Intoleransi tak boleh diberi tempat di sekolah

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

 

Banyak orang percaya, salah satu cara untuk mencegah berkembangnya intoleransi adalah pendidikan. Masalahnya, bagaimana jika benih-benih intoleransi itu justru bersemi lembaga pendidikan?

Pertanyaan itu harus direspon dengan baik dan sigap. Dalam 6 bulan terakhir, dalam kaitannya dengan Pilkada DKI Jakarta, kita disuguhi gambar sikap dan semangat intoleran dalam bermacam pemberitaan dari lembaga-lembaga media, maupun dalam percakapan dan desas-desus di media sosial dan di pertemuan-pertemuan sosial sehari-hari.

Wujudnya mungkin berupa berita atau kabar sepintas. Namun, disadari atau tidak, hal yang sama bisa juga menjadi jalan untuk mempromosikan sikap dan semangat intoleran dalam masyarakat.

Kecenderungan itu itu harus direspon sigap karena sebuah penelitian memperlihatkan bahwa di sekolah-sekolah kita terdapat benih-benih intoleransi. Bayangkanlah jika keduanya bertemu. Benih-benih intoleransi di sekolah akan seperti api yang disiram bensin jika bertemu dengan kecenderungan untuk mempromosikan sikap dan pandangan intoleran.

Benih-benih intoleransi di sekolah itu terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud), Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan subyek siswa, guru, dan kepala sekolah. Penelitian itu dilangsungkan pada Juli sampai September tahun 2016 lalu di 2 SMA negeri dan 2 SMA swasta di kota Salatiga dan Singkawang. Kedua kota itu dikenal sebagai kota dengan tingkat toleransi yang tinggi.

Hasilnya, lingkungan pendidikan di kedua kota itu sebetulnya cukup toleran terhadap perbedaan. Cuma saja, benih-benih intoleransi itu terlihat dalam kuesioner yang menunjukkan sekitar 25% siswa lebih nyaman berteman dengan siswa lain yang seetnis dan seagama, sekitar 20% siswa lebih cenderung memilih Ketua OSIS yang seagama, dan lebih dari 40% siswa lebih setuju memilih pemimpin masyarakat yang seagama dan seetnis.

Hasil penelitian itu memperbanyak temuan-temuan serupa dalam survei dan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Survei SMRC tentang "Pandangan dan Sikap Publik Nasional mengenai Terorisme dan ISIS di Indonesia", misal. Survei yang dilakukan pada Desember 2015 itu menunjukkan ISIS hanya mendapat simpati dari sedikit warga Indonesia. Namun ada indikasi bahwa dukungan terhadap ISIS lebih kuat terdapat di kalangan anak muda ketimbang kelompok umur lain.

Mereka yang menyatakan mengenal ISIS dan setuju dengan perjuangan ISIS itu diantaranya 4% warga berusia 22-25 tahun, dan 5% warga yang masih sekolah/kuliah. Padahal kelompok usia lain yang mengenal dan setuju dengan perjuangan ISIS itu hanyalah 0-1% saja.

Tahun lalu, Direktur Eksekutif the Wahid Institute Yenny Wahid pernah menyampaikan hasil survei lembaganya atas pelajar yang tergabung dalam kegiatan Kerohanian Islam. Hasilnya, seperti dikatakan Yenny, "60,9 persen bersedia berangkat bila saat ini diajak berjihad ke Palestina, Suriah, dan Poso. 68,33 persen bersedia berangkat bila telah lulus diajak berjihad ke Palestina, Suriah, dan Poso. 30 persen berpendapat Bom Thamrin merupakan perbuatan jihad."

Kecenderungan benih intolerasi dan sikap radikal siswa itu, menurut Kepala Subdirektorat Ketenagaan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Drs. Syafi'i M.Ag, justru tidak berada di sekolah-sekolah agama atau madrasah. Malah justru berlangsung di sekolah atau perguruan tinggi umum.

Benih-benih intoleransi dan sikap radikal para siswa sekolah itu bisa dibentuk lewat banyak jalan. Mungkin tidak ada sekolah umum negeri yang terang-terangan mempromosikan intoleransi. Kegiatan ekstra kulikuler bisa menjadi salah satu jalannya, seperti terlihat dalam survei Wahid Institute itu. Beberapa konten yang dikirimkan orangtua murid di media sosial maupun liputan media juga memperlihatkan ada guru yang dengan sengaja mengajarkan sikap intoleran kepada siswanya. Bahkan pengamat terorisme melihat jaringan teroris sudah masuk ke sekolah swasta untuk mengajarkan intoleransi.

Hal itu semua tidak bisa dibiarkan. Pengembangan benih-benih intoleransi itu harus dicegah agar tidak tumbuh semakin luas. Negara harus hadir mengurus masalah ini. Jika mengabaikan benih-benih intoleransi itu, sama saja negara sedang mendidik orang untuk membubarkan negara itu sendiri. Fatal.

Kita tidak menghendaki lips service yang mengumbar janji yang tidak meyakinkan tentang keinginan menekan praktik intoleransi di sekolah. Kita menginginkan rencana dan tindakan-tindakan yang konkret beserta evaluasinya yang jelas dari pemerintah dalam merespon persoalan penting ini.

Masyarakat berhak meminta akuntabilitas pemerintah yang mengalokasikan 20 persen dana APBN bagi pendidikan. Dana sebesar itu akan menjadi sia-sia untuk mencapai tujuan menyiapkan sumber daya manusia terdidik dalam membangun negeri, bila racun inteloleransi masuk dalam menu ekstra kulikuler peserta didik.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) jelas harus meyakinkan para pembayar pajak dan warga negara yang setia kepada konstitusi bahwa sekolah-sekolah sama sekali tidak memberi ruang kepada intoleransi.

Kemendikbud harus memastikan bahwa kelas-kelas sekolah di seluruh Indonesia mengembangkan pendidikan yang menghormati perbedaan dan mengakui kesetaraan setiap warga negara. Bahkan pendidikan seharusnya mendorong para siswa untuk berani berdiri membela siapapun yang kehilangan hak dasarnya untuk dihormati dan diperlakukan setara.

Tentu itu saja tidak cukup memadai untuk mencegah tumbuhnya intoleransi di sekolah-sekolah. Negara harus memastikan bahwa tak seorang pun berhak berdiri di depan kelas untuk mengajarkan intoleransi, yang bisa menggerogoti tiang utama bangsa dan negara ini.

Ya, Kemendikbud saja tidak akan cukup untuk membendung intoleransi yang bisa meracuni siswa di sekolah-sekolah. Banyak instansi pemerintah harus terlibat. Itu artinya, kita berharap, Presiden Joko Widodo memberikan arah yang jelas, konkret, dan berani untuk memastikan napas bineka tunggal ika tetap berembus di kelas-kelas sekolah kita.

Kita tahu, Presiden Joko Widodo pernah mengatakan, "Saya kerja selalu pakai target." Untuk masalah pencegahan intoleransi di sekolah pun seharusnya memiliki target juga bukan, Pak Presiden?

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/intoleransi-tak-boleh-diberi-tempat-di-sekolah

Kontak