Salah kaprah ihwal tentara siber

Ilustrasi oleh Kiagus Aulianshah/Beritagar.id

 

Ada yang mengira pemerintah akan merekrut 10.000 orang untuk dipekerjakan sebagai tentara siber, yang bertugas terlibat dalam pertahanan siber negara.

Ada warga masyarakat yang berharap dirinya atau keluarganya bisa berhasil dalam rekrutmen tersebut. Mereka berharap bisa memperoleh pekerjaan, tersalurkan minatnya di bidang teknologi informasi, atau agar mendapat sebutan tentara siber atau cyber army yang terdengar gagah.

Meskipun tidak menghebohkan, isu perekrutan tentara siber itu menjadi salah satu topik pembicaraan hangat di sebagian masyarakat. Itu semua bermula dari pemberitaan tentang sebuah program audisi yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Terkait program tersebut, seperti dikutip oleh Detikcom, Pelaksana Tugas Biro Humas Kementerian Kominfo, Noor Iza, mengatakan, "Nantinya para kandidat tersebut akan dijadikan tentara siber sebagai pertahanan Indonesia di dunia maya."

Pernyataan inilah yang membuat orang mengira bahwa pemerintah sedang melakukan perekrutan tentara siber besar-besaran.

Banyak orang mengira perekrutan tersebut terkait dengan perang informasi dan propaganda yang masih berlangsung di media sosial saat ini. Orang mengira, tentara siber negara itu akan disiapkan untuk berhadapan dengan kelompok cyber army lain.

Benarkah begitu? Tidak. Bahkan dalam siaran pers Kementerian Kominfo, Born To Control --nama kegiatan tersebut--disebut sebagai ajang penjaringan gladiator cyber security. Bukan perekrutan cyber army.

Situs web Born To Control menjelaskan bahwa kegiatan yang digagas oleh pihak swasta dan didukung Kemkominfo itu bermaksud menjaring dan melatih kaum muda yang berminat dalam hal urusan teknis keamanan dari teknologi siber. Tak ada kaitannya dengan perekrutan tentara siber oleh pemerintah.

Namun kita bisa memahami, mengapa masyarakat dengan cepat--dan serampangan--mengaitkan kegiatan tersebut dengan tentara siber. Bagaimanapun, dalam kebisingan perang informasi dan adu propaganda di media sosial, masyarakat kita mulai terbiasa dengan istilah cyber army.

Dalam hampir semua kompetisi politik saat ini, setiap pihak selalu menyiapkan tim propaganda yang disebutnya sebagai cyber army. Masyarakat kita lebih mempersepsi cyber army sebagai orang-orang yang "siap tempur" dalam percekcokan dengan pihak lawan dan memperbesar gema propaganda. Sebagian adalah petugas yang dibayar; sebagian lain adalah mereka yang secara sukarela dan sistematis terlibat di dalamnya.

Dalam konteks peperangan informasi, memberikan sebutan cyber army kepada orang yang bertugas untuk cekcok dengan lawan di ranah media sosial tidaklah pas. Lebih salah kaprah lagi, memberi sebuatan cyber army kepada orang-orang, yang sebetulnya merupakan korban propaganda, yang mengamplifikasi propaganda itu sendiri.

Korban propaganda yang mengamplifikasi propaganda itu sendiri lebih mirip dengan zombie dalam kegiatan hacktivisme. Zombie dalam kegiatan aktivis politik berbasis teknologi siber itu adalah komputer-komputer yang terhubung ke internet yang sudah ditaklukkan, dan bisa dikendalikan untuk menyerang pihak lain secara jarak jauh. Mereka tampak suka rela, namun sesungguhnya telah dilumpuhkan dan dikendalikan.

Tambah salah kaprah lagi jika mengira perang siber hanya berkutat soal teknologi antarjaringan--para "tentara" seolah hanya sibuk di belakang komputer. Dalam perang siber, ketangguhan infrastruktur, keandalan sistem, dan kecerdasan manusia lebih menentukan ketimbang kuantitasnya.

Dalam konteks pertahanan negara, bahkan perang informasi bukan melulu berurusan dengan propaganda. Perang informasi melibatkan tiga jenis perang yang saling terkait: perang elektronik, perang siber, dan operasi psikologi. Ketiga jenis perang itu tampaknya semakin tidak bisa dipisahkan.

Perang di matra digital ini, membutuhkan kesadaran yang tinggi tentang keamanan dari para penggunanya. Pasalnya, celah keamanan tidak hanya datang dari infrastruktur informatika, namun juga dari perilaku para pengguna. Pengguna yang ceroboh, dengan mudah bisa dijadikan pintu masuk lawan, untuk kemudian menyelinap ke dalam sistem.

Negara semestinya telah bersiap diri menghadapi tantangan baru itu. Sayangnya pemerintah pun selalu bersikap maju mundur dalam memperjelas rencana yang terkait dengan pertahanan siber negara.

Wacana pembentukan Badan Siber Nasional sudah terdengar sejak Maret 2015, ketika dokumen Wikileaks menyebutkan bahwa Australia dan Selandia Baru diberitakan menyadap jaringan telepon di Indonesia.

Pertengahan 2016 terdengar kabar bahwa pemerintah membatalkan pembentukan badan tersebut terkait dengan penghematan anggaran. Namun awal tahun 2017 ini wacana itu muncul kembali bersamaan dengan keresahan masyarakat atas penyebaran propaganda berbentuk kabar bohong (hoax) yang memenuhi ranah media sosial.

Bahkan Menteri Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menyebutkan bahwa Badan Siber Nasional itu akan terbentuk pada bulan Januari 2017. Namun sampai di penghujung bulan Januari 2017, tak terdengar kabar apapun mengenai hal tersebut. Padahal pemerintah sendiri telah menyebutkan sejumlah ancaman siber yang benar-benar di depan mata saat ini.

Di luar urusan kelembagaan dan organisasinya, kehadiran Badan Siber Nasional dan wacana pertahanan siber negara yang tepat akan menjadi pendidikan politik siber yang bagus bagi warga negara. Dengan wacana yang tepat, masyarakat pelan-pelan akan terhindar dari kesalahan persepsi tentang perang siber.

Memang, tidak semua warga negara harus menjadi ahli keamanan siber untuk terlibat dalam pertahanan siber negara. Paling tidak, dengan pemahaman yang utuh tentang hal itu, akan tumbuh semangat membela pertahanan siber negara di kalangan masyarakat.

Setiap warga negara mampu menghindarkan diri dengan sadar, agar tidak takluk dan menjadi zombie di bawah kendali penyerang. Warga yang sadar, pun tidak ceroboh membuka celah keamanan negeri sendiri. Itu juga bagian dari bela negara, bukan?

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/salah-kaprah-ihwal-tentara-siber

Kontak