Akhir pekan minggu lalu Jawa Timur diwarnai penangkapan sejumlah terduga teroris. Berawal dari penangkapan di Lamongan, penjemputan di Surabaya, dan saling tembak di Tuban.
Di Lamongan, tepatnya di kawasan Paciran, polisi awalnya menangkap dua orang terduga teroris. Keduanya tidak memberikan perlawanan ketika ditangkap. Belakangan polisi menangkap orang ketiga di tempat berbeda sehingga terduga teroris yang ditangkap menjadi 3 orang.
Salah satu terduga teroris yang ditangkap di Lamongan itu adalah Zainal Anshori. Lelaki merupakan pimpinan jaringan teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Indonesia, setelah ditunjuk langsung oleh Aman Abdurrahman -yang pernah memimpin organisasi itu sebelumnya.
Awal tahun ini JAD ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat. JAD terbukti terhubung dengan ISIS di Timur Tengah dan kelompok Abu Sayyaf di Filipina. Itu sebabnya Amerika Serikat membekukan aset JAD.
Di Indonesia kelompok teroris tersebut tercatat pernah melakukan sejumlah aksi teror. Pada Januari 2014 kelompok JAD melakukan serangan bom di kawasan Thamrin Jakarta. Bulan Februari lalu, kelompok yang sama juga terlibat peledakan bom panci di kawasan Cicendo Bandung.
Adi Bramadinata, salah satu terduga teroris yang ditangkap itu, menurut polisi, berencana melakukan penyerangan terhadap kantor Polsek Brondong dalam waktu dekat. Sementara Zainal Hasan dan Zainal Anshori punya peran dalam pembelian senjata di Filipina.
Geger penangkapan teroris di Jawa Timur akhir pekan minggu lalu itu tidak berhenti di Lamongan. Esoknya, Sabtu (8/4) sore, polisi 'menjemput' Muhammad Nadir Umar di Terminal T2 Bandara Internasional Juanda Surabaya. Muhammad Nadir Umar adalah anggota DPRD Kabupaten Pasuruan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Istilah 'menjemput' itu dipakai oleh pihak polisi untuk membantah berita 'penangkapan'. Sebelum ada klarifikasi dari pihak polisi, memang sempat beredar kabar bahwa pihak kepolisian menangkap seseorang terkait terorisme di bandara itu.
Penjemputan dan pemeriksaan atas Muhammad Nadir Umar awalnya disebut-sebut terkait dengan penangkapan terduga teroris di Lamongan itu. Belakangan polisi menyebutkan bahwa penjemputan tersebut terkait dengan status Muhammad Nadir Umar yang dideportasi oleh pemerintah Turki.
"Karena setiap deportan yang berhubungan dengan Turki maupun informasi radikal dari pemerintah lain, seperti biasanya diberitahukan ke Densus 88 untuk dilakukan pemeriksaan," jelas Karopenmas Polri Brigjen Pol Rikwanto seperti dikutip Liputan6.com.
Tidak sendirian, Muhammad Nadir Umar dideportasi dari Turki bersama Budi Mastur, anggota LSM Forum Dakwah Nusantara (FDN). Budi Mastur sendiri dijemput Densus 88 di Bandara Husein Sastra Negara Bandung.
Keduanya berupaya masuk ke wilayah Suriah sebagai relawan misi kemanusiaan, yang akan mendonasikan dana Yayasan Qouri Umah sebesar US$20 ribu kepada para pengungsi Turki dan Lebanon. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius menyatakan bahwa pihaknya masih harus mendalami kemungkinan keterlibatan kedua orang tersebut dalam kegiatan terorisme.
Pada hari yang sama, masih di Jawa Timur -tepatnya di Tuban, sekelompok orang menembaki polisi yang sedang berpatroli. Pengejaran dan penghadangan membuat kelompok tersebut tersudut. Penyergapan pun dilakukan oleh Densus 88 Anti Teror bersama sejumlah tentara.
Di ujung hari, enam orang terduga teroris itu tewas dalam baku tembak. Sedangkan satu orang ditangkap hidup-hidup.
Polisi menyebutkan bahwa penyerangan yang dilakukan oleh para terduga teroris tersebut di Tuban itu terkait dengan penangkapan di Lamongan sehari sebelumnya. Menurut Brigjen Rikwanto, seperti dikutip Media Indonesia, "Rencana penembakan terhadap polantas Polres Tuban merupakan perintah dari Zainal Anshori apabila dirinya ditangkap."
Yang perlu kita catat, para terduga teroris yang disergap di Tuban itu masih sangat belia umurnya. Dua orang yang sudah teridentifikasi dari 6 jenazah itu adalah anak muda yang berumur di bawah 20 tahun.
Akhir pekan minggu lalu itu memperingatkan kita bahwa jaringan teroris masih berkembang dan sedang melakukan regenerasi. Kita memang perlu mewaspadai kecenderungan itu. Kita pasti tidak ingin negeri ini dihantui oleh teror.
Meski demikian, kita tidak ingin pula penyelesaian terhadap terorisme selalu mengedepankan represi. Terlalu sering kita menjumpai para terduga teroris yang tewas dalam penyergapan ketimbang tertangkap hidup-hidup. Kita sangat berharap polisi sungguh mengedepankan pendekatan yang menghindarkan korban tewas. Bagaimana pun, setiap kekerasan cenderung menyulut kekerasan berikutnya.
Pada waktunya pendekatan represi mungkin akan diperlukan kepada para pelaku teror. Namun yang tak kalah penting adalah upaya untuk mencegah perkembangan dan regenerasi para teroris.
Upaya-upaya itu pastilah berupa program deradikalisasi yang terarah dan terencana. Pada saat yang sama jauh sebelum orang terlanjur memasuki sikap radikal, harus ada upaya yang sunguh-sungguh untuk mencegah berlangsungnya praktik-praktik intoleransi sejak awal. Sikap radikal yang menggiring orang kepada terorisme berawal dari pandangan-pandangan dan praktik-praktik bermasyarakat yang memonopoli kebenaran dan intoleran.
Kewaspadaan kita terhadap terorisme pada mulanya adalah tuntutan kita kepada diri sendiri dan lingkungan agar tetap menjaga sikap toleran dan menghargai perbedaan.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/mewaspadai-terorisme