Mulai hari ini (25/4) sampai Kamis (27/4) nanti di di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Babakan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon akan berlangsung Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Pesertanya cukup banyak: 780 orang. Terdiri dari 580 orang peserta, dan 200 orang pengamat.
KUPI bukan hanya dihadiri oleh orang-orang dalam negeri. Beberapa narasumber seminar internasional dalam KUPI tersebut bahkan berasal dari luar negeri, seperti Pakistan, Afghanistan, Malaysia, Saudi Arabia dan Nigeria.
Dengan menyebut kegiatan tersebut sebagai Kongres Ulama Perempuan Indonesia, kongres ini langsung terasa penting bagi kita. Terutama sekali terkait dengan frasa "ulama perempuan".
Kongres itu seperti mengingatkan kita kembali bahwa selama ini sosok ulama yang langsung kita ingat adalah sosok ulama lelaki. Jika ada peristiwa-peristiwa sosial yang membutuhkan kehadiran ulama di dalamnya, maka yang pertamakali muncul adalah para ulama lelaki.
Kita mungkin cepat mengingat kehadiran para perempuan pendakwah, karena mungkin mereka sering tampil di saluran TV. Namun begitu berbicara tentang ulama, sosok perempuan seperti tenggelam; tak terlihat.
Padahal kita tahu bahwa dalam masyarakat kita ada cukup banyak perempuan yang memiliki kapasitas keilmuan di bidang agama dan sosial, mempunyai catatan perilaku moral sosial yang baik, aktif terlibat dan bergelut dengan persoalan-persoalan kemasyarakatan. Merekalah para ulama perempuan itu.
Budaya patriarki yang masih cukup kuat dalam kehidupan sosial kitalah yang membuat sosok ulama perempuan seperti tenggelam dan terpinggirkan.
Kongres Ulama Perempuan Indonesia meneguhkan bahwa ulama perempuan sungguh ada dan dan bisa mengambil peran penting dalam kehidupan sosial kita.
Salah satu agenda KUPI yang menarik adalah musyawarah fatwa. Ada tiga tema yang akan dibahas dalam musyawarah fatwa tersebut. Yaitu kekerasan seksual, perkawinan anak, dan kerusakan alam dalam konteks ketimpangan sosial. Ketiganya merupakan isu yang penting dan kontekstual bagi negeri kita.
Angka kasus kekerasan seksual di masyarakat kita masih tinggi. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016, yang digelar oleh Badan Pusat Statistik (BPS), memperlihatkan bahwa satu dari tiga perempuan Indonesia pernah menjadi korban kekerasan fisik dan atau seksual selama hidupnya. Dan satu dari sepuluh perempuan mengalami kekerasan semacam itu dalam 12 bulan terakhir.
Menurut Catatan Akhir Tahun 2016 Komnas Perempuan, yang dirilis Senin (3/4), angka Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sejak 2010 terus meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan sangat tertinggi terjadi antara tahun 2011 sampai tahun 2012, yang mencapai 35%. Dari tahun 2014 ke tahun 2015, kasus meningkat sebesar 9%.
Lebih spesifik lagi, berdasarkan data dari formulir yang dibagikan ke sejumlah mitranya pada tahun ini, Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan seksual merupakan jenis kekerasan kedua tertinggi dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Angkanya mencapai 3.495 kasus, atau 34% dari keseluruhan kasus KDRT.
Kekerasan seksual, terutama sekali yang menimpa anak-anak, harus sungguh mendapat perhatian. Perkosaan dan pembunuhan yang menimpa bocah perempuan berumur 14 tahun di Rejang Lebong Bengkulu adalah contoh kekerasan seksual sadis yang pernah menimpa bocah negeri ini.
Terkait dengan kekerasan seksual itu, kita berharap, Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual bisa segera dibahas. Dengan begitu ketentuan hukum terkait kekerasan seksual bisa lebih adil.
Isu perkawinan anak juga penting mendapat perhatian. Praktik perkawinan anak masih banyak terjadi dalam masyarakat. Profil Anak Indonesia yang disusun oleh BPS (2015) menunjukkan bahwa di perkotaan persentase perkawinan anak usia 10-17 adalah 0,9 persen, sedangkan di pedesaan 2,24 persen.
Apa boleh buat, perundangan di Indonesia melegalkan perkawinan anak. Pasal 1, UU Perlindungan Anak, mendefinisikan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Sementara Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengizinkan anak perempuan yang masih berumur 16 tahun untuk menikah.
Padahal perkawinan anak mengandung risiko kesehatan dan memberi beban psikologi kepada anak-anak yang menjalaninya.
Upaya gugatan terhadap undang-undang tersebut, terkait pasal yang memperbolehkan anak perempuan berumur 16 tahun melangsungkan perkawinan, ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014. Tahun ini tiga orang perempuan korban perkawinan anak menggugat kembali Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan itu.
Isu kerusakan alam jelas penting dan mendesak juga untuk mendapat perhatian. Berbagai bencana yang kita alami belakangan ini terkait secara langsung dengan kerusakan alam.
Kita berharap musyawarah fatwa dalam KUPI bisa menghasilkan keputusan yang memberikan arah yang jelas kepada umat untuk bersikap dan bertindak atas ketiga isu tersebut.
Selamat berkongres, para ulama perempuan.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/ulama-perempuan-dan-tiga-isu-penting