Apakah tanggal kelahiran organisasi Boedi Oetomo, 20 Mei, sudah pas dipakai sebagai penanda kebangkitan nasional kita? Para ahli sejarah boleh memperdebatkannya.
Cakupan masyarakat yang menjadi fokus perhatian organisasi Boedi Oetomo memang hanya masyarakat Jawa dan Madura. Itu sebabnya sejumlah sejarawan menganggap Boedi Oetomo lebih menandai kebangkitan priyayi Jawa ketimbang kebangkitan nasional.
Toh pada 1928, Boedi Oetomo menambah asas perjuangannya--bila diterjemahkan secara bebas, artinya "ikut berusaha untuk melaksanakan cita-cita persatuan Indonesia". Ini dinilai sebagai isyarat bahwa gerakan mereka meliputi seluruh Indonesia.
Namun kita tahu, kebangsaan kita bukanlah sebuah penemuan yang diproduksi pada hari tertentu. Kebangsaan kita terbentuk dalam sebuah proses yang panjang, yang boleh jadi sampai hari ini kita masih terus bergulat membentuknya.
Itu sebabnya, rujukan kepada pendirian Boedi Oetomo sebagai hari Kebangkitan Nasional, lebih baik dimaknai secara simbolik. Bahwa perjuangan untuk menjadi manusia yang setara dengan manusia lain, untuk menjadi masyarakat yang setara dengan masyarakat lain, hanya bisa dimulai dengan semangat kebangkitan dan kesadaran atas persatuan, kesatuan, dan kebersamaan.
Hari Kebangkitan Nasional itu memang bukan untuk merayakan hari ulang tahun sebuah organisasi pergerakan pada masa lampau. Kesadaran atas pentingnya memiliki dan memperingati sebuah hari kebangkitan nasional itu dilatarbelakangi oleh kesadaran mengenai tantangan dan arah masa depan dari negeri dan bangsa ini.
Gagasan untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional terkait dengan situasi Republik Indonesia yang masih sangat muda usianya pada 1948. Saat itu Republik Indonesia menghadapi ancaman kembalinya kolonialisme Belanda, di satu sisi. Sementara di dalam negeri, pertikaian politik antar kelompok kepentingan juga sangat tajam; dan situasi ekonomi kita pun kacau.
Dalam keadaan begitu simbol baru persatuan sangat dibutuhkan. Muncullah gagasan untuk memperingati hari berdirinya Boedi Oetomo sebagai hari--yang saat itu disebut--Kebangunan Nasional. Pada 1948 itulah untuk pertama kali perayaan Hari Kebangkitan Nasional diselenggarakan.
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional ketika itu juga menghasilkan "Dokumen Kesatuan Nasional". Dokumen itu ditandatangani oleh berbagai partai politik dan ormas dengan latarbelakang yang beragam. Dokumen itu "menetapkan hari 20 Mei 1908 ini sebagai saat permulaan menggalang kesatuan sikap program dan tindakan."
Bagi kita saat ini sangatlah penting untuk merefleksikan kembali makna kebangkitan, persatuan dan kesatuan nasional itu. Terutama sekali karena saat ini kita mulai merasakan rongrongan kecenderungan politik identitas di tengah masyarakat, yang aromanya mulai tercium pada masa Pilpres 2014 dan lebih tampak mewujud pada Pilkada Jakarta 2017.
Akuilah, politik identitas selama proses Pilkada Jakarta yang lalu telah melukai sejumlah hubungan sosial di tengah warga negara dalam lingkup nasional. Kohesivitas sosial kita agak terkikis berkat praktik politik identitas itu.
Selama Pilkada Jakarta berlangsung, yang di dalamnya praktik politik identitas sangat kental mewarnainya, partai-partai politik seperti menutup mata terhadap potensi kerusakan sosial yang mungkin ditimbulkan oleh praktik politik identitas. Begitu juga dengan elit politik.
Padahal, berkat praktik politik identitas itu, banyak di antara kita lebih sibuk mengorek-ngorek berbagai perbedaan untuk menentukan siapa kawan dan siapa lawan. Tidak sedikit pula di antara kita yang mau menghabiskan tenaganya untuk saling menghujat.
Mungkin ada elit politik maupun konsultan politik yang mengira bahwa politik identitas tak lebih sekadar strategi untuk memenangkan kontestasi elektoral belaka, yang akan mereda, usai, dan kemudian dilupakan selepas proses pemilihan. Nyatanya tidak.
Selepas Pilkada Jakarta, masyarakat kita masih terpecah berkat politik identitas. Itu bisa kita lihat di media sosial. Bisa juga kita rasakan hal itu di berbagai pojok wilayah kita.
Proses saling menguatkan persepsi (echo chamber) di media sosial maupun di forum-forum pertemuan sosial makin memperteguh banyak orang untuk memakai pendekatan politik identitas dalam membangun hubungan sosialnya. Hal ini sangat berpotensi membuka pintu kelompok-kelompok penentang dasar negara dan konstitusi untuk memperluas jangkauan pengaruhnya ke dalam masyarakat kita.
Sayang sekali, keadaan ini seolah tidak mengusik partai politik maupun elit politik. Kita tidak melihat upaya yang serius dari partai dan elit politik untuk merespons kecenderungan kepada politik identitas, yang berpotensi merongrong demokrasi dan keutuhan kita sebagai bangsa.
Jika benar bahwa partai dan elit politik negeri ini menganggap politik identitas hanya merupakan strategi pemenangan kontestasi elektoral belaka, itu menandakan bahwa mereka tidak berminat untuk memikirkan negara dan bangsanya. Jika benar demikian, mereka tampak lebih terobsesi kepada pemenangan kontestasi elektoral. Itu adalah sebuah obsesi yang dangkal.
Hari Kebangkitan Nasional kali ini seharusnya mengingatkan kita bahwa yang kita butuhkan saat ini adalah pengorganisasian energi seluruh komponen bangsa untuk mengantisipasi dan merespon segala tantangan yang akan kita hadapi sebagai sebuah bangsa. Segala perbedaan yang kita miliki sudah seharusnya tidak menghalangi kita untuk membangun kesatuan dan persatuan menuju kebangkitan nasional.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/kebangkitan-nasional-dan-politik-identitias