjadi momentum bagi Panglima TNI dan Menteri Pertahanan untuk memberikan penjelasan mengenai jalannya program bela negara selama ini dan pada masa mendatang.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/melihat-kembali-program-bela-negara