Ketika hujan turun lebih sering, lebih lama, dan deras dalam beberapa minggu ini di Ibu Kota, orang segera menebak-nebak apakah Jakarta akan dilanda banjir? Pertanyaan itu lebih sering diungkapkan tidak dengan gelagat mau menganalisis lingkungan; melainkan diungkapkan lebih bernada politis ketimbang analitis. Maklumi saja, Jakarta masih dalam suasana Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah).
Nyatanya, di luar urusan Pilkada, banjir memang menggenang di beberapa titik Jakarta. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyebutkan bahwa ada 54 titik banjir banjir di Jakarta sampai Selasa (21/2/2017) lalu. Akibatnya, ribuan rumah terendam hingga ketinggian 1,5 meter.
Di luar urusan mengaitkan banjir dengan Pilkada Jakarta, kalau kita membuka mata lebih lebar maka tampak bahwa banjir bukan cuma terjadi di Jakarta pada musim penghujan kali ini. Beberapa kota lain di Indonesia juga mengalaminya.
Dekat dengan Jakarta, Bekasi adalah wilayah yang cukup parah dilanda banjir pada Februari ini. Menurut Sutopo, ada 24 kelurahan di Bekasi yang terendam banjir. Ribuan rumah terendam air dengan ketinggian antara 1,2 meter sampai 2 meter. Sedikitnya, 6.340 keluarga diungsikan akibat banjir tersebut.
Jumlah pengungsi akibat banjir juga berjumlah besar di wilayah Brebes. Menurut data yang dirilis oleh Basarnas Kantor SAR Semarang, tidak kurang dari 4.930 orang terpaksa mengungsi akibat banjir pada pertengahan Februari. Mereka mengungsi di 10 tempat pengungsian yang terpisah.
Di Cirebon, banjir bandang memutuskan jalur utama di wilayah itu. Di jalan, ketinggian air diperkirakan mencapai 70 cm. Sedangkan di permukiman bisa mencapai 1 meter.
Banjir menggenang setinggi 30 cm sampai 80 cm di 6 desa dan 2 kelurahan di Mojokerto. Di Batu, ada 3 lokasi yang terdampak banjir. Banjir merendam 3 kecamatan di Gresik. Pasuruan juga dilanda banjir parah pada bulan Januari lalu.
Akibat hujan yang turun tanpa henti selama 4 jam, Pontianak sempat terandam air setinggi 40 cm. Begitu juga dengan Lampung, yang sejumlah kawasannya disapu banjir.
Di Sulawesi Utara, banjir juga terjadi di 3 kabupaten/kota. Di Manado, banjir melanda Kelurahan Bailang Kecamatan Bunaken dan Kelurahan Mahawu Tuminting. Di Tomohon, air meluap di Kelurahan Uliandano, Kelurahan Wailan, Matani III, Tumatangtang. Di Minahasa, banjir terjadi di terutama di Tataaran, Kecamatan Tondano Selatan dan Tounelet, Kecamatan Sonder.
Ada kota-kota lain lagi yang juga dilanda banjir. Curah hujan memang terbilang tinggi dalam beberapa hari ini. Sejumlah daerah sudah menyiapkan sejumlah program untuk menanggulangi banjir.
Surabaya, misal, tampaknya berkonsentrasi ke pembenahan drainase. Kota itu membangun box culvert, yang berfungsi sebagai drainase dan menambah kapasitas jalan. Selain itu, juga menambah kapasitas drainase dari 1,5 meter menjadi 3 meter.
Bima, Nusa Tenggara Barat, yang belum lama ini juga diterjang banjir besar, punya program memperkuat tebing sungai, perbaikan, dan pemasangan bronjong; serta normalisasi sungai dengan relokasi hunian penduduk yang berada di bantaran sungai.
Normalisasi daerah aliran sungai juga dilakukan di Jakarta; selain membuat sodetan Sungai Ciliwung, memperbesar, memperkuat dan meninggikan bantaran sungai.
Kesungguhan kita untuk menata dan menjalankan program penanggulangan banjir harus diwujudkan lebih cepat. Sebab pertumbuhan wilayah pemukiman di beberapa daerah semakin bergerak cepat. Di Jabodetabek, misal, pemukiman nyaris menyatukan wilayah hulu, tengah, dan hilir daerah aliran sungai.
Dengan begitu ruang terbuka hijau maupun daerah resapan air semakin sedikit. Invasi permukiman dari pinggir hingga ke tengah sungai, membuat sungai kian sempit. Warga seolah tinggal di jalur sungai. Banjir pun lebih mudah terjadi.
Alih fungsi lahan adalah penyebab utama berkurangnya daerah resapan. Contohnya, banjir yang terjadi November 2016 lalu di ruas jalan tol Jakarta - Cikampek. Dulu kawasan itu terdiri dari sawah dan daerah resapan. Sekarang telah berubah menjadi daerah komersial yang didominasi oleh beton.
Alih fungsi lahan pula yang menyebabkan sedimentasi dan erosi tinggi di sepanjang daerah aliran sungai. Banjir bandang besar di Garut tahun lalu, di Bima awal tahun ini, begitu juga dengan banjir di Bandung, Pasuruan, Lampung, Bedugul, dan Aceh.
Di luar undang-undang yang terkait dengan lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam, di sejumlah daerah sebetulnya sudah ada peraturan daerah yang mencoba melindungi wilayah hulu daerah aliran sungai. Sayangnya peraturan itu seringkali dilanggar dan pemerintah daerah tidak bertindak tegas.
Dalam kasus banjir Garut yang memakan banyak korban jiwa, sejumlah perusahaan telah ditetapkan menjadi tersangka alih fungsi lahan. Kita senang, penegakan hukum dilakukan dalam kejadian itu. Namun tentu kita seharusnya menegakkan hukum tanpa harus menunggu munculnya korban.
Pengelolaan lingkungan dan tata ruang untuk menghindari bencana adalah keharusan yang tak bisa ditunda. Dan hal itu pasti menuntut konsolidasi semua pihak dan penegakan hukum yang berani.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/mengelola-banjir