Merampas kesempatan si miskin untuk bersekolah

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

 

Benar bahwa tak semua orang miskin itu bodoh, sama seperti halnya tidak semua orang kaya itu pintar. Namun nyatanya kemiskinan menjauhkan orang dari akses ke berbagai fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang setara dengan orang-orang yang tergolong lebih mampu dan berada secara ekonomi.

Wajar jika kemudian kelompok tidak mampu secara ekonomi tersebut mendapatkan perlakuan khusus untuk memastikan bahwa mereka mempunyai kesempatan yang hampir sama untuk mengakses layanan-layanan dasar dalam masyarakat. Pendidikan adalah salah satunya.

Dalam konteks itulah kita bisa memahami aturan tentang perlakuan khusus terhadap keluarga ekonomi tidak mampu dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) tingkat SMA atau sederajat. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2017 secara khusus menggarisbawahi perlunya perlakukan khusus terhadap keluarga tidak mampu itu.

Pasal 16 ayat 1 Permendikbud tersebut dengan tegas mewajibkan sekolah setingkat SMA yang diselenggarakan oleh daerah provinsi untuk menerima siswa baru yang berasal dari keluarga miskin. Jumlahnya cukup besar. Yaitu 20% dari jumlah keseluruhan siswa yang diterima.

Mereka yang tergolong berasal dari keluarga miskin itu harus membuktikan diri dengan menyertakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) atau bukti lain yang diterbitkan oleh pemerintah daerah. Itulah yang disyaratkan dalam Permendikbud tersebut.

Di lapangan, persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi bagian dari kuota 20% tadi, calon siswa juga diwajibkan mempunyai nilai Ujian Nasional minimal 24,00. Di beberapa daerah lain, selain harus menyertakan SKTM yang dikeluarkan oleh pemerintah desa, siswa dari keluarga miskin juga harus mendapat legalisasi dari kecamatan -bahkan ada yang memerlukan Surat Pernyataan Tanggung jawab Mutlak yang ditandatangani camat.

Itu sebabnya, bersamaan dengan masa pendaftaran PPDB, permintaan SKTM meningkat. Misal, di Desa Langon, Kecamatan Tahunan, Jepara. Sejak dimulainya PPDB sampai pertengahan Juni, pejabat pemerintahan desa tersebut mengaku sudah mengeluarkan 20 SKTM. Itu adalah angka yang luar biasa dibandingkan pada hari-hari biasa yang lain. Begitu juga yang terjadi di daerah lain seperti Pemalang, Depok, Bekasi, Yogyakarta, Rengasdengklok, dan daerah lainnya.

Sayang sekali, upaya pemerintah untuk memberikan akses ke layanan pendidikan bagi keluarga miskin tersebut malah disalahgunakan oleh mereka yang tidak berhak untuk mendapatkannya. Beberapa calon siswa dari keluarga kaya mencoba memakai kuota yang seharusnya dinikmati oleh keluarga miskin tersebut.

Di Tangerang Selatan, misal, sekolah acap kali menemukan siswa pemegang SKTM yang ternyata tinggal di kawasan elit. Di Kota Depok, contoh lain, SKTM ditandatangani oleh kepala sekolah asal pendaftar. Padahal seharusnya SKTM ditandatangani oleh pemerintah desa atau kelurahan setempat.

Daerah yang paling banyak diberitakan mempunyai banyak kasus penyalahgunaan SKTM untuk keperluan PPDB adalah Jawa Tengah. Di Semarang, seperti dikutip Kompas, di setiap sekolah terdapat 1 sampai dua siswa tidak miskin yang memakai SKTM agar bisa masuk sekolah. Di Sukoharjo, seperti dikutip Solopos.com, ada dua siswa yang kedapatan menggunakan SKTM fiktif agar bisa lolos masuk ke sekolah favorit di daerah itu.

Jumlah manipulasi SKTM di Jawa Tengah tampaknya memang cukup besar. Seperti disampaikan oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng Gatot Bambang Hastowo, setidaknya ada 168 SKTM yang dipakai oleh keluarga mampu dalam PPDB SMA dan SMK Jawa Tengah online tahap pertama. Tepatnya, 90 SKTM dipakai keluarga mampu di SMA, dan 78 SKTM dipakai keluarga mampu di SMK.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengakui adanya penggunaan SKTM palsu dalam PPDB 2017 ini di wilayahnya. Atas situasi itu Ganjar mendapatkan banyak komplain dari warga Net. Untuk mengantisipasi SKTM fiktif tersebut, di sejumlah daerah di Jawa Tengah, panitia PPDB online di masing-masing sekolah melakukan verifikasi.

Jika terbukti menggunakan SKTM fiktif, siswa akan dikeluarkan. Bahkan, menurut Ganjar, karena sudah tergolong pemalsuan, sebaiknya pengguna SKTM fiktif itu dipidana.

Meski manipulasi SKTM itu diberitakan lebih banyak terjadi di Jawa Tengah, itu tidak berarti bahwa hal serupa tidak terjadi di wilayah lain. Ini perlu mendapat perhatian yang serius.

Ada banyak faktor yang menyebabkan SKTM asli tapi palsu itu muncul. Tak adanya tenaga yang memadai di tingkat pemerintahan desa untuk memverifikasi kebenaran klaim miskin adalah salah satu penyebabnya. Budaya pakewuh atau sungkan juga bisa membuat seorang ketua RT membatu warganya yang mampu untuk mendapatkan SKTM.

Yang sangat kita sesalkan adalah sikap dan tindakan keluarga yang secara ekonomi mampu namun memilih jalan memanipulasi SKTM demi meloloskan anaknya bersekolah. Sikap dan tindakan seperti itu secara moral jelas salah. Tindakan itu sama serupa jika orang kaya merampok beras yang diperuntukkan bagi keluarga miskin.

Gagasan untuk memidanakan para orangtua yang memanipulasi SKTM itu tampaknya perlu diwujudkan. Selain juga memberikan sanksi sosial bagi mereka.

Keserakahan, yang merampas kesempatan kaum miskin, tidak bisa dimaklumi dalam bentuk apa pun.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/merampas-kesempatan-si-miskin-untuk-bersekolah

Kontak