Kabar duka begitu cepat menyebar pada Sabtu (22/4) petang. Bahkan sebelum media-media mengabarkan berita yang sudah terkonfirmasi, kita sudah mendapatkan informasi tentang kecelakaan yang terjadi di Jalan Raya Puncak Mega Mendung Bogor lewat saluran media sosial dan aplikasi pesan daring.
Sebelum terkonfirmasi, informasi yang beredar menyebutkan jumlah korban tewas dalam kecelakaan itu mencapai belasan orang. Itu jumlah yang sangat besar.
Namun belakangan berita yang terkonfirmasi menyebutkan jumlah korban tewas dalam kecelakaan itu mencapai 4 orang. Apakah dengan begitu kita bisa menyebut kecelakaan itu memakan korban sedikit? Tidak. Jangankan memakan korban tewas, kecelakaan yang mengakibatkan orang terluka pun tetap harus kita sebut sebagai kecelakaan yang memakan korban besar.
Kecelakaan itu terjadi karena sebuah bus pariwisata menabrak 12 kendaraan lain. Yaitu, 1 bus, 6 mobil, dan 5 sepeda motor.
Yang mengenaskan, sejak Sabtu siang sebetulnya sudah terlihat gelagat bahwa bus pariwisata itu tidak layak untuk beroperasi. Jam 11 siang bus tersebut terpergok mogok di jalan tol menuju daerah Puncak. Polisi yang memergoki bus mogok itu bahkan juga tahu bahwa pengemudi tidak bisa menunjukkan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).
Alasannya? STNK-nya hilang. Pengemudi bisa menunjukkan surat kehilangan STNK itu. Karena bisa memperlihatkan surat kehilangan dan berhasil mengatasi problem mogoknya, polisi mengizinkan pengemudi untuk melanjutkan perjalanannya. Sayang sekali.
Belakangan, setelah kecelakaan terjadi, pengemudi itu bahkan tidak bisa menunjukkan Surat Izin Mengemudi (SIM) miliknya. Seharusnya hal ini sudah terendus oleh polisi sejak memergokinya mogok siang hari.
Yang lebih memilukan dan membuat kita geram, penyebab kecelakaan itu adalah rem bus tersebut blong, tidak berfungsi. Mengapa kecelakaan yang disebabkan oleh tidak berfungsinya rem itu begitu sering terjadi?
Untuk melihat betapa besarnya korban dan banyaknya kecelakaan lalu lintas akibat rem blong, kita tidak perlu menengok data kecelakaan dalam setahun. Cukup cari saja informasi kecelakaan lalu lintas akibat rem blong selama bulan Maret lalu saja, misal, maka jari di tangan dan kaki kita tidak cukup untuk memperlihatkan jumlah kecelakaan itu.
Dan itu terjadi di berbagai daerah. Sebut saja Jakarta, Purwakarta, Pasuruan, Slawi, Ambon, Semarang, Blora, Bandar Lampung, Palopo, Sampit, dan banyak daerah lain.
Rem adalah salah satu bagian vital kendaraan yang menentukan keselamatan di jalan. Bagaimana boleh kendaraan yang bermasalah dengan remnya boleh melaju di jalan? Tidakkah kendaraan-kendaraan itu secara rutin diperiksa untuk memastikan kelayakannya untuk berjalan?
Terlebih lagi, untuk kendaraan umum pengangkut penumpang dan kendaraan niaga pengangkut barang, bukankah wajib untuk diperiksa berkala dalam uji kir? Bagaimana bisa kendaraan yang bermasalah dengan remnya bisa lolos uji kir?
Uji kir dilakukan untuk memastikan bahwa kendaraan memenuhi syarat untuk layak jalan sehingga tidak menimbulkan masalah di jalan. Sejumlah elemen diperiksa dalam uji kir. Mulai dari rem, ban, wiper, klakson, kaki-kaki, emisi, instrumen di dasboard, lampu-lampu, juga kondisi mesin.
Menurut Pasal 5 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 133 Tahun 2015, uji kir berkala itu harus diperpanjang setiap 6 bulan. Itu artinya, jika aturan ini ditegakkan dengan sesungguhnya, kondisi kendaraan umum dan niaga seharusnya termonitor dan cukup terkendali.
Faktanya, kecelakaan yang disebabkan oleh ketidaklayakan kendaraan masih terus saja berlangsung. Itu mengindikasikan bahwa ada persoalan besar dalam urusan mengelola uji kelayakan kendaraan yang belum diselesaikan secara sungguh-sungguh.
Keterbatasan fasilitas pengujian kir menumbuhkan praktik pungutan liar (pungli) dan suap. Apa yang bisa kita harapkan dalam pengujian yang diwarnai praktik suap dan pungli?
Sangat terbuka kemungkinan bahwa uji kir tersebut dilakukan secara sembrono dan asal-asalan. Hasilnya, sangat mungkin kendaraan yang tidak layak pun lolos dari pengujian, dan lalu bergentayangan mengancam keselamatan pengguna jalan.
Selain uji kir yang dibayangi praktik suap dan pungli, praktik pemalsuan uji kir juga mengancam kita. Bus pariwisata yang mengakibatkan kecelakaan di Puncak tersebut adalah contohnya. Polisi mengindikasikan bahwa buku kir bus tersebut adalah palsu.
Sopir bus pariwisata yang mengakibatkan kecelakaan telah dijadikan tersangka. Tapi kiranya itu tidaklah cukup.
Pemerintah harus ikut bertanggung jawab atas kecelakaan itu -dan kecelakaan lalu lintas lainnya. Pasal 203 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, jelas-jelas berbunyi, "Pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan." Terlebih jika kecelakaan itu terkait dengan kelayakan jalan kendaraan yang seharusnya dimonitor dan dipastikan oleh negara lewat pengujian berkala -atau uji kir tersebut.
Adakah pejabat pemerintah yang mau bertanggung jawab atas berbagai kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh ketidaklayakan kendaraan umum dan niaga itu? Para pembayar pajak berhak menagih tanggung jawab itu.
Hal lain, dengan buku kir bus yang terindikasi palsu, kecelakaan di Puncak itu adalah bukti lain bahwa suap, pungli dan korupsi bukan saja merupakan bentuk kejahatan demi menguntungkan diri sendiri. Suap, pungli dan korupsi juga merupakan kejahatan yang mengancam keselamatan dan nyawa orang lain.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/pemerintah-harus-bertangung-jawab-atas-kecelakaan-laluintas