Menyoal kebiasaan rangkap jabatan komisaris BUMN

Foto: Antara Foto

 

Adalah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo yang pada Maret lalu mengingatkan rawannya pejabat yang merangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Konflik kepentingan akibat rangkap jabatan itu bisa menjerumuskan orang kepada korupsi.

Tak sampai sebulan sejak peringatan Ketua KPK itu, pada April lalu, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyatakan, mengidentifikasi sejumlah nama pejabat yang merangkap jabatan komisaris di BUMN. Ada indikasi pelanggaran undang-undang dalam rangkap jabatan itu.

Sebulan kemudian, dalam sebuah diskusi komisioner ORI A. Alamsyah Saragih mengatakan bahwa dari 541 komisaris di 144 BUMN yang dipantau oleh ORI, 222 diantaranya merangkap jabatan sebagai pelaksana pelayanan publik. Itu artinya hampir separuh komisaris BUMN dirangkap jabatannya. Angka yang cukup besar.

Masih menurut Alamsyah, ada empat kementerian yang paling banyak menempatkan pejabatnya sebagai komisaris BUMN. Yaitu, Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pertanian dan Kementerian Kesehatan.

Sudah menjadi rahasia umum, posisi komisaris di BUMN lazimnya diberikan kepada pihak-pihak yang punya kedekatan politik dengan pihak yang sedang berkuasa, kepada pejabat yang bidangnya bersinggungan dengan bisnis BUMN, selain kepada komisaris independen.

Itu sebabnya Menteri BUMN Rini Soemarno meminta perkara rangkap jabatan tidak dipersoalkan.

"Dari dulu permainannya seperti itu. Aturannya demikian. Memang mereka diperbolehkan di posisi komisaris di mana dulu itu kan BUMN-BUMN itu ada hubungannya dengan kementerian teknis," kata Rini seperti dikutip Kumparan.

Rini juga berdalih, tugas komisaris adalah pengawasan; bukan operasional sehari-hari. Dengan begitu, Rini meyakinkan, rangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN tidak akan mengganggu kinerja utama sang pejabat pelaksana pelayanan publik.

Apa yang disebut sebagai "aturannya demikian" sebetulnya bukanlah sungguh sebuah aturan. Itu hanyalah sebuah kebiasaan yang berlangsung rezim ke rezim.

Namun sebaliknya, ada sejumlah undang-undang yang secara jelas maupun tersirat melarang pejabat melakukan rangkap jabatan tertentu.

Pasal 28 ayat 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, misal, menyatakan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Dengan keterangan tersebut, maka sangat wajar masyarakat mempertanyakan penunjukan Wakapolri Komjen Syafruddin sebagai anggota komisaris PT Pindad (Persero).

Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilarang turut serta dalam perusahaan milik negara daerah maupun merangkap jabatan sebagai pejabat negara lain.

Pasal 23 Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menyatakan bahwa menteri dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta. Itu sebabnya menjadi wajar pula jika masyarakat mempertanyakan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar yang merangkap jabatan sebagai komisaris di PT Pertamina (Persero).

Bagi pejabat pelaksana pelayanan publik, Pasal 17 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik sangat jelas memuat larangan merangkap jabatan sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.

Sebagai bagian dari aparatur sipil negara, pejabat pemerintah berperan sebagai regulator. Jika duduk sebagai bagian dari perusahaan BUMN, ia menjadi bagian dari obyek yang diatur oleh regulator. Regulator sekaligus pihak yang diatur. Tidakkah ini menjadi tumpang tindih?

Potensi konflik kepentingan memang besar jika pejabat pemerintah merangkap sebagai komisaris BUMN. Mengawasi hanyalah salah satu tugas dari komisaris sebuah perusahaan. Selain itu, komisaris juga memberikan masukan terkait arah besar perusahaan. Dalam situasi begitu, konflik kepentingan menjadi susah untuk dihindari.

Dan kita tahu, konflik kepentingan seringkali menjadi akar dari kecurangan, yang bisa dengan mudah membuat orang terpeleset kepada tindakan korupsi.

Salah satu risiko dari rangkap jabatan yang dilakukan oleh pelaksana pelayanan publik adalah tidak optimalnya pelayanan publik itu sendiri. Fokus pejabat yang merangkap jabatan akan terpecah ke lebih dari satu urusan yang menjadi tanggung jawabnya. Jika perhatiannya tidak terpecah pun, sangatlah sulit bekerja optimal di beberapa pekerjaan sekaligus. Salah satu pekerjaannya berpotensi dijalani tidak dengan optimal.

Dalam situasi itu, isu pemborosan uang negara menjadi relevan untuk dibicarakan: seseorang mendapatkan penghasilan dobel atau lebih dari negara dengan kualitas pekerjaan yang tidak optimal pula.

Reformasi birokrasi dalam kaitannya dengan rangkap jabatan seperti itu perlu dilakukan segera. Hal itu untuk memastikan pelayanan publik berjalan tanpa terganggu karena perhatian pejabatnya terpecah, di satu sisi.

Di sisi lain, menghindarkan rangkap jabatan juga diarahkan untuk memastikan bahwa komisaris di BUMN bekerja secara penuh -tidak paruh waktu sehingga bisa menjalankan tugasnya secara optimal pula. Pada saat yang sama, konflik kepentingan pun bisa dihindari.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/menyoal-kebiasaan-rangkap-jabatan-komisaris-bumn

Kontak