Menutup media sosial? Serius?

 

Kita bisa membuat daftar berbagai keuntungan yang kita peroleh dari kegiatan kita di media sosial. Namun pada saat yang sama begitu banyak kerugian dan hal negatif kita peroleh selama berkegiatan di media sosial.

Kita mungkin bukan bagian dari mereka yang membuat atau menimbulkan hal-hal negatif, tetapi kita susah untuk mengelak dari paparannya. Kita mungkin bukan pembuat dan penyebar kabar bohong, tetapi kabar bohong tetap mendatangi kita lewat media sosial. Kita mungkin tidak tertarik menjadi penghasut, tapi konten hasutan masih mungkin menyambangi kita di media sosial. Kita bisa saja tak mau terlibat dalam percekcokan dan fitnah, tapi konten fitnah dan intimidasi kadang tak bisa kita elakkan.

Konten-konten negatif di media sosial tidak pandang bulu menyasar siapa saja. Jelas itu mengganggu. Kabar bohong dan fitnah menggiring kita ke pengambilan keputusan yang salah dalam kehidupan sosial politik kita. Segala ujaran kebencian, intimidasi, dan percekcokan yang tidak pernah selesai itu mengorek-mengorek kerekatan sosial kita, merongrong kesabaran kita.

Banyak pihak merasa gerah dengan konten dan perilaku negatif seperti itu di media sosial. Sebagian aktivis berkonsentrasi kepada upaya literasi media agar kita paham cara mencerna informasi dan cara agar tidak terlibat dalam perilaku, pembuatan dan penyebaran konten yang negatif. Sebagian lain berjibaku memeriksa konten-konten yang dicurigai berisikan kabar bohong.

Yang terbaru, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Dalam fatwa itu MUI menjelaskan sejumlah hal yang dikategorikan hukumnya haram: perilaku dan jenis konten negatif yang selama ini sudah kita kenal. Kehadiran fatwa itu mempertegas kebajikan yang selama ini diyakini oleh mayoritas pengguna media sosial, namun tetap saja dilanggar oleh tidak sedikit orang.

Mencegah, mengantisipasi, meredakan dan menghentikan perilaku dan konten negatif di media sosial bukanlah upaya yang mudah dan membuahkan hasil seketika. Jangankan menghentikan, untuk meredakannya saja butuh komitmen, stamina dan energi yang besar.

Pada saat yang sama, produksi konten negatif tidak terlihat berkurang. Ada pihak-pihak yang tampak memperbaiki cara dan teknik propaganda dan pembuatan kabar bohong. Sesekali, mereka yang bahkan sudah mulai melek media tampak sempat terpeleset mempercayai kabar bohong dan propaganda.

Pemerintah boleh gerah oleh konten negatif di media sosial itu. Namun gagasan yang disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara terkait dengan konten negatif media sosial perlu kita pertanyakan.

Rudiantara, dalam acara sosialisasi fatwa MUI terkait media sosial, menyampaikan bahwa pemerintah mungkin akan menutup layanan penyelenggara media sosial jika tidak bisa mengendalikan konten negatif di dalamnya.

"Bukan hanya akses akunnya yang dibatasi. Kalau diperlukan, penyedia layanannya yang akan ditutup," kata Rudiantara seperti dikutip CNNIndonesia.

Penutupan layanan itu, menurut Rudiantara, memang tidak akan dilakukan secara serta merta. Ada sejumlah tahapan yang dilakukan sebelum pemerintah menutup layanan tersebut.

Seberapa seriuskah gagasan tersebut? Apakah hal itu hanya ekspresi kegalauan pemerintah atas ketidakmampuannya mengeliminasi konten-konten negatif di media sosial? Apakah hal itu hanya gertak sambal saja?

Terlepas dari seberapa sungguh-sugguhkah pemerintah dengan gagasan tersebut, menutup layanan media sosial negeri ini adalah ide yang absurd. Media sosial bagaimanapun telah menjadi bagian dari hidup kebanyakan orang yang memetik banyak manfaat bagi dirinya dan jaringan sosialnya. Menutupnya, karena memang mengandung konten negatif, seperti membakar lumbung padi untuk mengusir tikus. Absurd.

Baik pendekatan kultural maupun pendekatan hukum -yang selama ini sudah dilakukan untuk mencegah, mengantisipasi, meredakan dan menghentikan perilaku dan konten negatif di media sosial- memang lebih mengarah kepada pelaku dan korbannya. Perusahaan media sosial memang belum tersentuh.

Namun sebetulnya semua perusahaan media sosial -Facebook, Twitter, Instagram dan lainnya- mempunyai ketentuan-ketentuan pengunaan layanan yang diberikannya. Dalam ketentuan-ketentuan itu, perilaku dan konten negatif jelas-jelas dilarang. Cuma saja, para perusahaan itu memang tidak terlihat sigap juga dalam menegakkan ketentuan-ketentuannya sendiri. Hal itulah yang bisa dituntut oleh pemerintah kepada semua penyedia layanan media sosial.

Bahkan sebaiknya pemerintah berkaca kepada pengalaman Komisi Eropa dalam mengantisipasi konten ilegal dan bernada ancaman. Maret 2017 lalu, Komisi Eropa dan otoritas perlindungan konsumen Eropa menyatakan, "akan mengambil tindakan untuk memastikan perusahaan media sosial mematuhi peraturan konsumen Uni Eropa." Perusahaan-perusahaan teknologi Amerika Serikat saat ini diawasi secara ketat di Eropa terkait privasi sampai urusan menghapus konten ilegal atau yang bernada mengancam.

Jerman, negara Uni Eropa yang paling banyak penduduknya, berencana menyusun undang-undang yang akan mendenda perusahaan media sosial yang tidak secara cepat menghapus konten berisi fitnah, ancaman, maupun ujaran kebencian.

Mengapa pemerintah tidak mengambil model seperti itu? Perusahaan-perusahaan penyedia media sosial maupun yang terkait dengan penyebaran konten, dituntut untuk menyediakan ketentuan-ketuan bagi pengguna dari Indonesia yang selaras dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Setiap pelanggaran atas peraturan tersebut, pemerintah dapat menjatuhkan denda yang sangat besar untuk menimbulkan efek jera dan kepatuhan.

Ketimbang menutup layanan mereka, pendekatan semacam itu jauh lebih cocok untuk memastikan semua pihak terlibat untuk mengatasi problem konten negatif di media sosial.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/menutup-media-sosial-serius

Kontak