Pesona keluarga cendana dan daya ingat kita

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

 

Menjelang acara Haul Soeharto dan peringatan Surat Perintah Sebelas Maret -yang dikenal dengan Supersemar, puja-puji terhadap rejim Orde Baru muncul menjadi percakapan di masyarakat kita. Di media sosial, percakapan tentang Soeharto terasa lebih gencar ketimbang sebelumnya. Keluarga Cendana -begitu biasa kita menyebut keluarga Soeharto- menjadi lebih sering disebut.

Banyak orang percaya, momen itu menjadi pertanda dimulainya kembali geliat kubu politik keluarga Soeharto. Dan bintangnya adalah Tommy Soeharto.

Itu bukanlah peristiwa yang tiba-tiba. Menggeliatnya kubu politik keluarga Soeharto bukan pula upaya yang baru dimulai belakangan ini.

Selepas Soeharto lengser dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia, untuk beberapa saat Keluarga Cendana seperti tiarap dalam urusan politik. Terlebih beberapa orang dari Keluarga Cendana tersandung kasus hukum. Untuk urusan Keluarga Cendana saat itu, mata masyarakat tampaknya lebih asik mengikuti perkembangan kasus Tommy Soeharto.

Tahun 2000 Tommy divonis bersalah oleh Mahkamah Agung dalam kasus ruislag PT Goro dan Bulog. Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita yang menjadi Ketua Majelis yang menangani perkara itu mengganjar Tommy untuk wajib bayar ganti rugi Rp30 miliar, denda Rp10 juta, dan hukuman kurungan 18 bulan penjara.

Tommy meminta grasi. Namun Presiden Abdurrahman Wahid saat itu menolak permintaan grasi tersebut. Tommy pun kabur sebagai buronan.

Setengah tahun kemudian, Juli 2001, Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita tewas ditembak. Adalah Tommy yang menjadi otak di belakang pembunuhan hakim itu. Setelah melewati masa buron, pada November 2001 Tommy ditangkap di bilangan Bintaro Jakarta Selatan. Lelaki bernama lengkap Hutomo Mandala Putera itu divonis 15 tahun penjara dalam kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita dan kepemilikan senjata api ilegal.

Tahun berikutnya Siti Hardiyanti Rukmana, putri Soeharto paling menonjol di pentas politik era Orde Baru, tampak muncul kembali di kancah politik. Pada tahun 2002 itu Mbak Tutut -begitu biasanya dia dipanggil- ikut mendirikan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Dibawah kepemimpinan R Hartono, partai itu gagal meraih suara maksimal di Pemilu 2004.

Setelah hampir dua tahun kiprahnya nyaris tidak terdengar, pada 2006 Keluarga Cendana kembali mencuri perhatian masyarakat. Tahun itu Tommy keluar dari penjara setelah mendapatkan pembebasan bersyarat. Pada tahun yang sama Titiek Soeharto muncul sebagai presenter tayangan sepak bola di sebuah stasiun TV.

Kemunculan perempuan bernama lengkap Siti Hediati Hariyadi di acara TV yang padat dengan penonton itu seolah menyampaikan pesan bahwa Keluarga Cendana masih hadir di tengah kita. Titiek Soeharto saat itu seakan bertugas menangani urusan tampil di depan publik, menggantikan Mbak Tutut, yang saat itu memusatkan perhatiannya untuk merawat Soeharto yang sedang sakit.

Belakangan justru Tommy lah yang menjadi bintang Keluarga Cendana yang paling aktif di arena politik; selain kemudian Titiek.

Lelaki yang menggemari olahraga balap mobil itu hadir dalam peringatan hari ulang tahun Kopassus tahun 2007. Dalam acara itu Danjen Kopassus Mayjen TNI Rasyid Qurnuen Aquary tampak membungkuk saat menyalami Tommy. Gestur itu sempat memunculkan tafsir bahwa Kopassus masih tunduk kepada kekuasaan Soeharto. Keluarga cendana masih memesona.

Tommy memilih tahun 2009 sebagai waktu yang tepat untuk mulai tampil high profile di tataran politik. Ia mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Meski pun gagal meraih posisi yang diincarnya, Tommy adalah kandidat yang lolos verifikasi calon Ketua Umum. Itu artinya, Keluarga Cendana masih punya daya pikat.

Kubu politik Keluarga Cendana tampaknya memang lebih mementingkan jaringan ketimbang sebuah partai politik. Itu terlihat dari sosok Tommy. Meski masih tercatat sebagai anggota Golkar, Tommy disebut-sebut masuk di jajaran Dewan Pendiri Partai Nasional Republik, dan akan diusung sebagai Calon Presiden 2014 oleh Partai Buruh.

Namun Partai Nasional Republik bentukan Tommy Soeharto dinyatakan tidak lolos verifikasi adminsitratif untuk menjadi partai politik peserta Pemilu 2014. Ada dua parpol lain yang berasal dari Keluarga Cendana yang juga tidak lolos verifikasi. Yaitu, Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) besutan Mbak Tutut, dan Partai Karya Republik bentukan Ary Sigit.

Branding Keluarga Cendana terasa lagi ketika pada tahun 2012 mulai bermunculan foto Soeharto tersenyum yang disertai dengan teks "Piye kabare? Enak jamaku to?". Awalnya gambar itu populer terpampang di badan truk yang hilir mudik antar kota. Belakangan foto dan slogan itu muncul dalam beragam media: kaos, stiker dan lainnya. Bahkan pada Pemilihan Presdiden 2014 ada komunitas yang menyebut diri sebagai Komunitas Piye Kabare.

Susah untuk menolak kesan bahwa hal itu merupakan upaya branding yang terencana. Lewat branding itu, masyarakat digoda untuk meyakini bahwa kehidupan di era kekuasaan Soeharto jauh lebih baik ketimbang sekarang.

Keluarga Cendana masih dianggap memesona oleh sebagian warga yang tidak menyadari situasi sebetulnya. Pesona itu hanya terlihat oleh mereka yang mengabaikan atau tidak menyadari kenyataan bahwa kebangkrutan negara yang efeknya terasa sampai sekarang itu disulut oleh ketidakmampuan rejim Soeharto yang korup dalam mengelola negara.

Bersamaan dengan branding itu, Tommy dan Titiek tampak lebih aktif dalam berpolitik di Partai Golkar. Titiek adalah Wakil Sekjen Partai Golkar perioda 2009-2014, dan Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar perioda 2016-2019.

Kiprah Keluarga Cendana dalam urusan politik semakin memperlihatkan diri. Dalam kekisruhan Partai Golkar di era 2014 - 2015, misal, Titiek dan Tommy tampak mengambil peran untuk meredakan peseteruan yang ada.

Tommy tetap mempunyai banyak kaki dalam berpolitik. Selain mendirikan organisasi massa Kiblat dan Himpunan Masyarakat Peduli Indonesia, Tommy juga dikabarkan mendirikan Partai Pemersatu Bangsa. Terakhir dikabarkan Tommy mendirikan Partai Berkarya, yang telah mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM.

Sekjen Partai Berkarya Badaruddin Andi Picunang mengklaim bahwa Tommy sudah meninggalkan Partai Golkar lantaran telah menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Berkarya. Partai Berkarya bahkan bersiap untuk berkoalisi dengan Partai Swara Rakyat Indonesia untuk mengusung Tommy Soeharto sebagai Calon Presiden di 2019.

Di alam demokrasi, tak ada larangan bagi siapa pun -termasuk Keluarga Cendana- untuk semakin high profile dalam pentas politik. Itu adalah hak politik yang dilindungi di negeri yang demokratis.

Apakah langkah-langkah yang diambil Keluarga Cendana akan cukup berpengaruh dalam pentas politik? Soal itu, akan ada banyak faktor yang bisa diperdebatkan banyak orang. Yang jelas, pesona Keluarga Cendana di tengah para pemilih sangatlah tergantung kepada seberapa panjang daya ingat kita atas sejarah politik kita sendiri.

Sebagai pemilih, meskipun saling terkait, ada dua hal yang jelas harus kita bedakan. Pertama, siapa pun berhak untuk berpolitik. Kedua, sejarah tidak boleh dimanipulasi untuk kepentingan apa pun -termasuk untuk memenangkan pertarungan politik.

Merawat kesadaran sejarah kita adalah bagian dari merawat Indonesia kita.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/pesona-keluarga-cendana-dan-daya-ingat-kita

Kontak