Meladeni tantangan Freeport

Ilustrasi oleh Kiagus Aulianshah/Beritagar.id

 

Richard Adkerson, CEO Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc., memperjelas sikap sesungguhnya PT Freeport Indonesia terhadap peraturan pemerintah terbaru terkait kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara.

Dalam peraturan yang baru itu, seperti disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignatius Jonan, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan tambang yang ingin mengekspor konsentrat. Pertama, pemegang Kontrak Karya (KK) harus mengubahnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Kedua, wajib melakukan divestasi saham sampai 51%. Ketiga, wajib membangun smelter -pabrik pemurnian.

Freeport adalah salah satu perusahaan pemegang Kontrak Karya itu.

Lewat pernyataan yang dikirimkan ke sejumlah media, Richard Adkerson menegaskan, "Peraturan-peraturan pemerintah saat ini mewajibkan Kontrak Karya diakhiri untuk memperoleh izin ekspor, hal mana tidak dapat kami terima."

Ungkapan Adkerson itu lebih tanpa basa-basi ketimbang ungkapan-ungkapan Freeport sebelumnya. Tentang nilai divestasi saham yang disyaratkan mencapai 51% itu, lewat Vice President Corporate Communication Freeport Riza Pratama, Freeport pernah menyatakan, "Kami masih pelajari." Tentang kewajiban membangun smelter, Freeport menegaskan belum akan membangunnya sampai ada kepastian soal perpanjangan kontrak dari pemerintah.

Lalu bagaimana dengan kewajiban untuk mengubah KK menjadi IUPK? Freeport pernah menyatakan bersedia. Namun dengan beberapa syarat.

Pertama, Freeport mensyaratkan, pihaknya mendapatkan kepastian perpanjangan operasi hingga 2041; dan kewajiban untuk membangun smelter baru akan ditunaikan setelah mendapatkan kepastian tentang perpanjangan operasi tersebut. Kedua, Freeport meminta perpajakan tetap atau nail down.

Pemerintah dengan tegas menolak permintaan itu. Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menegaskan semua pihak harus tunduk kepada aturan.

"Peraturan Pemerintah sudah diteken Presiden, Peraturan Menteri diteken Menteri. Semua harus sama kedudukan di mata hukum," kata Arcandra seperti yang dikutip Liputan 6.

Ada sejumlah perbedaan yang sangat nyata antara KK dan IUPK. Perbedaan yang paling kentara adalah kedudukan negara. Dalam KK, negara berkedudukan setara dengan korporasi. Sedangkan dalam IUPK, negara berkedudukan sebagai pemberi izin kepada koporasi.

Dengan begitu, IUPK mendudukan hubungan yang lebih benar antara negara dengan korporasi. Secara implisit, IUPK sangat mempertimbangkan prinsip kedaulatan negara di depan korporasi yang ingin berbisnis di wilayahnya.

Sebagai bangsa, kita punya pengalaman yang sangat buruk ketika negara didudukan secara setara dengan korporasi. Kesetaraan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) -sebagai suatu korporasi- dengan sejumlah kerajaan di Nusantara membuahkan sejarah penjajahan yang panjang.

Selain berbeda dalam mendudukan negara, IUPK juga berbeda dalam masa berlaku perizinan. Dalam KK, masa berlaku perizinan bisa mencapai 50 tahun. Sedangkan dalam IUPK, izin berlaku untuk 10 tahun, dengan opsi perpanjangan 2 kali.

IUPK juga memberi batasan area penambangan. Izin penambangan dalam IUPK diberikan untuk setiap 25 ribu hektare. Jika ingin lebih, perusahaan tambang bisa mengajukan izin baru tambahan. Untuk diketahui, saat ini luas area Freeport mencapai 90 ribu hektare.

Dalam hal perpajakan juga berbeda. Dalam KK, perhitungan pajak bersifat tetap dan tidak berubah mengikuti aturan (nail down). Sedangkan dalam IUPK, pajak bisa berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan aturan yang berlaku (prevailing)

Dalam peraturan pemerintah yang baru itu, dengan sejumlah pembeda dari peraturan lama, kita bisa melihat upaya pemerintah untuk mengembalikan kedaulatan negara atas penguasaan sumber daya alam. Dan itulah yang sekarang sedang ditentang oleh Freeport.

Freeport, lewat pernyataan resmi Adkerson itu, bersikeras bahwa KK masih berlaku meski Pemerintah Republik Indonesia sudah memberlakukan sejumlah undang-undang dan peraturan baru. Bahkan, Freeport memberi waktu 120 hari kepada pemerintah untuk mempertimbangkan poin perbedaan di antara Freeport dan pemerintah. Lewat dari jangka waktu itu, Freeport berencana membawa masalah ini ke Arbitrase karena menganggap pemerintah Indonesia telah melanggar haknya.

Masih dalam konteks itu, pada kesempatan yang berbeda, Freeport seringkali membuka kemungkinan untuk merumahkan karyawannya yang berjumlah ribuan di Papua. Kegiatan ekspor konsentrat memang dihentikan sejak 12 Januari lalu. Pihak Freeport mengklaim, hal itu memengaruhi sejumlah kegiatan produksi. Namun pihak ESDM melihat produksi tambang bawah tanah Freeport masih berjalan normal.

Ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh pemimpin Freeport itu bernada arogan dan mengancam. Kita bisa mempertanyakan kepatutan cara berkomunikasi antara korporasi dengan sebuah negara tempat dia berbisnis.

Kita bersyukur, sampai hari ini pemerintah tidak memperlihatkan raut takut terhadap tantangan Freeport tersebut. Wakil-wakil rakyat di DPR juga menunjukkan sikap berani dan mendorong pemerintah untuk meladeni tantangan gugatan ke arbitrase.

Tantangan Freeport untuk menggugat di jalur arbitrase, sebaiknya diladeni saja oleh pemerintah. Sikap mengalah yang selama ini diperlihatkan oleh pemerintah sudah waktunya diakhiri. Ini waktu yang tepat bagi pemerintah untuk menunjukkan diri sebagai pengelola negara yang berdaulat.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/meladeni-tantangan-freeport

Kontak