Mewaspadai kebakaran hutan dan lahan

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

 

Beberapa hari lalu kabut asap menyelimuti pemukiman warga di beberapa kecamatan di Aceh Barat. Asap itu berasal dari kebakaran lahan yang meluas dalam beberapa hari hingga mencapai 50 hektar.

Salah satu faktor yang membuat kebakaran lahan menjadi luas seperti itu adalah kegiatan pembakaran demi membuka lahan. Lahan yang terbakar memang milik warga. Dalam kebakaran itu ada 12 titik api di 3 kecamatan.

Perihal pembakaran yang dilakukan dengan sengaja, bulan Juni lalu juga terjadi di Riau. Satuan Tugas Pencegah Kebakaran Hutan dan Lahan Riau yang sedang berpatroli di kawasan Meranti -yang terdeteksi titik api- memergoki seseorang yang sedang membakar lahan. Para petugas segera mengamankan si pelaku.

Kesigapan terhadap potensi kebakaran hutan dan lahan memang harus ditingkatkan. Kita sedang memasuki puncak kemarau, yang bisa memicu dan mempermudah kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran yang terjadi di kawasan Pegunungan Kebo Kabupaten Trenggalek baru-baru ini, selain dipicu oleh balon udara yang jatuh di kawasan tersebut, juga dipengaruhi oleh musim kemarau.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan, puncak musim kemarau tahun ini akan berlangsung pada bulan Juli, Agustus, dan September. Itu menunjukkan ada pergeseran dibandingkan periode 1981 sampai dengan 2010 -yang puncak musim kemaraunya berlangsung pada Juni, Juli, dan Agustus.

Memasuki musim kemarau sejumlah titik api (hotspot) memang bermunculan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan, titik api semester I tahun 2017 turun 30% dibandingkan tahun 2016. Meski begitu titik api di Sumatera dan Jawa tetap perlu diwaspadai.

Satelit National Oceanicand Atmospheric Administration (NOAA), yang biasa dipergunakan untuk memantau kebakaran hutan, pada bulan Juni lalu mendeteksi 271 titik api. Kebanyakan titik api berada di Jawa Timur, dengan jumlah 89 titik.

Sedangkan satelit-satelit penelitian NASA (National Aeronautics and Space Administration) milik Amerika Serikat yang membawa instrumen Moderate Resolution Imaging SpectroRadiometer (MODIS), baik Satelit Aqua maupun Satelit Terra, juga pada bulan Juni mendeteksi 857 titik api. Kebanyakan titik api berada di wilayah Riau. Yaitu sebanyak 129 titik.

Situasi tersebut, sekali lagi, harus diwaspadai. Pemerintah sudah seharusnya juga mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan agar tragedi yang terjadi pada 2015 tidak terulang lagi. Kabut asap saat itu telah menyebabkan 19 orang meninggal dan 425 ribu orang terkena infeksi saluran pernapasan atas. Menurut Bank Dunia, kerugian ekonomi akibat bencana asap itu mencapai Rp200 triliun.

Kebakaran hutan dan lahan 2015 merupakan kebakaran yang terburuk sejak 1997. Hal itu diakui oleh pemerintah. Luas area kebakaran pada saat itu setara dengan 32 kali wilayah DKI Jakarta.

Kasus kebakaran hutan dan lahan 2015 tersebut bahkan masuk ke ranah hukum. Pada bulan Maret lalu Pengadilan Negeri Palangkaraya Kalimantan Tengah (Kalteng) mengabulkan sebagian gugatan masyarakat (citizen lawsuit) terkait kasus kebakaran hutan yang melanda provinsi tersebut. Presiden Joko Widodo, sebagai salah satu tergugat, kalah dalam kasus tersebut.

Belajar dari pengalaman itu, pemerintah harus menunjukan upaya yang lebih sungguh-sungguh untuk menghindarkan kita dari tragedi serupa itu.

Semula hanya disebutkan ada 3 provinsi yang menyatakan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan. Yaitu provinsi Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Belakangan Jambi pun menyatakan wilayahnya dalam status siaga darurat.

Kita berharap provinsi lain yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan -seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Papua- juga menyiapkan status siaga darurat. Jangan sampai ada keterlambatan dalam menentukan status siaga darurat agar tragedi kebakaran hutan dan lahan 2015 tidak terulang. Status siaga darurat tersebut akan mempermudah koordinasi antara pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat dalam menanggulangi kebakaran.

Untuk 3 provinsi pertama yang menyatakan status siaga darurat - Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menyiapkan 12 helikopter water bombing dan 2 pesawat hujan buatan.

Selain pendekatan modifikasi cuaca dan water bombing tersebut, pemerintah sepatutnya mengevaluasi pelaksanaan sejumlah gagasan untuk mengantisipasi kebakaran terutama di lahan gambut, seperti pembangunan embung dan sekat kanal. Embung dapat menyimpan cadangan air yang bisa dipakai -salah satunya- untuk menanggulangi kebakaran lahan dan hutan. Sedangkan sekat kanal akan menjaga kadar air dan membuat lahan gambut tetap basah.

Evaluasi itu diperlukan untuk memastikan bahwa gagasan dan upaya untuk mengantisipasi dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan tidak hanya berlangsung musiman. Upaya-upaya itu harus berlangsung secara berkelanjutan tanpa menunggu korban jatuh.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/mewaspadai-kebakaran-hutan-dan-lahan

Kontak