Kabar terakhir menyebutkan, anak-anak yang sudah teridentifikasi sebagai korban pencabulan di grup Facebook Official Lolly Candy bertambah 5 orang; menjadi 13 orang. Kita semua sungguh merasa risau mendengar kabar tentang grup para pemangsa anak-anak yang berhasil diungkap oleh Polda Metro Jaya pertengahan Maret 2017 ini.
Kita juga terkejut mendapatkan laporan bahwa grup kaum pedofil yang dikelola oleh empat anak muda Indonesia itu beranggotakan 7.497 pengguna Facebook dengan jumlah konten tak kurang dari 500 video, dan 100 gambar pornografi dan pencabulan anak-anak.
Itu artinya, pemangsa anak-anak sangat banyak di sekeliling kita. Lebih mengerikan lagi, grup pedofil Indonesia itu berjejaring dengan kelompok pedofil internasional.
Ini bukan kasus pornografi anak-anak pertama yang melibatkan orang Indonesia dan Facebook. Tiga tahun lalu, Maret 2014, polisi menangkap Tjandra Adi Gunawan di Surabaya. Lelaki yang bekerja sebagai manajer quality assurance di sebuah perusahaan itu berpura-pura menjadi seorang dokter wanita ahli reproduksi untuk menjerat anak-anak di bawah umur. Ia menyebarkan foto-foto pornografi anak di media sosial.
Di luar media sosial, kasus pencabulan terhadap anak-anak juga tak kalah merisaukan. Masih ingat dengan Baekuni yang punya nama alias Babe? Januari 2010 lelaki yang biasa mengoordinasikan anak-anak yang berdagang asongan dan mengamen itu ditangkap polisi. Pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada Babe karena mencabuli anak-anak, membunuh 14 korban, yang empat di antaranya dimutilasi.
Kejahatan pencabulan terhadap anak-anak di negeri kita memang mengerikan. Negeri ini bahkan sempat mendapat predikat buruk atas hal tersebut.
Sydney Morning Herald pernah menurunkan liputan atas kasus pencabulan terhadap anak-anak yang dilakukan warga Australia di Jakarta, Peter Smith, pada 2006. Masih ingat apa judul artikel itu? A paradise for pedophiles. Negeri ini dilabeli surga bagi kaum pedofil. Miris.
Sudah menjadi rahasia umum, beberapa waktu lalu, Indonesia menjadi salah satu negara tujuan para pemangsa anak-anak dari berbagai penjuru dunia. Bali adalah salah satu daerah wisata yang disebut-sebut menjadi jujugan wisata para pemangsa anak-anak itu.
Januari tahun 2016 lalu polisi menangkap Robert Andrew Fiddel Ellis, lagi-lagi seorang warga Australia, di Tabanan Bali. Lelaki tua itu terlibat kasus pencabulan terhadap anak-anak di bawah umur. Korbannya, yang rata-rata berumur 10 tahun, berjumlah tak kurang dari 15 orang.
Dari sisi hukum, kita memang punya banyak Undang-Undang yang bisa dipergunakan untuk menjerat para pelaku pornografi dan pencabulan anak-anak. Sebut saja, selain KUHP, kita sudah memiliki Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Undang-undang Pornografi.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita menegakkan hukum itu? Sayang sekali, seperti diungkapkan oleh Institute for Criminal Justice Reform, penegakan hukum pornografi anak-anak itu lebih rendah ketimbang pornografi orang dewasa.
Pada 2015 sekitar 31,43 persen perkara pornografi dewasa dapat dituntaskan sedangkan perkara anak hanya 3,45 persen. Pada 2016 perkara pornografi dewasa bisa dituntaskan 32,41 persen, sedangkan pornografi anak nol persen.
Kita harus lebih serius dalam menegakkan hukum terkait perkara pencabulan dan pornografi anak. Kita tidak bisa mengharapkan efek jera dari hukum-hukum yang kita bentuk, jika kita tidak bersungguh-sungguh menegakkannya.
Jauh lebih dulu dari penegakan hukum, perlindungan terhadap anak-anak dari para pemangsa harus dilakukan oleh setiap orang dalam masyarakat kita. Orangtua, tentu saja, adalah pihak pertama yang harus memastikan anak-anaknya terlindungi. Bukan saja tidak boleh melepaskan perhatian, untuk melindungi anak-anaknya, para orang tua harus berani bergesekan dengan kecenderungan dalam budaya kita saat ini.
Meski dalam budaya kita saat ini ada kecenderungan yang mendorong hampir setiap orang terhubung secara online, para orang tua harus berani tidak mengizinkan anak-anak kecilnya untuk masuk ke jejaring sosial di internet. Para orangtua tidak perlu membuatkan akun jejaring sosial untuk anak-anaknya yang belum cukup umur untuk memilikinya. Tidak perlu.
Para pemangsa anak-anak tidak hanya ada di Internet, sikap waspada yang sama juga harus diperlihatkan para orang tua dalam lingkungannya. Budaya kita memang cenderung memberi kepercayaan lebih kepada orang-orang dekat. Namun banyak kasus pelecehan, pencabulan dan pornografi anak itu terkait dengan orang-orang dekat yang dikenal oleh si anak.
Oleh karenanya, tanpa harus berburuk sangka kepada lingkungan sekitarnya, para orangtua tetap menjaga sikap waspada -bahkan kepada orang-orang yang dekat di lingkungannya.
Apakah perlindungan terhadap anak-anak hanyalah menjadi tanggung jawab orangtua masing-masing? Tentu tidak. Setiap orang sudah seharusnya peduli dengan lingkungan sekitarnya untuk memastikan anak-anak kita terlindungi.
Terbongkarnya grup Facebook Official Lolly Candy adalah contoh keterlibatan lingkungan dalam melindungi anak-anak. Grup kaum pedofil itu terbongkar berkat keterlibatan sebuah komunitas orang tua di Facebook. Komunitas inilah yang kemudian menyusup ke dalam grup kaum pedofil itu dan kemudian melaporkannya kepada polisi.
Pemerintah bertugas memastikan hukum ditegakkan dengan kesungguhan dan birokrasi yang lebih ramah kepada korban-korban pencabulan. Namun jelas, untuk melindungi anak-anak kita dari para pemangsa, keterlibatan setiap warga masyarakat lebih punya peran.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/bersungguhlah-lindungi-anak-anak-dari-para-pencabul