Jangan diam. Kecelakaan sudah makan banyak korban

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

 

Jelas ini bukan perkara main-main. Dua kecelakaan besar terjadi dalam rentang waktu seminggu saja.

Dua kecelakaan itu terjadi di kawasan yang sama: Puncak. Kendaraan penyebab kedua kecelakaan itu juga sama: bus pariwisata. Kedua kecelakaan itu memakan korban sangat banyak. Siapa yang mau bertanggung jawab?

Awalnya adalah bus pariwisata HS Transport berjalan tak kendali di Jalan Raya puncak Megamendung Sabtu (22/4) itu. Akibatnya, bus yang membawa rombongan PT Inkosindo Jakarta usai berwisata itu menghajar sejumlah kendaraan. Tabrakan beruntun itu melibatkan 13 kendaraan.

Korbannya tidak sedikit. Empat orang tewas dan 6 luka.

Seminggu kemudian, Minggu (30/4), bus pariwisata Kitrans mengalami hal serupa. Bus yang membawa rombongan Panitia Pemungutan Suara Pilkada Jakarta tak terkendali di Jalan Raya Puncak Ciloto. Sebelum terjungkal, bus itu menabrak banyak kendaraan yang dilewatinya.

Korbannya lebih banyak ketimbang kecelakaan yang terjadi sebelumnya. Korban tewas mencapai 12 orang. Luka berat 5 orang, Luka ringan 42 orang.

Penyebab kecelakaan bus HS Transport maupun Kitrans juga sama: rem blong. Tragis. Rem seharusnya merupakan bagian penting keselamatan dalam berkendara.

Jika rem kedua kendaraan itu tidak berfungsi maka seharusnya keduanya tidak lolos uji kir berkala. Kir alias pemeriksaan kelayakan fisik mobil memang diwajibkan kepada kendaraan angkutan penumpang umum dan barang. Benar saja, kedua bus itu punya masalah dengan uji kir berkala. Buku kir bus HS Transport diindikasikan palsu. Sedangkan buku kir bus Kitrans, menurut polisi, tidak sesuai peruntukannya.

Enam belas nyawa melayang di kawasan yang sama, karena kecelakaan yang serupa, dipicu oleh ketidaklayakan yang sama, dan terindikasi terkait dengan upaya mengakali peraturan tentang uji berkala yang sama pula.

Itu bukan perkara main-main. Tapi sampai hari ini tidak satu pun pejabat publik yang menyatakan bertanggung jawab atas kecelakaan maut itu. Aneh.

Perusahaan kedua bus tersebut tentu harus bertanggung jawab karena mengoperasikan kendaraan yang tidak layak jalan dan memanipulasi kewajiban uji kir berkala. Kedua perusahaan itu bisa saja diperkarakan karena menjalankan bisnis tanpa izin alias ilegal.

Namun itu tidak berarti pemerintah boleh lepas tangan dari kasus kecelakaan maut ini. Antar instansi pemerintah pun tidak bisa saling menyalahkan. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan jelas menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan.

Kita tahu, lalu lintas adalah mesin pembunuh. Ada begitu banyak orang terbunuh akibat kecelakaan lalu lintas. Itu sebabnya lalu lintas dan angkutan jalan harus dikelola secara sungguh-sungguh agar agar lalulintas tidak menjadi mesin yang memakan banyak korban.

Kita tidak bisa menganggap kedua kecelakaan di Puncak itu sebagai 'kecelakaan yang biasa terjadi di jalan'. Kita tidak bisa menganggap peristiwa semacam itu sebagai kejadian yang lumrah di jalan. Tidak bisa.

Dua kecelakaan yang terjadi hampir serupa dalam tempo dekat mengindikasikan kita sedang berada dalam situasi darurat. Pemerintah seharusnya mulai menetapkan situasi saat ini sebagai darurat kecelakaan lalulintas.

Kita masih ingat, pada masa lebaran tahun 2016 lalu, Kementerian perhubungan bertekad untuk mencanangkan zero accident: lebaran tanpa kecelakaan. Tampaknya itu seperti harapan yang tidak mungkin tercapai saat itu.

Namun kita menyaksikan jajaran Kemenhub saat itu bersungguh-sungguh memastikan bus antar kota antar propinsi (AKAP) memenuhi 5 hal agar bisa disebut layak beroperasi: speedometer harus berfungsi, rem tangan harus berfungsi, kaca tidak boleh pecah, pengemudi mengenakan sabuk pengaman, dan ban tidak boleh gundul.

Pada lebaran tahun itu, memang tidak benar-benar tanpa kecelakaan. Namun angka kecelakaan lalu lintas lebaran tahun itu turun 21 persen ketimbang tahun sebelumnya.

Orang boleh menyebut zero accident sebagai target yang berlebihan dan tidak realistis. Namun, akui saja, sebagai sebuah visi, zero accident adalah tekad yang bisa dikerjakan dan membuahkan hasil yang baik.

Sebetulnya sudah sejak lama kita mendengar tentang road map to zero accident. Sayangnya, kita tidak melihat secara jelas tindakan-tindakan dan capaiannya.

Keselamatan berlalu lintas dan menggunakan angkutan jalan menuntut keterlibatan banyak pihak. Bukan hanya Kementerian Perhubungan dan kepolisian saja yang harus sungguh-sungguh menegakkan peraturan.

Sudah menjadi rahasia umum, banyak kendaraan angkutan jalan yang tidak layak beroperasi atau yang mengangkut penumpang dan barang berlebihan bisa lolos melenggang di jalan berkat sogokan. Itu sebabnya kita juga akan membutuhkan Satgas Saber Pungli dan KPK untuk terlibat di dalam bagian dari kerja menuju zero accident itu.

Kita tidak bisa membiarkan nyawa warga negara dan pembayar pajak dinilai sebegitu murah di jalan akibat sogokan dan keteledoran dalam menunaikan kewajiban undang-undang: "pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan".

Bukankah begitu, Pak Menhub, Pak Kapolri, Pak Presiden?

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/jangan-diam-kecelakaan-sudah-makan-banyak-korban

Kontak