Polisi tampak tidak cukup gesit untuk memproses mereka yang berperilaku rasial dalam bermasyarakat. Penanganan terhadap Isan Massardi adalah salah contoh saja.
Lelaki yang lebih dikenal dengan panggilan Ki Gendeng Pamungkas itu baru ditangkap polisi pada Selasa (9/5) malam lalu. Penangkapan itu terkait dengan video yang berisi hasutan dan ujaran kebencian Gendeng atas etnis Tionghoa di Indonesia.
Video itu dibuat sendiri oleh Gendeng seminggu sebelum dirinya ditangkap. Ia lalu menyebarkannya ke beberapa kanal media sosial. Jadilah kemudian video itu viral.
Penanganan terhadap Gendeng terasa lambat karena banyak orang tahu bahwa lelaki yang sering diberi predikat paranormal itu punya kecenderungan bersikap rasial sejak lama. Untuk menunjuk contoh yang paling terlihat di media sosial, orang dengan mudah mengingat peristiwa pada tahun 2015.
Pada Maret 2015 Gendeng memasang status di akun Facebooknya terkait dengan rencana konser musik metal bertajuk Brutalize In The Darkness yang akan diselenggarakan di Bogor dua bulan kemudian. Dalam statusnya -yang kemudian dihapusnya- itu Gendeng menyatakan akan membagikan kaos Anti-Cina dalam acara konser tersebut.
Status itu menimbulkan protes, termasuk dari kelompok musik yang berencana manggung di konser itu. Sejumlah kelompok musik metal menyatakan membatalkan rencana penampilannya dalam konser tersebut.
Apakah polisi memproses sikap rasial Gendeng saat itu? Tidak. Jadi, sangatlah wajar jika ada sikap skeptis atas penangkapan Gendeng kali ini: apakah akan berlanjut ke pengadilan?
Itu sama sekali bukan soal Gendeng Pamungkas. Sikap skeptis itu mengarah kepada penanganan para penegak hukum untuk masalah-masalah yang diduga terkait dengan diskriminasi ras dan etnis.
Orang-orang banyak mempertanyakan, misal, kasus Steven Hadi Surya Sulistyo. Lelaki ini mengumpat Muhammad Zainul Majdi -Gubernur Nusa Tenggara Barat- dengan makian yang bernada rasial. Kejadian itu berlangsung di Bandara Changi Singapura pada 9 April lalu, ketika Steven maupun Muhammad Zainul Majdi sedang dalam perjalanan menuju Indonesia. Peristiwa itu lalu dilaporkan ke polisi setiba mereka di Bandara Sukarno Hatta.
Bagaimana kelanjutan kasus itu? Polisi kalah gesit. Seteven diduga kabur lebih cepat ke luar negeri sebelum polisi memulai. Yang terjadi kemudian malah di media sosial ramai, mempertanyakan peristiwa itu benar-benar terjadi atau karangan. Foto orang yang disebut Steven, saat peristiwa terjadi, membuat bantahan, dia tidak berada di tempat kejadian, saat peristiwa berlangsung.
Selain kasus Ki Gendeng Pamungkas dan Steven Hadi Surya itu, tentu masih ada kasus lain yang pernah disebut polisi terkait dengan rasisme.
Kelambanan penegak hukum dalam menangani kasus-kasus yang terkait dengan rasisme pernah disoroti oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pada 2015. Dalam pengamatan ICJR saat itu, 7 tahun sejak lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, hanya ada 4 kasus yang masuk penyidikan namun tidak jelas penyelesaiannya saat itu. Dari 4 kasus itu pun hanya 1 kasus yang sampai pada rencana penuntutan walaupun berjalan sangat lambat.
Jika aparat penegak hukum dinilai enggan untuk menyelesaikan kasus-kasus rasial itu, kita tentu perlu mempertanyakan latarbelakangnya. Itu menjadi penting mengingat ujaran kebencian yang beraroma rasial masih bisa kita temukan dalam pergaulan masyarakat. Di media sosial cukup mudah mencari ujaran berbau rasial.
Bahkan beberapa waktu lalu, spanduk dan poster ancaman terhadap etnis Tionghoa terekam baik dalam demo maupun di beberapa tempat. Kita tidak bisa menutup mata bahwa sikap rasisme sudah terang-terangan diekspresikan verbal maupun tulisan.
Aparat penegak hukum perlulah lebih gesit dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terkait dengan diskriminasi rasial itu. Menunda-nunda -sehingga mengaburkan- kasus-kasus seperti itu hanya akan membuat sebagai orang mengira bahwa kecenderungan kepada rasisme tidak akan terjamah oleh hukum.
Penegakan hukum memang bukanlah satu-satunya jurus untuk mengikis perilaku, sikap dan pandangan rasisme. Penegakan hukum adalah jalur penindakan bagi para pelanggarnya saja. Untuk mengikis dan menghapus diskriminasi ras dan etnis dalam masyarakat kita tentulah perlu tindakan lain.
Meningkatkan kesejahteraan, memberikan kesempatan yang setara untuk mengakses pendidikan dan perlindungan hukum adalah tiga hal lain -diantara upaya-upaya lainnya pula- yang diperlukan untuk mengikis sikap dan pandangan rasisme. Selain tentu saja terus meningkatkan literasi dan komitmen kebangsaan kita sebagai bangsa multietnik yang sudah berikrar untuk bersatu.
Meskipun begitu, penegakan hukum memberikan pengaruh besar kepada upaya membangun masyarakat tanpa diskriminasi. Jadi, untuk merawat Indonesia, jangan tunda terlalu lama untuk menyelesaikan kasus-kasus rasial.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/peneyelsaian-kasus-rasial-jangan-terlalu-lama