Menyoal sensitivitas keamanan informasi Polisi

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

 

Polisi mendapat sorotan gara-gara sebuah foto disertai dengan informasi yang bernada seperti laporan kepada atasan yang beredar secara luas di media sosial. Salah satu kalimat pembuka dalam informasi itu berbunyi, "Selamat Pagi Komandan. Mohon izin melaporkan pada hari ini sabtu tanggal 01 april 2017 jam 02.15 wib ..."

Foto itu memperlihatkan 5 mayat yang terkapar berjejer di rerumputan. Di belakangnya, 13 orang polisi berpose dengan wajah garang dan tangan terkepal. Kelima mayat itu adalah begal yang tewas dalam baku tembak dengan Tim Khusus Anti Bandit (Tekab) 308 Sat Reskrim Polresta Bandar Lampung, di Jembatan Layang Srengsem, Panjang, Bandar Lampung, Sabtu dini hari (1/4).

Tak ayal lagi foto itu mengundang sejumlah kritik dan kecaman. Foto tersebut mengingatkan orang kepada foto para pemburu yang berpose untuk memperlihatkan kesuksesan membunuh binatang buruannya. Pose para polisi dalam foto itu dianggap mengabaikan rasa kemanusiaan; sangat tidak etis.

Tak perlu lama kemudian kecaman masyarakat itu segera direspon. Polri menyesalkan dan meminta maaf atas pose tersebut. Divisi Profesi dan Pengaman Markas Besar Polri pun diturunkan ke Lampung untuk memeriksa kasus tersebut.

Kita tinggal menunggu hasil pemeriksaan itu. Apa pun hasilnya nanti, kita berharap pemeriksaan itu tidak menurunkan semangat anggota Polri dalam menumpas kejahatan. Kita berharap pemeriksaan itu merupakan koreksi atas perilaku yang tidak etis. Penegakan hukum dan ketertiban pun tidak boleh mengabaikan etika.

Hanya itu sajakah masalah yang muncul dari beredarnya foto yang beredar viral tersebut? Tidak. Kasus peredaran foto tersebut juga menyangkut masalah penting lain: pengelolaan informasi dalam kerja lembaga kepolisian.

Foto pose para polisi di depan mayat-mayat begal itu sudah pasti bukanlah foto yang dirilis secara resmi oleh pihak kepolisian untuk disebarkan ke masyarakat. Foto-foto itu, meminjam istilah Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rikwanto, untuk disebarkan ke internal saja.

Pertanyaannya, mengapa foto yang ditujukan untuk kalangan internal terbatas itu tersebar secara viral di media sosial?

Bagaimana pula dengan informasi yang menyertai foto itu, yang bunyinya seperti sebuah laporan internal dari bawahan ke atasan? Jika benar itu merupakan sebuah laporan, apakah memang boleh dilakukan lewat media sosial? Jika tidak boleh, mengapa laporan tersebut bocor ke publik?

Informasi yang bernada laporan internal semacam itu sekarang begitu banyak beredar di media sosial. Dengan memasukkan kata kunci "mohon izin melaporkan" ke mesin pencari, kita bisa menemukan banyak informasi-infromasi berbau 'laporan internal' yang menyebar ke masyarakat.

Ada yang yang melaporkan penangkapan orang yang mengamuk di jalan. Ada juga yang melaporkan penemuan jasad bayi di tol. Ada juga laporan tentang penangkapan terduga teroris, dan lainnya.

Memang tidak ada instansi yang mengkonfirmasikan bahwa informasi tersebut merupakan laporan internal di lembaganya. Namun, kombinasi kata "komandan" dan frasa "mohon izin melaporkan" yang ada di dalamnya, membuat banyak orang meyakini bahwa informasi-informasi tersebut adalah laporan-laporan seorang bawahan kepada atasannya untuk keperluan internal di sebuah lembaga negara; bukan rilis resmi lembaga untuk keperluan komunikasi dengan masyarakat luas.

Foto 13 polisi berpose di depan mayat begal memang tampak terasa seolah bukan sebuah informasi sensitif yang bisa membahayakan negara. Laporan tentang penemuan jasad bayi di jalan tol juga mungkin terasa bukan sebuah rahasia negara yang perlu ditutup-tupi. Namun ketika masih dalam status untuk internal, data apa pun -termasuk foto dan informasi pendek- seharusnya tidak bocor ke masyarakat luas.

Kejadian semacam ini membuat kita ragu: Apakah polisi atau lembaga negara lain mempunyai sistem informasi dan prosedur pelaporan yang baik dan menggunakannya secara berdisiplin? Apakah polisi atau lembaga negara lain punya sensitivitas terhadap keamanan informasi?

Kebocoran informasi internal sebuah lembaga negara -terlebih jika itu bersifat rahasia- tentu membahayakan lembaga negara itu sendiri. Sesedikit apa pun, sebuah informasi internal senantiasa mengandung hal-hal sensitif, yang sebaiknya tidak boleh diketahui oleh umum.

Informasi-informasi internal lazimnya memang belum disiapkan sebagai konsumsi publik. Dalam kondisi itu, laporan tersebut bisa saja masih mengandung bias, belum terkonfirmasikan ke seluruh pihak yang terlibat, belum cukup lengkap perinciannya, dan pasti tidak disiapkan untuk mengantisipasi reaksi publik.

Kebocoran informasi internal seperti itu bisa membuat lembaga negara apa pun merugi, melemah, dan patut dipertanyakan kredibilitasnya. Dan lebih berbahaya lagi, kebocoran informasi internal dari lembaga negara bisa menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Mengapa?

Jika belum lengkap perspektifnya, informasi internal yang bocor ke publik justru bisa membuat masyarakat salah dalam merespon, bersikap dan mengambil keputusan terhadap suatu isu. Dan hal itu bisa berlangsung secara masif karena sebuah kebocoran akan susah dikendalikan luas penyebarannya di era sosial media ini.

Lebih berbahaya lagi apabila pola dan format informasi internal yang bocor tersebut diimitasi oleh pihak-pihak tertentu untuk mengacaukan masyarakat. Berbekal format dan pola informasi yang diyakini oleh publik berasal dari lembaga resmi negara, orang dengan mudah memanipulasi masyarakat dengan kabar bohong, hasutan, dan beragam bentuk propaganda.

Kita ingin mendapatkan informasi terbaru dan tercepat. Namun kita lebih memerlukan informasi yang komprehensif, yang tidak kepalang tanggung dan separuh matang, agar mempunyai pemahaman yang jernih atas sebuah urusan.

Bagaimana pun kebebasan untuk mendapatkan informasi harus disertai dengan tanggung jawab dan sensitivitas keamanan informasi.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/menyoal-sensitivitas-keamanan-informasi-polisi

Kontak