Ada tiga kata kunci yang muncul dalam wacana-wacana pada perayaan Hari Pers Nasional tahun. Pertama, kebenaran. Kedua, hoax atau kabar bohong. Ketiga, media sosial.
Ketiga kata kunci itu terkait dengan kecenderungan-kecenderungan baru yang makin menguat dalam komunikasi massa masyarakat kita. Kecenderungan-kecenderungan baru itu tak lepas dari penggunaan internet dalam berkomunikasi, mencari informasi, maupun berbagi pengetahuan.
Tidak cuma di negeri kira, industri pers dimanapun seolah tidak kuat menghadapi kecenderungan baru yang bahkan berjalan lebih kencang, cerdik dan efisien ketimbang mesin jurnalistik perusahaan media itu.
Dulu perusahaan media adalah lembaga vital dan penting dalam komunikasi massa dan penyebaran informasi. Terkecuali jaringan aparat pemerintah, tidak ada lembaga manapun yang mempunyai jangkauan luas dan cepat dalam urusan itu.
Sebelum internet dikenal, desas-desus dan kabar bohong biasa tersebar di tempat-tempat orang biasa bersosialisasi: warung kopi, pasar, pos ronda, tempat hajatan, bahkan juga di tempat beribadah bersama, dan sejenisnya. Kabar-kabar macam itu lazim dikategorikan dengan sebutan "berita radio dengkul".
Sebutan "berita radio dengkul" menyiratkan bahwa informasi tersebut berasal dari sumber yang tidak jelas dan belum terverifikasi, serta menyebar dari mulut ke mulut individu. Kecepatan dan luas penyebarannya tergantung seberapa kuat dan jauh si penyebar melangkah dengan dengkulnya.
Pada saat yang sama istilah "berita radio dengkul" juga menyiratkan bahwa pada era tersebut masyarakat sangat menghormati lembaga pers dalam kehidupan sosial mereka. Pers merupakan lembaga yang bisa dipercaya sebagai sumber informasi dan komunikasi massa. Pers mempunyai perangkat, sistem, dan metodologi yang dipercaya masyarakat mampu menghasilkan konten yang layak untuk dikonsumsi.
Di era internet, terutama menumpang di ranah media sosial, berbagai jenis informasi -termasuk desas-desus dan kabar bohong--mampu menyebar lebih luas dan cepat ketimbang kemampuan orang melangkahkan dengkulnya. Disokong oleh berbagai teknologi yang memudahkan individu untuk menghasilkan beragam konten, media sosial saat ini menjadi alternatif sumber untuk mendapatkan dan menyebarkan konten.
Internet--bersama teknologi lain yang mengiringi pertumbuhannya--memungkinkan individu atau kelompok kecil masyarakat melakukan kegiatan komunikasi massa yang sebelumnya hanya mampu dilakukan oleh perusahaan media. Cyber culture, terutama di jejaring sosial internet, mengobarkan kembali dan memperkuat insting manusia untuk mencari dan mempercayai sumber informasi yang berasal dari jaringan sosialnya yang paling dekat.
Itu sebabnya pada era media sosial, orang akan lebih dahulu mencari dan mempercayai berita yang berasal dari keluarga, atau teman, atau koleganya ketimbang mendahulukan untuk mengakses langsung produk pers dari perusahaan-perusahaan media.
Media sosial juga memuluskan jalan bagi siapapun yang ingin berkumpul hanya dengan pihak yang sepaham dan sepandangan. Pada gilirannya hal itu akan membentuk ruangan bagi mereka untuk saling menguatkan persepsi, pemahaman dan pandangan yang sama. Itu sebabnya ruang berkumpul semacam itu bisa mengancam penalaran dan daya kritis penghuninya. Ruangan macam itulah yang dikenal dengan sebutan echo chamber.
Laporan global Edelman Trust Barometer tahun 2017 menyebutkan secara global masyarakat kehilangan kepercayaan kepada media. Menurut laporan tersebut, hanya 43% responden global yang masih mempercayai media.
Laporan itu juga menyebutkan, kehilangan kepercayaan kepada media itu ditandai juga dengan kecenderungan untuk tidak mempercayai sumber resmi. Orang lebih percaya kepada individu ketimbang lembaga, kepada informasi yang belum lengkap ketimbang pernyataan resmi lembaga.
Dalam laporan tersebut Indonesia memang tidak termasuk negara yang sedang menghadapi problem kehilangan kepercayaan terhadap media. Namun itu tidak berarti kita boleh lengah terhadap kecenderungan tersebut. Sejumlah tanda hilangnya kepercayaan terhadap media juga sudah ada di depan mata kita.
Pers Indonesia harus waspada terhadap kecenderungan tersebut sejak dini. Kewaspadaan itu bukan semata terkait agar pers tidak terkalahkan oleh media sosial. Bukan juga semata terkait dengan keberlangsungan hidup perusahaan media sebagai lembaga bisnis.
Kewaspadaan itu terkait dengan urusan yang lebih besar. Yaitu menjaga agar pilar keempat demokrasi tetap kokoh berdiri. Hilangnya kepercayaan kepada pers adalah ancaman terhadap kehidupan yang demokratis.
Meski ikut memfasilitasi hilangnya kepercayaan kepada pers itu, media sosial bukanlah musuh pers. Kabar bohong, yang membanjiri media sosial secara sistematis sebagai bagian dari perang informasi para pihak yang bekepentingan itu, bukanlah penyebab hilangnya kepercayaan masyarakat kepada media.
Justru sebaliknya. Pers yang lemah bisa merangsang suburnya kabar bohong, dan menggoda masyarakat untuk berpaling ke sumber-sumber informasi yang tidak mempunyai metodologi yang benar dalam menyajikan informasi.
Pers haruslah kuat, dengan mewujudkan diri sebagai pilar keempat demokrasi--di luar legislatif, yudikatif dan eksekutif. Pers harus menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol, penyebar informasi yang benar, dan alat pendidikan publik.
Di tengah penggunaan media sosial yang semakin masif, pers harus tetap membuktikan diri sebagai pihak yang paling kredibel dalam menyajikan berita yang bisa memperjelas duduk perkara sebuah peristiwa. Upaya untuk menyajikan kebenaran adalah arah dari kerja jurnalistik dalam pers. Bukan yang lain.
Selamat Hari Pers Nasional.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/pers-media-sosial-dan-kabar-bohong