Setelah Pemilu Presiden 2014, kegaduhan terbesar di tengah masyarakat kita berlangsung pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Petahana dalam Pilkada tersebut, yang semula dianggap bakal melenggang tenang tanpa pesaing yang sepadan, saat itu harus bersaing bukan hanya dengan kontestan, melainkan juga dengan pihak yang bukan kontestan Pilkada. Itu semua terjadi karena dikaitkan dengan kasus dugaan penistaan agama.
Selama 6 bulan ke belakang kita bisa sangat merasakan Pilkada Jakarta menjadi panggung politik banyak pihak dengan beragam kepentingan. Pilkada Jakarta sama sekali tidak terasa sebagai peristiwa politik lokal, melainkan menjadi peristiwa politik nasional.
Hal itu bahkan berwujud dalam arti yang harafiah. Orang-orang dari luar Jakarta datang berbondong-bondong dengan kepentingan masing-masing namun dalam bingkai yang sama: kasus dugaan penistaan agama itu.
Lumrah jika bingkai itu mampu menghimpun kerumunan yang sangat besar. Di masyarakat kita, sentimen agama selalu mampu secara cepat dan efektif menyambar dan membakar energi banyak orang, yang belum tentu mempunyai visi politik yang sama.
Seperti biasanya, kepentingan-kepentingan politik selalu tergoda untuk turut serta dalam gelombang kerumunan massa yang besar. Itulah yang bisa kita lihat dan rasakan dalam Pilkada DKI Jakarta. Hal itu tercermin dari ragam isu politik yang muncul menyertai Pilkada DKI. Melalui isu anti Tiongkok, Komunis Gaya Baru, politik identitas, dan isu lain yang dikaitkan dengan rejim yang berkuasa.
Kegaduhan pun lalu tak bisa dihindari. Apa yang dilakukan oleh pemerintah?
Presiden Joko Widodo beberapa kali bertemu dengan tokoh-tokoh agama dan ormas agama selama bulan November 2016. Dengan cara itu, berhasilkah pemerintah meredam kegaduhan?
Tidak. Aksi massa yang cukup besar tetap berlangsung terkait dengan Pilkada dan kasus dugaan penistaan agama. Terkait dengan hal tersebut, pertikaian antar warga masyarakat di media sosial makin runcing.
Beberapa saat sebelum aksi massa besar berikutnya berlangsung pada 2 Desember 2016, pemerintah melakukan penangkapan sejumlah orang. Aparat negara menangkap orang-orang tersebut dengan sangkaan akan berbuat makar, dengan membonceng aksi massa 2 Desember tersebut.
Apakah penangkapan itu bisa meredakan kegaduhan? Beberapa isu memang tampak seperti menghilang selepas penangkapan mereka yang disangka akan berbuat makar itu dan ketika Pilkada DKI putaran pertama berakhir. Isu anti Tiongkok dan Komunisme Gaya Baru memang mereda.
Namun penangkapan sejumlah tokoh yang dituding akan berbuat makar malah memunculkan kegaduhan lain. Terlebih, kasus makar tersebut tidak terlihat akan ditangani secara tuntas.
Memasuki putaran kedua Pilkada Jakarta, kegaduhan akibat politik identitas semakin ramai. Situasi panas sangat terasa di tengah masyarakat Jakarta.
Meski pun berujung seperti anti klimaks, aksi massa berlangsung kembali di penghujung bulan Maret. Seperti mengulang pola sebelumnya, beberapa saat sebelum aksi massa berlangsung, polisi menangkap beberapa orang yang dikenal aktif mengorganisasikan massa aksi. Tuduhannya pun sama: makar.
Apakah penangkapan tersebut bisa meredakan kegaduhan? Tampaknya juga tidak. Sampai hari ini kita belum mendengar kelanjutan kasus dugaan makar tersebut. Sama seperti penangkapan sebelumnya, kasus dugaan makar kali itu pun malah mengundang kegaduhan baru.
Situasi semakin terasa panas ketika kelompok politik berencana mengerahkan massa dari berbagai kota ke Jakarta untuk mengawasi jalannya Pilkada. Rencana itu -yang dikenal dengan sebutan Tamasya Al Maidah, akui saja, terasa mengintimidasi. Aparat hukum berjaga-jaga dengan ketat agar tidak terjadi gesekan besar dalam masyarakat.
Pilkada Jakarta putaran kedua berjalan relatif aman. Calon petahana kalah dalam pemilihan. Tapi itu tidak berarti kegaduhan telah usai.
Berkat politik identitas yang sangat kuat di satu kelompok, Pilkada Jakarta membuat masyarakat terbelah menjadi dua kelompok. Isu yang mencuat bukan lagi soal kemenangan dan kekalahan calon, melainkan meruncing ke soal pandangan cara hidup bermasyarakat dan bernegara.
Apa yang kemudian dilakukan oleh pemerintah? Pemerintah tampaknya mau memperlihatkan kepada masyarakat bahwa sikap tegas kepada kelompok-kelompok yang mempromosikan cara hidup bermasyarakat dan bernegara yang bertentangan dengan dasar negara dan konstitusi.
Awal Mei ini pemerintah menyatakan akan membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) -ormas yang memang dengan terus terang bersikap anti demokrasi dan mempromosikan kekhilafahan yang tak dikenal dalam konstitusi kita. Langkah ini sungguh mengherankan.
Yang mengherankan, pemerintah seolah tidak memahami langkah legal prosedural yang harus diambil untuk membubarkan -yang sebetulnya lebih berupa pencabutan status badan hukum- sebuah ormas sesuai dengan undang-undang. Apa yang diharapkan pemerintah dengan ketergesa-gesaan yang terasa seperti disengaja ini?
Langkah-langkah pemerintah untuk mencegah dan meredakan kegaduhan politik di tengah masyarakat sejak November tahun lalu sampai hari ini tampaknya tidak membuahkan hasil. Langkah-langkah itu malah menimbulkan kegaduhan baru.
Itu semua tampaknya bermuara pada pendekatan reaktif dan ketidakjelasan penyelesaian hukum dalam langkah-langkah yang diambil pemerintah tersebut.
Selasa (16/5) kemarin Presiden Joko Widodo bertemu dengan tokoh-tokoh lintas agama. Tampaknya pertemuan tersebut merespon kegaduhan di tengah masyarakat yang muncul selepas pengadilan memvonis Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama.
Usai pertemuan itu Presiden Joko Widodo menyerukan kepada seluruh masyarakat agar menghentikan gesekan yang sempat terjadi belakangan ini. Kapolri dan Panglima TNI diperintahkan untuk bertindak tegas terhadap upaya apa pun yang tidak sesuai dengan dasar negara dan konstitusi.
Apakah langkah pemerintah kali ini akan berhasil meredakan kegaduhan? Tampaknya sangat tergantung pada ketegasan dan kejelasan langkah penyelesaian hukum untuk setiap tindakan yang diambil.
Jika tidak begitu, langkah tersebut tak ubahnya strategi politik kartu poker belaka: membangun pengaruh, menggertak, berpura-pura, menjebak, dan selebihnya adalah ngarep. Sebuah strategi politik berjudi. Itu tidak kita butuhkan. Masyarakat butuh ketenangan yang sesungguhnya, bukan retorika.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/mencari-jalan-keluar-dari-kegaduhan-kegaduhan