Kita punya masalah serius. Jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) saat ini sudah melebih kapasitasnya. Orang berjejal-jejal di situ.
Sistem Database Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM memperlihatkan bahwa pada awal Mei 2017 ini rata-rata jumlah penghuni lapas dan rutan di Indonesia itu 180% dari kapasitas nya. Over crowding.
Angka 180% dari kapasitasnya itu adalah angka rata-rata. Jika dilihat agak rinci, dari 33 wilayah, hanya 8 wilayah saja yang rata-rata jumlah penghuni lapas dan rutannya tidak melebih kapasitas. Meski begitu, tidak berarti di kedelapan kantor wilayah itu tidak ada lapas dan rutan yang penghuninya melebih kapasitasnya.
Rata-rata jumlah penghuni lapas dan rutan di wilayah Papua Barat memang 91% dari kapasitasnya, contohnya. Jika kita lihat lebih rinci, ternyata dari 6 lapas yang berada di wilayah Papua Barat, ada 3 lapas yang jumlah penghuninya melebihi kapasitasnya: lapas kelas II B Fak-fak 166%, lapas kelas II B Manokwari 315%, lapas kelas II B Sorong 243%.
Data di Sistem Database Pemasyarakatan Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham itu sebetulnya mencakup juga rumah tahanan (rutan). Padahal rutan dan lapas adalah dua hal yang berbeda.
Rutan diperuntukan bagi tersangka dan terdakwa yang ditahan selama proses penyedikan, penuntutan, dan pemeriksaan si pengadilan agar tidak melarikan diri. Sedangkan lapas diperuntukan bagi terpidana yang sudah mendapat putusan yang berkuatan hukum tetap untuk mendapatkan pembinaan selama menjalani sanksi pidana.
Perbedaan itu menjadi nisbi setelah keluar Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara. Berdasarkan surat keputusan itu lapas dapat beralih fungsi menjadi rutan; begitu juga rutan bisa beralih fungsi menjadi lapas.
Lapas yang kelebihan penghuni sudah barang tentu akan membuat rasio petugas dan narapidana menjadi tidak ideal. Untuk lapas dengan pengawasan medium, idealnya satu petugas mengawasi 20 narapidana. Sekarang, satu petugas harus mengawasi rata-rata 54 narapidana.
Dalam kondisi tidak ideal seperti itu, banyak hal buruk bisa terjadi. Kerusuhan dan narapidana kabur adalah dua kemungkinannya. Seperti terjadi di Rumah Tahanan Sialang Bungkuk, Kecamatan Tenaya Raya, Pekanbaru, Jumat (5/5) lalu.
Kerusuhan yang terjadi pada Jumat itu berujung dengan kaburnya 448 penghuni rutan itu. Pada bulan Mei ini, rutan tersebut dihuni oleh 1.870 orang, yang terdiri dari 910 tahanan dan 960 narapidana. Padahal rutan tersebut hanya berkapasitas untuk 561 orang saja. Artinya, rutan tersebut dihuni oleh 333% kapasitasnya.
Kaburnya penghuni lapas atau rutan hanyalah salah satu efek over crowding. Ada sejumlah efek buruk lain akibat lapas atau rutan dihuni melebihi kapasitasnya. Praktik suap sangat mungkin berlangsung dalam kondisi lapas atau rutan seperti itu.
Praktik suap yang mungkin berlangsung adalah sogokan untuk mendapatkan keistimewaan dalam situasi lapas dan rutan yang berdesakan. Setidaknya itulah yang diduga menjadi salah satu sebab pemberontakan yang berujung pada kaburnya napi di Rumah Tahanan Sialang Bungkuk.
Hak penghuni lapas dan rutan sukar terpenuhi dalam situasi over crowding seperti itu. Bahkan hak untuk mendapatkan makan dan minum sekalipun. Lapas Narkotika kelas III A Bayur, Samarinda, misal, dilaporkan kerap berhutang untuk keperluan makan para penghuninya karena anggaran yang tersedia tidak dapat memenuhi kebutuhan yang meningkat terkait over crowding lapas tersebut.
Pertengahan tahun lalu Kemenkumham mendapatkan tambahan belanja sejumlah Rp1,3 triliun. Tambahan anggaran tersebut akan dialokasikan untuk menangani persoalan lapas dan rutan yang muncul akibat jumlah penghuninya melebihi kapasitasnya.
Namun agaknya tambahan anggaran tersebut tidak dapat mengimbangi penambahan jumlah penghuni rutan dan lapas di Indonesia, yang bergerak lebih cepat. Tinggi kasus narkoba mempunyai andil besar membuat lapas dan rutan over crowding.
Itulah sebabnya muncul gagasan agar penanganan kasus narkoba tidak harus selalu berujung ke penjara. Terutama pengguna dan pecandu yang terlibat dalam kasus narkoba, cukuplah mereka direhabilitasi saja.
Ide itu bukan tanpa persoalan. Untuk mewujudkan gagasan itu, negara tentu harus membangun pusat-pusat rehabilitasi untuk para pengguna dan pecandu narkoba yang membutuhkan anggaran yang besar. Itu bukan juga perkara mudah bagi pemerintah saat ini.
Memang telah ada sejumlah kebijakan yang berupaya mengurangi asupan orang ke penjara. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2/2012, misal. Peraturan itu menaikkan batas minimal tindak pidana ringan dari Rp250 ribu menjadi Rp2.500.000. Namun kebijakan ini tampaknya tidak terlalu banyak berpengaruh pada penurunan orang yang dijebloskan ke penjara.
Gagasan untuk tidak sembarang memasukan orang yang terlibat kasus ke rutan tampaknya juga perlu dipertimbangkan sebagai bagian langkah untuk menurunkan tingkat hunian rutan. Kasus-kasus kecil yang tidak terlalu membahayakan publik mungkin bisa dipertimbangkan untuk tidak melibatkan upaya penahanan pelaku. Kasus semacam pengusaha laundry yang diadukan konsumennya, sebagai contoh, seharusnya tidak perlu melibatkan upaya penahanan.
Pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih serius untuk mencari jalan menyelesaikan persoalan over crowding itu. Bagaimana pun situasi over crowding tidak memungkinkan kita untuk mewujudkan amanat Undang-undang nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan: membina agar terpidana menyadari kesalahan, memperbaiki diri dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/sesak-nafas-di-lapas-lapas