Pada mulanya adalah Oesman Sapta Odang. Wakil Ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), yang juga anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), terpilih menjadi Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Oesman, yang juga biasa dipanggil Oso, menggantikan posisi Wiranto sebagai Ketua Umum dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Hanura 21 Desember tahun lalu. Oesman adalah satu-satunya calon Ketua Umum di Munaslub itu.
Beberapa saat setelah terpilih, kepada wartawan Oesman menyatakan, "Sebanyak 17-18 anggota dari DPD mungkin bergabung. Bahkan ada yang keluar dari organisasi lain, keluar dari partai lain, bergabung dengan saya di Partai Hanura." Soal jumlah anggota DPD yang ikut bergabung ke Partai Hanura itu awalnya simpangsiur.
Gede Pasek Suardika, anggota DPD yang juga ikut bergabung ke Partai Hanura, membantah bahwa anggota DPD yang bergabung ke Partai Hanura hanya 13 orang. "Lebih banyak," katanya tanpa menyebutkan angka yang pasti.
Pada kesempatan lain, kader Hanura Miryam S. Haryani yang pada saat Munaslub itu menjabat sebagai Ketua DPP Partai Hanura mengklaim, anggota DPD yang bergabung ke partainya berjumlah 34 orang. Bahkan Sekjen Partai Hanura Sarifuddin Suding mengklaim anggota DPD yang bergabung dengan partainya berjumlah 70 orang.
Secara hukum, memang tak ada larangan bagi anggota DPD untuk bergabung dengan partai manapun. Di dalam undang-undang Pemilu, tidak ada larangan bagi anggota partai untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPD. Dalam salah satu putusan atas uji materi undang-undang nomor 10 Tahun 2008, Mahkamah Konstitusi tidak memberlakukan larangan pengurus partai untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD.
Meski, pada faktanya, saat ini banyak sekali anggota DPD yang punya latar belakang parpol (partai politik), kabar bergabungnya sejumlah anggota DPD ke Partai Hanura memunculkan sejumlah kekhawatiran.
Ketua Badan Kehormatan DPD AM Fatwa tidak keberatan jika anggota DPD bergabung ke parpol selama tidak menjadi pengurus partai. Fatwa, yang juga berlatarbelakang parpol, mengkhawatirkan konsentrasi anggota DPD sebagai senator daerah menjadi terpecah jika merangkap sebagai pengurus parpol.
Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad, misal, khawatir, "Masuknya mereka itu akan sedikit memengaruhi misi DPD RI yang seyogyanya non-partisan. Sebab, semakin DPD RI didominasi oleh satu partai, maka semakin dikhawatirkan penguatan DPD RI akan diganjal oleh partai-partai lain di DPR RI."
Oesman justru berpandangan sebaliknya. Ia menanggap, banyaknya anggota DPD yang bergabung dengan parpol akan semakin menguatkan aspirasi penguatan DPD.
"Justru lebih diuntungkan. Karena bisa menyampaikan aspirasi melalui fraksi. Sehingga itu merupakan kekuatan tambahan kepada DPD," kata Oesman seperti dikutip Kompas.
Namun, bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya? Bahwa partai politik, seperti disampaikan pengkritik, justru menjadikan DPD seolah seperti underbouw-nya lewat kader-kader yang menjadi anggotanya.
DPD terbentuk dari pemikiran bahwa Indonesia memerlukan lembaga yang dapat mewakili kepentingan-kepentingan daerah. Juga untuk menjaga keseimbangan antar daerah dan antara pusat dengan daerah, secara adil dan serasi. Lewat lembaga tersebut, selain aspirasi daerah bisa lebih terakomodasi, daerah juga mendapatkan peran yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan politik. Terutama sekali untuk hal-hal yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah.
Pada awalnya, terlihat ada semangat yang ingin serius membebaskan DPD dari unsur parpol. Parpol sudah mendapatkan tempat dan ajang untuk memperjuangkan kepentingannya di DPR. Undang-undang nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu sangat kuat memberikan tekanan agar DPD diisi oleh warga negara yang independen dan memahami daerah yang akan diwakilinya.
Pasal 63 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tersebut dengan jelas menentukan dua syarat penting untuk menjadi calon anggota DPD. Pertama, ia harus berdomisili di provinsi yang akan diwakilinya sekurang-kurangnya 3 tahun secara berturut-turut atau 10 tahun sejak berusia 17 tahun. Kedua, ia harus tidak menjadi pengurus parpol sekurang-kurangnya 4 tahun, yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.
Namun parpol tampaknya juga berkeinginan menguasai DPD. Hal itu terlihat sekali sejak DPR menyusun Rancangan Undang-undang untuk menggantikan Undang-undang nomor 12 Tahun 2003 tersebut. Dalam undang-undang tentang Pemilu yang berlaku saat ini, "tidak menjadi pengurus parpol" bukan lagi menjadi syarat bagi calon anggota DPD.
Dengan begitu, tak ada lagi halangan bagi parpol untuk menempatkan orang-orangnya di DPD, seperti halnya mereka menempatkan perwakilannya di DPR. Melihat keadaan seperti itu, kita bisa memahami jika ada yang menganggap bahwa DPR membajak DPD lewat undang-undang Pemilu.
Dalih bahwa bergabungnya anggota DPD ke partai politik akan menjadi kekuatan tambahan kepada DPD karena menyampaikan aspirasi melalui fraksi, seperti yang disampaikan Oesman, tampak kontradiktif dengan latar belakang terbentuknya DPD. Dalih itu malah menunjukkan seolah anggota DPD tidak meyakini kekuatan lembaganya sendiri; mereka seolah sedang mendelegitimasi keberadaan lembaganya sendiri.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/membajak-dewan-perwakilan-daerah