Menjaga hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

 

Jumlah pengaduan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) meningkat. Itu terlihat dalam Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 2016 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Pada tahun 2014 Komnas Ham menerima 74 pengaduan terkait pelanggaran hak atas KBB. Pada 2015 ada 87 pengaduan. Sedangkan pada tahun 2016 pengaduan yang masuk berjumlah 97.

Angka-angka itu tentu bukanlah jumlah sesungguhnya pelanggaran hak atas KBB. Kasus-kasus intoleransi yang sungguh terjadi di tengah masyarakat kita pasti jauh lebih besar dari yang diadukan ke Komnas HAM. Tidak semua orang mau dan mampu mengadukan pelanggaran ke Komnas HAM.

Angka-angka yang muncul dalam laporan yang dirilis Komnas HAM itu cukuplah meyakinkan kita bahwa intoleransi dalam masyarakat kita semakin serius. Kecenderungan itu perlu mendapat perhatian dan respon yang serius pula.

Bentuk-bentuk pelanggaran hak atas KBB yang dilaporkan itu beragam. Kasus yang paling banyak diadukan adalah perusakan tempat ibadah. Selain Disusul kemudian oleh pelarangan kegiatan keagamaan dan intimidasi terhadap kelompok keagamaan.

Korban pelanggaran hak KBB terbanyak pada 2016 adalah Jemaat Ahmadiyah. Contohnya, seperti disampaikan Koordinator Desk KBB Komnas HAM Jayadi Damanik Januari lalu, beberapa pelarangan masjid Ahmadiyah yang terjadi di Jawa Barat.

Seperti tahu sebelumnya, provinsi yang jumlah aduannya paling banyak adalah Jawa Barat. Tahun 2016 jumlah aduan pelanggaran hak atas KBB di Jawa Barat mencapai 21. Tahun 2015 aduan pelanggaran hak KBB di provinsi tersebut berjumlah 20.

Selain itu, laporan Komnas HAM tersebut juga menunjukkan bahwa pelaku pelanggaran hak KBB yang paling banyak dilaporkan adalah pemerintah daerah (Pemda). Dari total 97 aduan yang diterima Komnas HAM, 52 diantaranya menunjuk Pemda sebagai pelaku pelanggarannya. Pelanggaran itu hadir dalam bentuk kebijakan Pemda terkait isu KBB.

Sebagai pihak yang seharusnya melindungi hak warganya, mengapa justru Pemda yang melanggar hak KBB itu? Kita mungkin bisa menelusuri jawaban atas pertanyaan itu lewat dokumen Ringkasan Eksekutif Penelitian Pelaksanaan Kewajiban Pemerintah Daerah Dalam Perlindungan Hak Atas Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan Di Jawa Barat Dan Aceh Singkil yang dikeluarkan oleh Komnas HAM Maret lalu.

Penelitian itu memang hanya dilakukan oleh Komnas HAM di Jawa Barat dan Aceh Singkil. Meskipun begitu, sebagai provinsi dengan jumlah aduan pelanggaran paling banyak, penelitian di Jawa Barat bisa memberikan gambaran keadaan pada umumnya di Indonesia.

Salah satu bagian dari dokumen hasil penelitian itu memuat faktor-faktor yang memengaruhi lahirnya kebijakan pemda yang melanggar hak KBB warganya. Penelitian yang dilangsungkan oleh Komnas HAM itu memperlihatkan 4 faktor yang memengaruhi kebijakan Pemda semacam itu.

Pertama, faktor tekanan yang sangat kuat dari kelompok intoleran. Ini adalah salah satu penyebab utama lahirnya kebijakan Pemda yang melanggar hak atas KBB warganya sendiri. Kelompok intoleran ini bisa mengambil jalan demonstrasi, lobi politik, penggalangan opini publik, intimidasi, dan bahkan tindak kekerasan langsung kepada korbannya.

Sayangnya, kebanyakan Pemda seringkali tampak ragu dan bahkan mengikuti kemauan dari kelompok intoleran tersebut. Meskipun belakangan tampak terlihat bahwa tidak semua Pemda tunduk pada tekanan kelompok intoleran semacam itu.

Kedua, faktor lemahnya pengetahuan dan kesadaran aparatur Pemda terhadap kewajiban negara dalam menjamin hak atas KBB sebagai salah satu hak asasi manusia yang dijamin Konstitusi. Atas nama menghindarkan gesekan terjadi dalam masyarakat, aparatur Pemda justru mengeliminasi kehadiran hak KBB salah satu pihak. Munculnya surat keputusan untuk melarang atau mengawasi Jamaah Ahmadiyah Indonesia adalah salah satu contohnya.

Ketiga, faktor peraturan yang lebih tinggi, yang justru tidak sesuai dengan norma HAM. Contoh, berbagai surat keputusan wali kota dan bupati di Jawa Barat yang melarang aktivitas keadaan Jamaah Ahmadiyah Indonesia terkait dengan keberadaan SKB 3 Menteri tahun 2008 tentang Ahmadiyah dan Peraturan Gubernur Jawa Barat no. 12 tahun 2011.

Keempat, faktor kecenderungan menonjolkan ajaran agama tertentu di dalam kebijakan Pemda. Di beberapa daerah, Pemda cenderung mengeluarkan kebijakan yang mengistimewakan agama tertentu, dan mendiskriminasikan agama-agam lain.

Keempat faktor yang disebut oleh Komnas HAM tersebut seharusnya mendorong pemerintah, pertama-tama, untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran aparatnya di daerah maupun di pusat mengenai hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pemerintah memang harus menjadi pihak pertama yang menjunjung hak warga negara untuk memperoleh kebebasan beragama dan berkeyakinan -seperti dijamin oleh konstitusi negara kita.

Dalam memberikan pelayanan publik, aparat sipil negara harus berpegang teguh kepada Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Undang-undang tersebut memerintahkan penyelenggaraan pelayanan publik harus berazaskan, salah satunya, kesamaan hak. Pemberian pelayanan publik tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.

Selain itu kita harus berani mengakui bahwa sejumlah undang-undang dan peraturan masih berbau diskriminasi. Undang-undang dan peraturan seperti itu layak untuk segera direvisi. Pemerintah serta badan legislatif di pusat maupun daerah harus sungguh setia kepada konstitusi negeri ini, yang jelas menjamin hak untuk beragama.

Kesetiaan kepada konstitusi pula yang seharusnya membuat Pemda -dan aparat negara lain- menjadi lebih tangguh dan gigih mempertahankan dan menjamin hak atas KBB dari tekanan dan ancaman kelompok intoleran.

Menghormati hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan setiap warga negara merupakan bagian dari mempertahankan kehidupan bersama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/menjaga-hak-atas-kebebasan-beragama-dan-berkeyakinan

Kontak