Masihkah kita bisa mempercayai BPK?

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

 

Jumat (26/5) lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di dua tempat yang terpisah. Pertama, OTT dilakukan di kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kedua, dilakukan di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).

Dalam OTT di kantor BPK, enam orang diamankan oleh tim KPK. Yaitu seorang auditor dan seorang pejabat eselon 1 BPK, seorang pejabat eselon 3 Kemendes PDTT, seorang sekretaris, seorang sopir, dan seorang satpam. Sedangkan di kantor Kemendes PDTT, KPK menangkap Inspektur Jenderal Kemendes PDTT.

Penangkapan itu terkait dengan suap yang diterima auditor dan pejabat eselon 1 BPK tersebut. Di ruangan auditor BPK, tim KPK menemukan uang sebesar Rp40 juta yang diduga bagian dari total komitmen suap Rp240 juta. Sedangkan RP200 juta lain diduga telah diserahkan pada awal Mei sebelumnya.

Selain uang sebesar Rp40 juta itu, tim KPK juga menemukan uang sebesar Rp1,145 miliar dan USD3 ribu di brankas pejabat eselon 1 BPK. Belum dapat dipastikan apakah uang tersebut terkait dengan kasus suap yang sama.

Seperti yang disampaikan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo, penyuapan terhadap pejabat BPK tersebut terkait dengan keinginan Kemendes PDTT untuk meningkatkan peringkat opini laporan keuangannya. Pada laporan keuangan tahun anggaran 2015, Kemendes PDTT mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Penyuapan dilakukan agar laporan keuangan Kemendes PDTT tahun anggaran 2016 naik peringkatnya menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

WDP dan WTP adalah 2 di antara 4 jenis opini yang diberikan oleh BPK terhadap laporan keuangan pemerintah. Di antara jenis-jenis opini lain, WTP berada di peringkat paling atas.

Publik mempersepsi bahwa opini WTP mencerminkan penggunaan keuangan yang benar. Lembaga negara, kementerian, maupun pemerintah daerah (pemda) yang mendapatkan opini tersebut dipersepsi sebagai lembaga yang benar dalam menggunakan uang dan bersih dari korupsi. Dengan citra seperti itu, opini WTP benar-benar diburu oleh pemda, kementerian, dan lembaga negara.

Padahal berulang kali BPK mengingatkan bahwa lembaga yang mendapatkan opini WTP tidaklah dijamin bebas dari korupsi. Opini WTP, seperti disampaikan Anggota II BPK bidang Perekonomian Agus Joko Pramono, hanya sekadar pernyataan BPK terhadap suatu pengelolaan keuangan negara, termasuk tolok ukur akuntabilitas dari pengelolaan keuangan di tiap kementerian dan lembaga. Dalam proses itu kementerian dan lembaga tersebut bisa saja mengelabuinya.

Opini WTP diterbitkan jika laporan keuangan dianggap terbebas dari kesalahan penyajian informasi secara material, dan disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.

Sedangkan opini WDP diterbitkan jika laporan keuangan masih mengandung butir tertentu yang menjadi pengecualian, yang dianggap tidak wajar. Namun ketidakwajaran tersebut dipandang tidak memengaruhi kewajaran laporan keuangan.

Selain kedua opini tersebut, ada lagi 2 jenis opini lain: Tidak Wajar dan disclaimer. Opini Tidak Wajar diterbitkan jika laporan keuangan dipandang tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya sehingga bisa menyesatkan penggunanya. Sedangkan disclaimer diberikan jika auditor tidak bisa meyakini apakah laporan itu keuangan wajar atau tidak.

Keraguan publik terhadap integritas BPK dalam memberikan opini hasil audit atas laporan keuangan pemerintah sudah menjadi gosip yang dibicarakan di luar media publik. Sebelumnya tak pernah ada yang bisa membuktikan kebenaran gosip itu.

Satu-satunya pejabat yang secara terbuka mempertanyakan integritas BPK adalah Basuki (Ahok) Tjahaja Purnama, saat menjabat Gubernur DKI Jakarta. Pada 2015, merespon opini WDP yang diberikan terhadap laporan keuangan pemerintah DKI Jakarta tahun 2014, Ahok pernah mempertanyakan integritas BPK dalam memberikan opini.

"Daerah yang dapat Wajar Tanpa pengecualian (WTP) itu semua apa? Ada kepala daerah dapat WTP tapi masuk penjara. Saya mau tahu ini, biar kita terbuka selesaikan masalah republik ini. Jangan BPK merasa kayak Allah Maha Kuasa saja di Republik ini," kata Ahok saat itu seperti dikutip beritasatu.com.

Persepsi masyarakat mengenai integritas BPK yang selama ini hanya dianggap gosip, dibuktikan oleh OTT yang dilakukan KPK: opini WTP bisa diberikan sesuai dengan pesanan. Penangkapan tersebut, harus diakui, mendegredasi reputasi BPK. Negara akan mengahadapi pertanyaan penting dari para pembayar pajak, "Masihkah kita bisa mempercayai BPK?"

Jika integritas BPK menjadi sedemikian meragukan, lalu siapa yang bisa kita percayai untuk memeriksa laporan keuangan pemerintah dan lembaga negara? BPK harus bekerja keras meyakinkan masyarakat bahwa lembaga tersebut memiliki sistem dan kualitas manusia yang bisa dipercaya untuk menjalankan tugasnya. Tentu saja itu bukan hal yang mudah.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/masihkah-kita-bisa-mempercayai-bpk

Kontak