Mari sudahi kericuhan angkutan online vs tradisional

Foto: Lucky R/Antara Foto

Ada apa dengan bulan Maret?

Tahun lalu, Maret 2016, terjadi bentrokan pengemudi taksi dengan pengemudi ojek online di Jakarta. Tahun ini, Maret 2017, juga ada ketegangan antara pengemudi angkot (angkutan kota) dengan pengemudi angkutan online di 3 kota: Malang, Tangerang, dan Bandung.

Di Malang, ketegangan itu bermula dari aksi unjuk rasa pengemudi angkot yang menuntut pelarangan kegiatan angkutan online atau daring di kotanya. Aksi yang dimulai 6 Maret itu merupakan kelanjutan aksi sebelumnya pada bulan Februari lalu.

Pada Februari itu, merespons keresahan sopir angkot, sudah ada keputusan memberlakukan zonasi bagi angkutan daring dalam mengambil penumpang di Malang. Rupanya keputusan itu tidak memuaskan para sopir angkot. Itu sebabnya pada aksi Maret ini para sopir menuntut pelarangan total terhadap angkutan daring.

Bukan cuma melakukan mogok, para sopir juga memblokade sejumlah jalan. Itu sebabnya aksi yang berlangsung beberapa hari tersebut nyaris melumpuhkan aktivitas umum di jalan kota Malang. Pemerintah kota dan sejumlah relawan melakukan kegiatan bantuan bagi para penumpang yang terlantar di kota itu.

Ketegangan antara sopir angkot dengan pengemudi angkutan online mulai terasa pada hari ketiga aksi. Sopir angkot melakukan sweeping ke kendaraan-kendaraan yang diduga menjadi angkutan daring. Dilaporkan, polisi berhasil melerai aksi main hakim sendiri dan perusakan mobil itu.

Di Tangerang bentrokan antara sopir angkot dengan pengemudi ojek daring bermula dari demo para supir angkot 8 Maret. Demo itu dilakukan untuk memprotes keberadaan ojek dan taksi daring, yang dianggap telah membuat penghasilan mereka menurun.

Bentrokan antara sopir angkot dan pengemudi ojek daring terjadi di beberapa titik kota Tangerang. Seorang pengemudi ojek daring mengalami koma, setelah ditabrak oleh pengemudi angkot yang kemudian berhasil ditangkap polisi. Beberapa pengemudi ojek lain juga dilaporkan terluka.

Ada juga kendaraan angkot yang dirusak oleh pengemudi ojek online. Ketegangan antara sopir angkot dan pengemudi ojek online itu akhirnya bisa didamaikan.

Di Bandung ketegangan terjadi terkait dengan aksi mogok massal dan unjuk rasa sopir angkot menolak angkutan daring yang berlangsung 9 Maret. Para pengunjuk rasa menuntut penghapusan Peraturan Menteri Perhubungan nomor 32 tahun 2016 tentang angkutan umum berbasis daring.

Dalam aksi itu terjadi insiden perusakan sebuah mobil pribadi. Para pengunjuk rasa mengira mobil tersebut sebagai taksi daring. Belakangan terbukti bahwa mobil itu adalah mobil pribadi yang berisikan satu keluarga.

Tiga peristiwa di tiga kota dengan satu isu yang sama sangatlah wajar mengundang rasa penasaran tentang seberapa kebetulan peristiwa itu terjadi. Namun yang lebih penting dari itu, ketiga peristiwa itu mengingatkan kepada beberapa hal.

Pertama, peristiwa itu memperlihatkan bahwa polisi tampak tidak mampu mengantisipasi lebih dini kemungkinan kericuhan yang ditimbulkan dari aksi unjuk rasa dengan isu angkutan daring. Aksi serupa untuk isu yang sama bukanlah hal yang baru pertama kali terjadi sehingga seharusnya polisi lebih siap mengantisipasinya. Sangat kita sesalkan ketidaksiapan pihak polisi tersebut.

Kedua, pemerintah seharusnya bukan saja lebih tegas bersikap mengenai kehadiran angkutan daring sebagai salah satu moda transportasi umum; melainkan seharusnya pemerintah juga memperlihatkan secara menyeluruh rencana pengembangan dan penyediaan transportasi publik yang lebih baik.

Dengan begitu semua stakeholder yang selama ini terlibat dalam penyediaan angkutan publik menjadi lebih menyadari posisinya dalam rencana-rencana tersebut.

Kita masih ingat, bentrokan antara pengemudi ojek daring dengan ojek pangkalan secara sporadis sudah tampak sejak 2015. Sampai-sampai, untuk membangun rasa saling pengertian, Presiden Joko Widodo saat itu mengundang puluhan sopir angkutan umum--termasuk sopir ojek pangkalan dan ojek daring--untuk makan siang di Istana Negara.

Pada kesempatan itu Presiden tampaknya secara khusus mencoba memberikan pengertian tentang pentingnya memperlakukan ojek daring secara fair.

"Kan sama-sama untuk anak dan istri. Masa Gojek enggak boleh kerja? Ini kan memang persaingan, di mana pun memang seperti itu," kata Presiden Joko Widodo saat itu seperti dikutip CNN Indonesia.

Yang mengagetkan. Satu bulan setengah setelah makan siang Presiden dengan para pengemudi angkutan umum itu, Kementerian Perhubungan mengeluarkan larangan beroperasi bagi angkutan daring. Alasannya, ojek maupun taksi daring dinilai tidak memenuhi ketentuan sebagai angkutan umum.

Larangan itu menuai reaksi, bukan cuma dari masyarakat, melainkan juga dari Presiden Joko Widodo. Sepanjang dibutuhkan oleh masyarakat, menurut Presiden, ojek dan taksi online itu seharusnya tidak dilarang.

Ignasius Jonan, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perhubungan, akhirnya mencabut larangan itu. Menurut Jonan, seperti dikutip Jawa Pos, layanan transportasi berbasis aplikasi dipersilakan tetap beroperasi hingga sarana transportasi publik dapat terpenuhi dengan layak.

Peraturan Menteri Perhubungan nomor 32 tahun 2016, yang diprotes oleh sopir angkot di Bandung itu, sebetulnya mempertegas sikap pemerintah terhadap keberadaan angkutan umum online. Peraturan tersebut merupakan payung hukum bagi keberadaaan angkutan online, khususnya taksi online.

Peraturan itu mungkin saja tidak sesuai dengan semangat awal gagasan para pengembang aplikasi tentang sharing economy. Namun peraturan itu memberi kejelasan bagi warga negara yang berniat mengais rejeki lewat angkutan online.

Selain respek kepada inovasi-inovasi--seperti angkutan online itu, Pemerintah seharusnya juga punya perhatian kepada kelompok-kelompok yang secara alami tersisih dalam kompetisi usaha angkutan umum. Pemerintah sudah sepatutnya memperlihatkan kepada seluruh pembayar pajak -termasuk para sopir angkot--visi dan rencana yang jelas di bidang transportasi publik.

Kelompok-kelompok yang saat ini gundah karena mulai tersisih dalam kompetisi--seperti sopir angkot itu--layak mengetahui peluang dan harapan yang tersedia bagi mereka dalam visi dan rencana tersebut. Harapan selalu berpeluang meredakan ketegangan-ketegangan.

Dalam gesekan antara angkutan daring dan angkutan tradisional, rakyat kecil yang sama-sama mencari nafkah selalu berada di pihak korban. Belum lagi, kericuhan seperti itu juga sering memakan korban dari pihak yang tidak sedang bersengketa, seperti yang dirasakan keluarga pemilik kendaraan pribadi yang dirusak di Bandung itu.

Langkah nyata pemerintah harus segera dilakukan agar kericuhan semacam itu tidak menjadi bahaya laten, yang juga bisa dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/mari-sudahi-kericuhan-angkutan-online-vs-tradisional

Jaringan

Kontak