Ada tiga kejadian yang terkait dengan radikalisme terbaru yang patut mendapat perhatian kita. Tanpa perlu berpretensi untuk membuat kesimpulan, agaknya kita bisa menarik benang merah dari ketiga peristiwa itu.
Pertama, ledakan bom panci yang terjadi Sabtu (8/7/2017) lalu di Bandung. Kedua, pemasangan bendera ISIS yang disertai surat ancaman terhadap polisi di kantor Polisi Sektor Kebayoran Lama Jakarta pada Selasa (4/7). Ketiga, penikaman 2 anggota Brimob, ketika melangsungkan shalat di masjid Faletehan Jakarta, Jumat 30 Juni.
Bom panci yang meledak di Bandung terjadi di sebuah rumah kontrakan. Bom itu meledak tanpa disengaja karena kesalahan teknis. Berdasarkan buku catatan yang ditemukan polisi, si perakit berencana meledakkan bom di sejumlah tempat di Bandung: Cafe Bali di Jalan Braga, Rumah Makan Celengan di Astana Anyar, dan Gereja di daerah Buah Batu.
Mengapa si perakit berencana meledakkan bom? Menurut polisi, si perakit ingin memerangi agama lain dan polisi.
Sangatlah penting untuk mencermati profil si perakit bom tersebut. Lelaki bernama Agus Wiguna itu sehari-hari bekerja sebagai penjual bakso. Umurnya, catatlah, belum genap 22 tahun ketika bom rakitannya meledak tanpa sengaja.
Internet mempunyai peran penting bagi Agus. Ia mampu merakit bom berkat belajar sendiri lewat internet. Ia memiliki pemahaman dan keinginan untuk jihad juga berkat belajar sendiri lewat internet. Di kamar kontrakan Agus itu polisi menemukan kertas penyataan baiat kepada ISIS.
Sejauh ini polisi belum melihat keterkaitan Agus dengan organisasi-organisasi teroris. Lelaki yang sudah merakit bom sejak 1 Juni itu tampaknya bekerja sendiri di luar organisasi.
Profil Agus hampir sama dengan anak muda lain yang namanya berinisial GOH. Dia adalah pelaku pemasangan bendera ISIS dan penyebar ancaman di kantor Polsek Kebayoran Lama, yang berhasil ditangkap pada Jumat 7 Juli.
GOH, catatlah, berumur 20 tahun. Internet juga punya peran penting buat GOH. Ia mendapatkan pemahaman radikal sejak 2015 lewat sejumlah grup media sosial dan aplikasi messenger. Anak muda ini berbaiat sendiri kepada ISIS pada pertengahan 2017 "dengan teks yang diperolehnya dari grup Telegram Khilafah Islamiyah."
Setelah berbaiat, sesuai dengan anjuran di grup Telegram yang diikutinya, GOH menyiapkan diri untuk melakukan jihad. Ia melakukan latihan fisik, termasuk memanah.
Setipe dengan Agus, menurut polisi, GOH berkegiatan sendiri. Ia tidak ikut dalam struktur organisasi teroris manapun.
Penusuk dua anggota Brimob di masjid Faletehan juga disebut oleh polisi sebagai simpatisan ISIS yang bekerja sendiri. Lelaki bernama Mulyadi itu tidak ikut dalam struktur jaringan teroris manapun. Ia mulai menjadi simpatisan ISIS sejak 2016.
Mulyadi, berumur 28 tahun, terpapar paham radikal lewat Internet juga. Pedagang kosmetik itu, menurut polisi, diduga termotivasi oleh materi-materi di grup radikal messenger Telegram mengenai amaliyah bermodus penusukkan kepada anggota Polri dan kemudian melakukan perampasan senjata.
Dari tiga peritiwa itu kita bisa melihat sejumlah kesamaan profil pelaku. Mereka sama-sama simpatisan ISIS yang tidak terlibat dan masuk dalam struktur organisasi maupun jaringan teroris. Mereka sama-sama bertindak sendirian. Mereka sama-sama mendapatkan pemahaman radikal sendiri lewat internet. Dan, ini penting, mereka sama-sama anak muda. Ketiganya adalah contoh nyata swaradikalisasi di kalangan anak muda.
Fakta swaradikalisasi tersebut seharusnya membuat kita melihat ulang upaya-upaya deradikalisasi yang selama ini sudah dilakukan. Upaya deradikalisasi terhadap mereka yang telah menjadi bagian dari struktur organisasi atau jaringan teroris pastilah berbeda dengan upaya deradikalisasi bagi kaum muda yang meradikalkan dirinya sendiri.
Apakah yang telah disiapkan sebagai upaya deradikalisasi anak-anak muda, yang berkat internet sekarang jauh lebih mudah terpapar paham radikal? Lebih spesifik lagi, konten, platform, cyber culture apa yang telah dikembangkan untuk mencegah maupun membersihkan radikalisasi dari kaum muda?
Kita belum melihat upaya yang saksama untuk membangun karakter anak muda agar terhindar dari radikalisme yang fatal. Kita juga belum melihat ada upaya untuk menyediakan saluran yang baik bagi energi besar yang dimiliki anak muda. Ajang kompetisi yang positif bagi anak muda nyaris tak bisa kita temukan sekarang.
Seharusnya Kementerian Pemuda dan Olah Raga, serta tentu secara luas Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Dan Kebudayaan, mengambil peran lebih banyak dan serius.
Swaradikalisasi adalah harga mahal yang harus dibayar ketika anak muda diabaikan.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/swaradikalisasi-dan-pengabaian-kaum-muda