Selamatkan para penegak hukum dari teror dan intimidasi

 

Ini minggu yang buruk buat kita. Akhir minggu lalu ditandai dengan serangan teroris muda terhadap polisi yang sedang patroli. Awal minggu ini diwarnai dengan teror yang menimpa Novel Baswedan, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sepulang salat Subuh, penyidik senior KPK tersebut dihampiri dua orang tak dikenal mengendarai motor berboncengan. Tanpa diduga, orang yang diidentifikasi berbadan tegap itu menyiramkan air keras ke wajah Novel. Tak terhindarkan, Novel terluka dan segera dibawa ke rumah sakit pagi itu.

Pasti, itu bukan kecelakaan. Bukan juga perampokan.

Polisi tengah bekerja mengungkap kejahatan brutal itu. Penyelidikan masih sedang berjalan. Kita belum mendapatkan pernyataan resmi ihwal kejadian yang baru berlangsung beberapa jam yang lalu itu.

Yang kita tahu, Novel adalah salah satu ujung tombak KPK dalam membongkar berbagai kasus korupsi di negeri ini. Ia punya andil dalam mengusut kasus jual beli sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi, yang melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu Akil Mohtar.

Dia juga terlibat dalam mengungkap kasus Wisma Atlet yang menyeret sejumlah nama besar dari partai politik. Selain itu Novel juga menjadi penyidik utama kasus korupsi simulator SIM, yang melibatakan Kakorlantas Mabes Polri, Irjen Pol. Djoko Susilo. Terbaru, Novel menjadi bagian dari tim penyidik kasus korupsi pengadaan e-KTP.

Selagi polisi masih bekerja untuk mengungkapnya, kita merasakan bahwa kebrutalan selepas subuh tadi itu merupakan teror terhadap penegak hukum yang sedang sedang menjalankan tugasnya. Bukan sekadar kejahatan biasa.

Teror dan intimidasi terhadap petugas KPK bukan sekali ini saja terjadi. Untuk perkara yang lain, Novel Baswedan juga mengaku pernah diintimidasi, "Saya diancam ditembak."

Bukan cuma Novel, penyidik KPK lain juga pernah mengalami teror dan intimidasi. Pertengahan tahun 2015, sebuah benda mirip bom ditemukan di rumah Afif Julian Miftah, penyidik KPK yang tinggal di Bekasi. Meski pun bentuknya sangat mirip dengan bom yang lengkap dengan detonatornya, akhirnya polisi memastikan bahwa benda itu bukanlah bom.

Sebelum mendapatkan kiriman benda mirip bom, Afif pernah mendapatkan intimidasi dan teror dalam bentuk lain: ban mobilnya digembosi dan badan mobilnya disiram air keras oleh orang tak dikenal. Benar bahwa tidak ada konfirmasi resmi yang mengaitkan teror dan intimidasi itu dengan pekerjaan Afif di KPK. Namun kita tahu, teror dan intimidasi memang tidak memerlukan konfirmasi bukan?

Terlebih, kita sudah mencatat bahwa teror dan intimidasi memang bisa menimpa para penegak hukum. Bukan isapan jempol. Bukan juga muncul karena kita bersikap paranoid.

Salah satu teror dan intimidasi yang tidak mungkin kita lupa adalah pembunuhan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita. Hakim yang memvonis bersalah kepada Tommy Soeharto dalam kasus ruislag PT Goro dan Bulog itu tewas ditembak di pagi hari bulan Juli 2001 di tengah keramaian. Pembunuhan itu tampak dengan sengaja mengirimkan pesan teror kepada para penegak hukum.

Belakangan terbukti, pembunuhan tersebut memang terkait dengan kasus yang menyeret anak Presiden Soeharto itu. Pengadilan menyatakan, Tommy pulalah yang menjadi otak pembunuhan tersebut.

Intimidasi dan teror terhadap para penegak hukum memang bisa terkait dengan beragam kasus hukum. Pada tahun 2007, misal, pegawai dan hakim di pengadilan agama Wonosari mendapatkan ancaman pembunuhan terkait dengan putusan sidang perceraian.

Teror dan intimidasi bahkan pernah berlangsung dalam ruang sidang kasus penistaan agama di Pengadilan Negeri Temanggung pada 2011: pengunjung mengamuk karena tidak puas ketika jaksa menuntut terdakwa hukuman 5 tahun penjara. Amukan itu bahkan meluas menjadi kerusuhan di kota tersebut.

Namun memang harus diakui, teror dan intimidasi terhadap para penegak hukum lebih berpotensi terkait dengan kasus-kasus korupsi. Pada 2013, contoh lain, kantor Pengadilan Negeri Gorontalo dan rumah dinas hakim Royke Inkiriwang ditembak oleh orang tak dikenal. Saat itu hakim Royke sedang menangani pra peradilan kasus korupsi.

Intimidasi juga dirasakan oleh hakim yang menangani kasus Artalyta Suryani yang terlibat penyuapan terhadap Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI Urip Tri Gunawan pada 2008. Intimidasi itu berupa teror melalui telepon dan SMS.

Teror dan intimidasi terkait kasus korupsi tidak hanya menyasar para hakim. Sejumlah jaksa juga pernah mengalaminya.

Seorang jaksa perempuan di Madiun yang sedang menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota legislatif pada 2006, misal. Ia diteror dengan sebuah bom rakitan yang diletakan di rumahya.

Awaludin, jaksa penuntut umum dalam kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial Kabupaten Tabanan Bali, pernah mengalami intimidasi saat memasuki kantor Pengadilan Tipikor Denpasar pada 2013. Sejumlah orang mengerumuni sambil mencaci maki Awaludiin saat itu.

Dari berbagai pengalaman teror dan intimidasi yang menimpa para penegak hukum, ada dua hal yang harus menjadi perhatian kita.

Pertama, khusus mengenai kasus korupsi, kita harus sungguh menyadari bahwa kejahatan korupsi bukanlah kejahatan pencurian biasa. Koruptor bukanlah sembarang maling. Kejahatan korupsi, termasuk kategori kejahatan luar biasa.

Kejahatan korupsi hampir selalu mengasumsikan adanya dimensi kekuasaan yang besar di dalamnya. Karena mengandung dimensi kekuasaan di dalamnya itulah, pendekatan intimidasi dan teror lebih berpotensi dalam kasus-kasus korupsi.

Dengan mempertimbangkan hal itu, harus ada peraturan yang jelas dan tegas untuk melindungi keselamatan dan keamanan seluruh pihak yang terlibat di dalam perkara tindak pidana korupsi: saksi, penyidik, penuntut umum, dan hakim. Peraturan semacam itu untuk perkara tindak pidana terorisme sudah ada. Pemerintah seharusnya segera mengeluarkan peraturan serupa untuk tindak pidana korupsi.

Kedua, kasus-kasus teror dan intimidasi harus diungkap secara tuntas. Sampai sekarang kita belum mendapat kepastian siapa pelaku teror dan intimidasi terhadap penyidik Afif, hakim Royke, hakim yang menangani kasus Artalyta Suryani maupun jaksa perempuan di Madiun tadi.

Tidak terungkapnya kasus semacam itu sangat berbahaya bagi kehidupan kita karena tidak menimbukan efek jera bagi pelakunya. Itu akan membuat kejahatan serupa bisa terulang pada masa depan. Selain, tentu saja, hal itu bisa mendemoralisasi para penegak hukum maupun pencari keadilan.

Dari kasus Novel Baswedan hari ini, kita tak cukup hanya mengecam aksi brutal tersebut. Kita berharap, polisi memperlihatkan kesungguhannya untuk mengungkap motif, pelaku, dan dalang dari teror dan intimidasi itu.

Pengungkapan kasus ini akan menjadi sangat penting untuk meneguhkan keyakinan dan sikap bersama bahwa negara dan rakyat menyatakan berperang terhadap korupsi. Kita menghendaki hidup bernegara tanpa korupsi dan tanpa teror dan intimidasi.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/selamatkan-para-penegak-hukum-dari-teror-dan-intimidasi

Kontak