Mengapa harus membubarkan ormas?

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

 

Pengumuman pemerintah, melalui konferensi pers Menko Polhukam Wiranto Senin (8/5) lalu, tentang rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memang mengherankan. Pemerintah seolah berlagak tidak tahu bahwa pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas) tidak bisa dilakukan dengan cara mengumumkannya begitu saja kepada publik.

Menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, ada sejumlah langkah dan fase yang harus dilalui sebelum pemerintah mengajukan permohonan pembubaran ormas ke pengadilan. Sudahkah pemerintah melakukan langkah dan melalui fase-fase tersebut?

Dari berbagai pernyataan pemerintah belakangan ini, tampaknya langkah-langkah dan fase yang seharusnya mendahului pengajuan pembubaran ke pengadilan tersebut belum dilakukan pemerintah. Jika mengikuti tahapan proses hukum yang diamanatkan oleh undang-undang ormas, diakui oleh Mendagri Tjahjo Kumolo, pembubaran HTI membutuhkan waktu 4 sampai 5 bulan. Memang cukup lama. Tidak bisa serta merta.

Undang-undang ormas mengasumsikan bahwa pemerintah sungguh memantau ormas-ormas yang ada, untuk memastikan bahwa ormas-ormas tersebut tidak melanggar larangan-larangan. Dengan begitu, pemerintah bisa sejak dini menjalankan tahapan sanksi kepada ormas yang dianggap melanggar undang-undang.

Rencana pemerintah yang tampak terburu-buru ingin segera membubarkan HTI, membuat kita ragu apakah selama ini pemerintah bekerja dengan baik dalam memantau ormas-ormas yang ada. HTI, kita tahu, bukanlah ormas yang baru kemarin sore berdiri.

HTI sudah lama berada di tengah masyarakat kita. Ormas ini dengan terang-terangan menolak sistem demokrasi. Secara terbuka dan masif HTI mempromosikan sistem khilafah yang tidak sesuai dengan konstitusi kita. Mengapa aktivitas HTI seperti itu tidak direspon sejak dini?

Semakin hari HTI semakin gencar dan agresif mengkampanyekan menegakkan negara khilafah. Ribuan mahasiswa yang bersumpah untuk menegakkan negara khilafah pada tahun lalu memperlihatkan betapa luas dan agresifnya kampanye negara khilafah itu. Meskipun semakin gencar meluaskan gerakan politik untuk menegakkan negara khilafah seperti itu, HTI berhak diperlakukan sesuai dengan undang-undang jika pemerintah berniat membubarkannya.

Bahkan sebetulnya pembubaran yang disebut-sebut dalam undang-undang ormas tersebut tidak lebih dari pencabutan status badan hukum ormas saja. Artinya, pembubaran hanya berlaku bagi ormas yang berbadan hukum saja. Sedangkan ormas yang tidak berbadan hukum, yang juga diakui oleh undang-undang itu, hanya akan dicabut surat keterangan terdaftarnya sebagai sanksi jika melanggar larangan yang ada.

Lalu apa sanksi yang akan dijatuhkan jika pelanggaran dilakukan oleh ormas yang tidak berbadan hukum dan sekaligus tidak terdaftar? Tak ada penjelasan mengenai hal ini.

Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian judicial review atas undang-undang ormas itu pada 2014, tak ada lagi pemisahan antara ormas legal dan tidak legal berdasarkan pendaftaran dan badan hukum. Keputusan MK tersebut mengurangi peran negara dalam mengendalikan gerak ormas.

Keputusan MK itu pun membuat pasal-pasal sanksi dalam undang-undang ormas menjadi tidak relevan. Undang-undang ormas sudah lumpuh sejak MK mengabulkan sejumlah permohonan dalam judicial review atas UU tersebut.

Sekarang pemerintah melemparkan gagasan kemungkinan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang bisa dipakai untuk membubarkan ormas -seperti HTI- dengan proses yang lebih cepat ketimbang tahapan yang diamanatkan oleh undang-undang ormas. Gagasan itu pastilah muncul untuk menopang komitmen pemerintah untuk membubarkan HTI sesuai dengan prosedur hukum.

Perppu semacam itu mungkin dianggap bisa menjadi jalan pintas untuk meredam gerakan politik yang mengusung penegakan negara khilafah. Namun jika Perppu itu sungguh diterbitkan, pemerintah akan tampak seperti pihak yang kehabisan akal untuk mengatasi gerakan politik yang tidak sejalan dengan konstitusi. Pada saat yang sama, sangatlah terasa wajar jika banyak kalangan mengkhawatirkan Perppu semacam itu akan menjadi ancaman bagi hak warga negara untuk berserikat dan berkumpul.

Negara seharusnya mencari jalan untuk mengeliminasi gerakan-gerakan politik yang bertentangan dengan dasar negara dan konstitusi, tanpa mengancam hak berserikat dan berkumpul masyarakat.

Tidakkah sebaiknya penegakan hukum terhadap penentang dasar negara dan konstitusi itu dilakukan berdasarkan peristiwa dan tindakan -bukan berdasarkan organisasinya. Dengan begitu, yang diadili adalah orang per orang atas tindakan-tindakannya yang melanggar hukum bukan wadahnya.

Penegakan hukum berdasarkan pelanggaran orang per orang itu harus dijalankan dan dituntaskan tak terlalu lama sejak pelanggaran itu terjadi. Hal itu bagian dari antisipasi perluasan gerakan politik penentang dasar negara dan konstitusi.

Di luar upaya penegakan hukum, terkait dengan merawat kesetiaan kepada dasar negara dan konstitusi, pemerintah perlu mempertimbangkan langkah-langkah pendidikan politik yang efektif dalam masyarakat kita. Elemen masyarakat tentu perlu dilibatkan pula untuk mendukung upaya pendidikan politik tersebut.

Bila pendidikan politik dilakukan dengan benar, komitmen bangsa Indonesia terhadap Pancasila sebagai ideologi, UUD 1945, dan pilihan sistem negara demokrasi tidak perlu diragukan lagi. Rakyat tidak gampang dicekoki ideologi lain, malah semestinya bisa menjadi filter atas rayuan hasutan maupun indoktrinasi untuk mengganti ideologi.

Dengan begitu kampanye ideologi komunisme, khilafah atau ideologi lain akan ditolak rakyat terlebih dahulu, sebelum membesar, diikuti banyak orang dan merepotkan pemerintah.

Apa boleh buat, saat ini pekerjaan rumah pemerintah, menjadi lebih besar: Menemukan jalan keluar secara konstitusional untuk melakukan penindakan atas upaya mengganti ideologi oleh sekelompok orang, serta menata ulang pendidikan politik untuk masyarakat.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/mengapa-harus-membubarkan-ormas

Kontak