Rencana Revisi Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau lebih dikenal dengan UU KPK, menghangat lagi. Rencana untuk merevisi UU KPK itu sempat memanas di penghujung tahun 2015.
Selentingan tentang rencana revisi UU KPK sebetulnya sudah terdengar pada Februari 2015. Makin mendekati akhir tahun 2015, sikap pro dan kontra atas rencana itu semakin memanas.
Ada sejumlah hal yang memancing perdebatan sengit di tengah masyarakat atas rencana revisi tersebut.
Pertama, dalam draf revisi itu disebutkan bahwa usia KPK akan dibatasi. Secara spesifik disebutkan, 12 tahun setelah revisi tersebut diundangkan, KPK harus bubar. Pasal semacam itu tidak pernah ada dalam UU KPK yang berlaku sekarang. Pembatasan usia KPK itu dipandang sebagai pertanda berhentinya komitmen untuk memberantas korupsi di negeri ini.
Kedua, KPK tidak diberi wewenang untuk melakukan penuntutan. Hal ini berbeda dengan kewenangan yang diberikan oleh UU KPK yang berlaku -yaitu penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Ketiga, KPK hanya bisa menangani perkara korupsi dengan kerugian negara Rp50 miliar atau lebih. Padahal dalam UU KPK sekarang, nilai kerugian negara yang ditentukan bagi KPK hanya sebesar Rp1 miliar. Artinya, ketentuan revisi itu bentuk pengurangan kewenangan KPK.
Keempat, KPK harus mendapat izin pengadilan untuk melakukan penyadapan. Ketentuan ini dikhawatirkan membuat kerja penyadapan KPK menjadi tidak efektif. Dengan mekanisme izin seperti itu, terbuka peluang bocornya rencana penyadapan sehingga membuat proses pengungkapan perkara semakin molor.
Kelima, KPK tidak memiliki penuntut. Sebab penuntut berasal dari lembaga Kejaksaan.
Di luar kelima hal tersebut, beberapa ketentuan lain yang terdapat di draf revisi juga dianggap cenderung melemahkan KPK. Sebut saja ketentuan bahwa KPK lebih diarahkan untuk pencegahan korupsi; KPK bisa menghentikan perkara berdasarkan usulan kejaksaan dan kepolisian; KPK wajib melapor ke kejaksaan dan kepolisian.
Sementara pendukungnya menganggap revisi UU KPK adalah hal penting dengan mempertimbangkan bahwa upaya pemberantasan korupsi seharusnya bersifat permanen, bukan ad hoc. Selain itu, pembatasan kewenangan KPK memang dianggap perlu demi menghindarkan kekuatan yang bersifat mutlak.
Lewat Taufiqurrachman Ruki, yang saat itu menjadi Pelaksana Tugas Ketua KPK, Presiden Joko Widodo menyatakan penolakan atas rencana dan usul revisi UU KPK tersebut.
"Pesan Presiden untuk KPK, Kejaksaan, dan Polri bekerja secara sinergi, tetapi yang paling menggembirakan, dengan tegas Presiden mengatakan bahwa tidak ada keinginan Presiden melemahkan KPK. Oleh karena itu, revisi UU KPK, Presiden menolak," ujar Ruki, seperti dikutip CNN Indonesia, dalam konferensi pers seusai rapat terbatas soal strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi pada pertengahan Juni 2015.
Seolah tidak menggubris berbagai kritik tersebut, DPR bersikeras untuk memasukkan rencana revisi UU KPK ke prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016. Jadilah RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masuk ke dalam Prolegnas prioritas 2016 maupun Prolegnas lima tahunan 2015-2019.
Ketegangan terkait pro kontra rencana revisi UU KPK itu mereda ketika pada Februari 2016 muncul kepastian bahwa pemerintah dan DPR bersepakat untuk menunda pembahasannya. Adalah Presiden Joko Widodo sendiri yang mengabarkan penundaan pembahasan tersebut.
Sikap melunak Presiden Joko Widodo -seperti tercermin dalam penyataan penundaan pembahasan- itu disesali banyak pihak. Seharusnya pemerintah dan DPR mencabut revisi UU KPK itu baik dari Prolegnas prioritas maupun limatahunan. Menunda pembahasan sama saja dengan menyimpan bom yang bisa diledakkan pada saat dibutuhkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Sekarang, setahun setelah pernyataan Presiden tentang penundaan pembahasan tersebut, rencana revisi UU KPK mencuat lagi. Atas perintah pimpinan DPR, Badan Keahlian DPR melakukan sejumlah kegiatan sosialisasi revisi UU KPK. Kegiatan sosialisasi tersebut sudah berlangsung di Universitas Andalas Padang dan Universitas Nasional Jakarta, serta kan berlanjut ke universitas lainnya.
Kita patut bertanya, apakah yang sedang terjadi sebetulnya? Mengapa rencana yang terbukti pernah memicu polemik panas itu kembali diangkat? Terlebih revisi UU KPK itu pun tidak masuk dalam Prolegnas 2017, seperti juga sudah dikonfirmasikan oleh Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas.
Apakah menghidupkan kembali wacana tentang revisi UU KPK itu terkait dengan perkara yang sedang ditangani oleh KPK saat ini? Tidak gampang untuk menemukan jawabannya. Namun, akui saja, agak susah bagi kita untuk tidak penasaran mencari keterkaitan antara kemunculan kembali wacana revisi UU KPK tersebut dengan kegiatan KPK yang sedang menangani perkara besar saat ini.
Salah satu perkara yang sedang ditangani oleh KPK adalah korupsi dalam pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik atau e-KTP. Jumat (3/3/2017) lalu bahkan Ketua KPK Agus Rahardjo menyebutkan keterlibatan nama-nama besar dalam perkara korupsi yang merugikan negara sebesar Rp2 triliun itu.
"Mudah-mudahan tidak ada goncangan politik yang besar ya, karena namanya yang akan disebutkan memang banyak sekali," ujar kata Agus seperti dikutip Kompas.
Kita belum tahu kemana arah kemunculan kembali rencana revisi UU KPK akan bergerak. Jika nanti hal itu menimbulkan polemik yang gaduh, kita berharap KPK tetap bisa memusatkan perhatian untuk menuntaskan perkara-perkara yang sedang ditanganinya.
Kita, para pembayar pajak, tidak ingin upaya KPK dalam memerangi korupsi menjadi lemah. Para pembayar pajak tidak menghendaki kewenangan dan tugas KPK untuk memberantas korupsi dikerdilkan dan diperlemah atas nama apapun.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/revisi-undang-undang-kpk-dimunculkan-lagi-untuk-apa