Bangun. Revolusi Mental harus disegerakan

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

 

Apa yang sebetulnya kita tahu tentang Revolusi Mental yang menjadi visi pemerintahan Presiden Joko Widodo?

Dalam sebuah acara TV reporter bertanya tentang visi dan misi kepada Joko Widodo, selagi masih merupakan calon presiden yang belum menentukan calon wakil presidennya. Joko Widodo menjawab, "Satu yang sangat penting, menurut saya, adalah Revolusi Mental. Revolusi Mental dari negativisme ke positivisme."

Ketika itu Joko Widodo memang tidak merinci visinya tentang Revolusi Mental itu. Ia hanya mempertegas bahwa Revolusi mental ditujukan untuk mengubah pola pikir agar bangsa ini memiliki harapan besar pada masa depan.

Dengan menyebut "dari negativisme ke positivisme" saja, terkesan Revolusi Mental yang sampaikan Joko Widodo saat itu adalah slogan normatif saja; tanpa konteks. Itu berbeda dengan Revolusi Mental yang diangkat oleh Bung Karno.

Bung Karno memberikan konteks kepada gagasan Revolusi Mental itu. Setelah melewati fase kemerdekaan, menurut Bung Karno, saat itu Indonesia memasuki fase nation building. Fase itu membutuhkan Revolusi Mental: mengubah cara berpikir, cara kerja, maupun cara hidup yang merintangi kemajuan.

Revolusi Mental yang diangkat Joko Widodo terlihat lebih jelas dalam tulisannya yang dimuat koran Kompas. Dalam tulisan itu Revolusi Mental lebih mempunyai konteks. Berbagai perombakan institusional yang mewarnai reformasi membutuhkan orang-orang yang mengubah diri dari mentalitas Orde Baru yang korup, intoleran, melecehkan hukum, melumuri tangannya dengan kekerasan, rakus dan ingin menang sendiri. Untuk itulah Revolusi Mental dibutuhkan.

Gagasan itu menarik dan, sebagai sebuah visi calon presiden, cukup memberi harapan kepada para pemilih. Namun sehabis Pemilu Presiden yang dimenangkannya, Joko Widodo memberikan keterangan yang berbeda atas gagasan Revolusi Mental.

Dalam sebuah diskusi mengenai jargon tersebut, Joko Widodo malah lebih mengaitkan Revolusi Mental sebagai upaya kembali ke arah karakter bangsa yang "santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong."

Jadi apa sebetulnya visi Revolusi Mental Presiden Joko Widodo dan bagaimana hal itu akan diwujudkan?

Pada tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo lebih banyak mengaitkan Revolusi Mental dengan upaya membenahi birokrasi. Benar, pelan-pelan kita melihat perubahan yang baik dalam pelayanan yang dilakukan oleh birokrasi. Tapi, apakah itu bisa disebut sebagai sebuah revolusi? Bagaimana pula sektor selain pelayanan birokrasi?

Yang dirasakan oleh banyak orang kemudian adalah bahwa Revolusi Mental hanya menjadi slogan yang dikait-kaitkan dengan proyek yang sedang dikerjakan oleh institusi-institusi dengan tafsir jargonnya masing-masing. Bahkan ada menteri yang secara terus terang menyatakan bingung dengan jargon itu.

Yang sungguh mengherankan, jika visi Revolusi Mental pemerintahan Presiden Joko Widodo itu terkait dengan nation building, mengapa pengalaman selama masa Pemilu Presiden 2014 tidak menjadi rujukan untuk memperjelas dan mengembangkannya? Selama masa Pemilu Presiden 2014 kita menyaksikan ada potensi terpecahnya masyarakat, yang tidak bisa disederhanakan sebagai soal perbedaan pilihan kandidat. Sikap intoleran dan kecenderungan sektarianisme sudah sangat terlihat pada masa itu.

Mengapa hal itu tidak cepat-cepat dibidik oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo? Belakangan kita tahu, kecenderungan sikap intoleran, sektarian dan memuja kekerasan makin kuat. Selama enam bulan terakhir ini kita merasakan hal itu.

Bahkan untuk urusan intoleransi, sektarianisme dan pendekatan kekerasan dalam masyarakat saja, pemerintahan Presiden Joko Widodo terkesan menjadi peragu dan tidak tegas. Cobalah hitung berapa banyak kasus ujaran kebencian yang sekarang sudah sampai di pengadilan?

Kita barangkali baru punya sedikit gambaran tentang visi Revolusi Mental itu pada akhir 2016 lalu, dua tahun setelah pemerintahan ini dimulai. Awal Desember tahun lalu Presiden Joko Widodo menandatangani Inpres No 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental.

Salah satu diktum dalam Inpres tersebut menyebutkan 5 program Gerakan Nasional Revolusi Mental. Yang terdiri dari, pertama, program Gerakan Indonesia Melayani yang memfokuskan kepada pelayanan biroktasi kepada publik. Kedua, program Gerakan Indonesia Bersih yang memfokuskan kepada kebersihan dan lingkungan.

Ketiga, Gerakan Indonesia Tertib yang berfokus ke perilaku tertib. Keempat, program Gerakan Indonesia Mandiri yang berfokus kepada pencapaian kemandirian. Kelima, program Gerakan Indonesia Bersatu yang berfokus kepada upaya membangun kehidupan bersama yang lebih baik.

Dibuat setelah dua tahun pemerintahan, Inpres tersebut lebih terasa sebagai evolusi ketimbang revolusi. Terasa lambat. Itu pun jika kelima program tersebut berhasil diwujudkan dengan hasil yang bagus.

Kita berharap apa yang disebut sebagai Gerakan Nasional Revolusi Mental adalah benar-benar suatu gerakan nasional. Suatu gerakan nasional pastilah bukan sekadar slogan; bukan melulu pernyataan-pernyataan. Sebuah gerakan nasional adalah tindakan-tindakan masif yang terencana dan terukur.

Ingatlah juga bahwa hal itu adalah revolusi di bidang mental. Revolusi merujuk ke perubahan yang cepat, masif dan berpengaruh. Revolusi selalu harus dikerjakan segera. Tidak ditunda-tunda. Tidak ada revolusi jika kita selalu bangun kesiangan.

Bung Karno terkenal dengan ucapan, "Revolusi belum selesai." Jangan sampai hari ini ada yang berseloroh, "Revolusi Mental belum dimulai". Atau malah "Revolusi Mental sudah selesai sebelum dimulai".

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/bangun-revolusi-mental-harus-disegerakan

Kontak