Susahnya mencari negarawan yang berintegritas

 

Jumat keramat. Istilah itu sering dikaitkan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang seringkali mengumumkan penahanan para tersangka korupsi pada hari Jumat.

Namun pada minggu terakhir Januari 2017 ini KPK melakukan mengumumkan penahanan tersangka korupsi yang penting pada hari Kamis (26/1/2017). Pada hari Kamis itu, KPK mengumumkan penangkapan Patrialis Akbar yang dilakukan pada Rabu (25/1/2017) pukul setengah sembilan malam di Mal Grand Indonesia Jakarta.

Penangkapan Patrialis malam itu adalah rentetan dua penangkapan lain yang dilakukan sebelumnya pada hari yang sama. Sebelumnya KPK terlebih dahulu mencokok pihak swasta di lapangan golf Rawamangun, dan di kawasan Sunter Jakarta.

Hakim konstitusi itu diduga menerima suap sebesar USD 20 ribu dan SGD 200 ribu. Suap itu, menurut KPK, diberikan dalam 3 termin. Pada termin ketiga itulah Patrialis ditangkap.

"Yang ketiga, USD 20 ribu," ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam jumpa pers di gedung KPK. Suap tersebut berkaitan dengan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang ditangani Patrialis.

Patrialis, yang telah dikuntit oleh KPK selama 6 bulan, dikenai Pasal 12 huruf C atau Pasal 11 UU Tipikor.

Penangkapan itu membuat kita terhenyak kembali. Untuk kali kedua, hakim konstitusi ditangkap KPK.

Pada 2013 kita dikejutkan oleh penangkapan Akil Mohtar, yang kala itu menjabat sebagai Ketua MK (Mahkamah Konstitusi). Mungkin ada di antara kita yang berharap, sehabis penangkapan Akil Mohtar, semua pihak akan sungguh-sungguh menjaga integritas dirinya sehingga kehormatan dan kewibawaan MK kembali terpelihara.

Nyatanya, tidak. Itu sebabnya wajar jika pembayar pajak kecewa mendapati sangkaan bahwa salah satu hakim konstitusi terlibat dalam kasus suap lagi.

Bagaimanapun MK adalah lembaga negara yang sangat terhormat di negeri ini. Lembaga inilah yang dipercaya mengawal dan menafsirkan konstitusi kita dalam kehidupan bernegara.

Hakim konstitusi di dalamnya juga seharusnya bukanlah sembarang orang. Dalam perundang-undangan, hanya Dewan Pertimbangan Presiden dan hakim konstitusi saja yang disyaratkan harus merupakan negarawan.

UUD 1945 bahkan, hanya menyebut hakim konstitusi saja sebagai pejabat negara yang syaratnya adalah negarawan. Tidak ada pejabat negara lain yang disyaratkan seperti itu. Artinya, dia lebih dari sekadar wakil tuhan, seperti julukan untuk para hakim lainnya. Lebih pula bila dibanding pejabat negara yang tidak harus negarawan.

Dalam UU nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, ada sejumlah ketentuan yang menjadi syarat bagi hakim konstitusi.

Menurut undang-undang tersebut, warga negara Indonesia yang menjadi hakim konstitusi harus memenuhi syarat berpendidikan sarjana hukum dan mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya 10 tahun.

Ia juga harus berusia sekurang-kurangnya 40 tahun, dan pada saat pengangkatan dan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.

Selain itu, hakim konstitusi juga harus tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan.

Hakim konstitusi juga dilarang merangkap menjadi pejabat negara lainnya, anggota partai politik, pengusaha, advokat maupun pegawai negeri.

Di atas itu semua, Pasal 15 UU nomor 24 tahun 2003 tersebut jelas-jelas menyebutkan 3 syarat utama untuk menjadi hakim konstitusi. Pertama, memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Kedua, adil. Ketiga, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.

Seleksi hakim konstitusi dengan menyandarkan kepada 3 syarat utama tersebut jelas bukan pekerjaan yang gampang dan boleh dilakukan secara gampangan. Kita mungkin bisa lebih mudah memilah orang yang memenuhi syarat administratif. Namun bagaimana menyaring calon dengan kriteria integritas, sikap adil, dan kenegarawanan? Tidak mudah.

Itu sebabnya undang-undang tentang mahkamah konstitusi mengamanatkan bahwa pencalonan hakim konstitusi harus dilakukan secara transparan dan partisipatif.

Undang-undang tersebut tidak secara eksplisit merumuskan cara seleksi hakim konstitusi. Undang-undang menyerahkan pengaturan tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi kepada tiga lembaga yang berhak mengajukannya. Kita tahu, sembilan hakim konstitusi di MK datang dari 3 lembaga yang berbeda. Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden, masing-masing mengajukan 3 hakim konstitusi.

Belum ada peraturan yang memperjelas tentang bagaimana ketiga lembaga negara tersebut harus melakukan proses seleksi, pemilihan dan pengajuan hakim konstitusi dengan asas transparan dan partisipatif, seperti yang diamanatkan oleh undang-undang itu.

Tidak semua pemilihan hakim konstitusi yang berjalan selama ini dianggap transparan dan partisipatif. Salah satunya adalah penunjukkan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2013.

Penunjukkan Patrialis sebagai hakim konstitusi saat itu ditentang oleh suatu koalisi masyarakat sipil yang beranggotakan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), dan LBH Jakarta. Koalisi tersebut memandang penunjukkan itu tidak sesuai dengan prinsip transparan dan partisipatif.

"Ini mana akuntabelnya, mana obyektifnya? Tiba-tiba seseorang yang kami ragukan integritasnya, kapabilitasnya, profesionalitasnya, justru mengisi hakim konstitusi," kata peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Jafar saat itu.

Tiga tahun kemudian orang yang diragukan integritasnya oleh koalisi masyarakat sipil tersebut muncul di depan publik sebagai tersangka kasus suap.

Penangkapan hakim konstitusi oleh KPK untuk yang kedua kalinya ini seharusnya menjadi momentum untuk menyusun peraturan pola rekrutmen yang jelas dan rinci. Peraturan tersebut harus memastikan proses yang partisipatif dan transparan untuk mendapatkan hakim konstitusi yang akuntabel dan berintegritas.

Kita tidak ingin ada hakim konstitusi ketiga yang dicokok KPK.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/susahnya-mencari-negarawan-yang-berintegritas

Jaringan

Kontak