Kantor perwakilan KPK di daerah, jangan cuma niat

Ilustrasi oleh Kiagus Aulianshah/Beritagar.id

 

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada akhir tahun lalu sempat mengungkapkan keprihatinan atas sejumlah kepala daerah yang terlibat kasus korupsi.

"Saya ikut merasa bersalah, sedih, dan prihatin. Kepala daerah dan jajarannya adalah keluarga besar saya," kata Tjahjo akhir Desember tahun lalu, seperti dikutip Jawa Pos, sambil mengingatkan kepala daerah agar tidak terlalu ambisius dan memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan pribadi maupun kelompoknya.

Tjahjo memang patut sedih. Jumlah kepala daerah yang terlibat dalam kasus korupsi sangat banyak. Pada pertengahan Agustus 2016 lalu saja Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Ranu Mihardja menyebutkan ada 343 bupati/walikota dan 18 gubernur yang terlibat dalam kasus korupsi.

Dari 343 kasus kepala daerah kabupaten/kota, 50 diantaranya ditangani oleh KPK. Sisanya ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan.

KPK menangani 16 kasus dari 18 kasus korupsi yang dilakukan oleh gubernur. Kepolisian dan kejaksaan menangani sisanya.

Fakta-fakta itu memunculkan kembali gagasan pembentukan kantor-kantor perwakilan KPK di daerah. Kantor perwakilan KPK di daerah itu ditujukan untuk mengawal pemberantasan korupsi secara berkelanjutan.

"Kita dapat mengawal perbaikan secara rinci dan kontinu. Koordinasi dan supervisi bisa lebih kuat dengan aparat penegak hukum setempat, sehingga penanganan kasus korupsi di daerah lebih maksimal," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah Rabu (1/3/2017) lalu seperti dikutip detikcom.

Pembentukan kantor perwakilan KPK bukanlah ide baru. Pada tahun 2012 DPR dikabarkan pernah menolak rencana pembentukan perwakilan KPK.

Seiring dengan kesadaran bahwa kasus korupsi di tingkat daerah belum tertangani dengan baik, keinginan untuk membentuk kantor perwakilan KPK di daerah muncul kembali pada tahun 2014. KPK saat itu tampak sudah memiliki gagasan yang lebih jelas.

Saat itu KPK tidak berpikir untuk mempunyai kantor perwakilan di masing-masing provinsi; melainkan hanya dibagi untuk tiga zona saja. Untuk wilayah barat, KPK akan membuka cabang di Sumatera; tepatnya di Medan. Untuk wilayah tengah, kantor cabang KPK akan didirikan di Kalimantan, di kota Balikpapan. Sedangkan untuk wilayah timur, kantor cabang akan dibangun di Sulawesi, di kota Makassar.

Rencana pembentukan kantor cabang KPK itu ditujukan agar pengawasan di daerah lebih dekat, serta efisien dalam hal waktu. Kantor-kantor cabang itu nantinya akan lebih seperti unit pengaduan dan unit pencegahan di daerah.

Begitulah rencananya.

Pemerintah, lewat Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, saat itu memberikan sinyal positif terhadap rencana itu. Bahkan Presiden Joko Widodo dikabarkan memberikan dukungan atas rencana itu.

Apakah rencana itu berjalan mulus dan terlaksana? Tidak.

Ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan rencana itu. Anggaran dianggap sebagai salah satu kendala dalam pembentukan kantor cabang KPK tersebut. Selain itu, KPK dianggap terlalu ambisius untuk merambah daerah selagi masih punya banyak kasus besar yang belum bisa dituntaskan saat itu.

Rencana pendirian kantor cabang KPK itu seperti menguap bersamaan dengan kegaduhan politik yang berujung pada mundurnya Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.

Gagasan kantor perwakilan berubah wajah pada tahun 2016. Tahun lalu KPK memang tidak membentuk kantor perwakilan daerah. Sebagai gantinya, lembaga anti korupsi itu mengembangkan koordinator supervisi (Korsup) pencegahan korupsi untuk 6 wilayah. Yaitu, Aceh, Sumatera Utara, Riau, Banten, Papua, dan Papua Barat.

Pilihan keenam wilayah itu pasti bukan tanpa alasan. Sumatera Utara, Riau, dan Banten adalah provinsi yang kepala daerahnya beberapa kali terlibat kasus korupsi. Sedangkan di Aceh, Papua, dan Papua Barat terdapat dana besar yang digelontorkan terkait otonomi khusus sehingga layak mendapatkan supervisi pencegahan korupsi.

Belakangan ada tambahan 3 provinsi lagi, yang meminta pendampingan KPK. Yaitu Bengkulu, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur. Dengan begitu pada 2016 lalu KPK mendampingi 9 provinsi.

Mempertimbangkan tingginya kasus korupsi di daerah, niat untuk membentuk kantor perwakilan KPK di daerah seharusnya bisa diwujudkan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan kemungkinan untuk membentuk perwakilan di provinsi.

Kehadiran KPK di daerah tidak perlu dikhawatirkan akan memperlemah peran kepolisian dan kejaksaan dalam memerangi tindak korupsi. Belakangan kita memang meilhat bahwa kejaksaan lebih galak dalam memerangi korupsi ketimbang sebelumnya. Kehadiran KPK di daerah justru akan bersinergi dengan kejaksaan dan kepolisian sehingga upaya mencegah dan menindak tindak korupsi di daerah semakin kuat.

Tinggallah kemudian perkara sumber daya manusia. Ini adalah persoalan penting. Kantor-kator perwakilan KPK di daerah nantinya membutuhkan sumber daya manusia yang punya integritas. Potensi intervensi kekuasaan di daerah tidaklah lebih kecil ketimbang di pusat sehingga kita membutuhkan orang-orang yang sangat tangguh untuk ditempatkan di kantor-kantor perwakilan KPK di daerah.

Rekrutmen sumber daya manusia menjadi kuncinya. Bekerja memerangi korupsi bukan melulu menuntut kemampuan dan keterampilan teknis semata. Lebih dari itu, pekerjaan itu meminta komitmen dan integritas yang tinggi. KPK seharusnya bisa mengembangkan pola rekrutmen yang cocok untuk tujuan ini.

Memerangi korupsi tidak bisa dilakukan secara kepalang tanggung. Kita membutuhkan orang-orang yang juga tidak kepalang tanggung di kantor-kantor perwakilan KPK di daerah nantinya.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/kantor-perwakilan-kpk-di-daerah-jangan-cuma-niat

Kontak