Dugaan orang dan gelagat-gelagat yang selama ini terlihat, sekarang terbukti. Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang merevisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas).
Penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 itu diumumkan oleh Menko Polhukam Wiranto pada Rabu (12/7) kemarin. Menurut Wiranto saat itu, Perppu itu sudah ditandatangani oleh Presiden sejak dua hari lalu, Senin 10 Juli lalu.
Keinginan pemerintah untuk melakukan revisi atas UU Ormas sudah terdengar sejak akhir November 2016 lalu. Keinginan itu disampaikan oleh Sudarmo, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, sehabis rapat terbatas di Kementerian Koordinator Polhukam. Revisi itu menyasar masalah ormas yang sering berbuat onar dan bertentangan dengan Pancasila.
Kebutuhan untuk merevisi UU Ormas itu semakin tegas disampaikan pemerintah selepas mengumumkan rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) awal Mei lalu. Rencana pembubaran itu, menurut pemerintah, terkait dengan kegiatan-kegiatan HTI yang dinilai bertentangan dengan tujuan, asas, ciri yang berdasarkan Pancasila dan UU Ormas.
Namun pemerintah juga sadar, jika mengikuti UU Ormas, proses pembubaran HTI akan makan waktu. Padahal pemerintah memandang penanganan ormas-ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi harus dilakukan sesegera mungkin; dan pada saat yang sama pemerintah berkomitmen untuk menanganinya tanpa melanggar hukum.
Gagasan untuk menerbitkan Perppu yang merevisi UU Ormas merupakan jalan keluar bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan itu. Terbitlah Perppu Nomor 22 Tahun 2017 yang merevisi UU Ormas itu.
Sedari awal gagasan penerbitan Perppu untuk merevisi UU Ormas tersebut membuat banyak pihak merasa cemas. Bagaimana pun UU Ormas merupakan hasil tarik menarik yang cukup ketat antara pemerintah dengan organisasi-organisasi masyarakat sipil.
Ketika masih berstatus Rancangan Undang-undang (RUU) Ormas, masyarakat sudah terlihat menentang. Masyarakat khawatir RUU itu akan membatasi kebebasan berserikat dan berkumpul. Meski begitu, RUU tersebut akhirnya disahkan oleh DPR.
Organisasi-organisasi masyarakat sipil mengajukan judicial review atas UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dari 21 pasal yang dimohonkan, MK membatalkan 10 pasal. Keputusan MK tersebut mengurangi peran negara dalam mengendalikan gerak ormas. Bahkan, jika dianggap sebagai cara untuk mengendalikan ormas, UU Ormas sebetulnya sudah lumpuh sejak keputusan MK tersebut.
Jadi sangatlah wajar jika hari-hari ini banyak di antara kita cemas dengan terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 itu. Namun pemerintah mempunyai pertimbangan sendiri untuk menerbitkannya.
Ada tiga dalih yang disampaikan Menko Polhukam Wiranto terkait penerbitan Perppu tersebut. Pertama, tindakan pemerintah sudah sesuai dengan putusan MK bahwa Presiden bisa mengeluarkan Perppu jika ada keadaan yang membutuhkan atau mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat.
Kedua, Perppu itu diterbitkan agar tidak terjadi kekosongan hukum. Ketiga, Perppu diterbitkan pada saat kekosongan hukum tidak bisa diatasi dengan cara membuat undang-undang baru, yang prosesnya akan memakan waktu cukup lama.
Jika kita mencermati perubahan-perubahan atas UU Ormas dalam Perppu tersebut, memang sangat terlihat bahwa pemerintah menghendaki jalan legal yang lebih ringkas dan tegas untuk menangani ormas-ormas yang dinilai bertentangan dengan dasar negara dan konstitusi. Itu hal pertama.
Mekanisme pemberian sanksi terhadap ormas yang melanggar larangan-larangan diperpendek. Tidak ada lagi peringatan-peringatan berjenjang dengan jangka waktu respon yang lama.
Selain itu, pemerintah sangat terlihat ingin menunjukkan ketegasan dalam mekanisme pemberian sanksi. Hal itu terlihat dari penghilangan kewajiban untuk melakukan upaya persuasi sebelum memberikan sanksi pada Pasal 60. Juga, tidak ada lagi sanksi penghentian kegiatan yang bersifat sementara.
Kedua, pemerintah memperluas pengertian dari "ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila" yang dilarang untuk dianut, dikembangkan, dan disebarkan oleh ormas.
Dalam UU Ormas sebelumnya "ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila" hanya merujuk kepada ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme saja. Sekarang, pengertiannya diperluas menjadi termasuk "paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".
Ketiga, pemerintah memberikan ketentuan pidana, yang sebelumya tidak termaktub dalam UU Ormas. Hal itu bisa dilihat pada penyisipan Bab baru. Yaitu Bab XVIIA dan Pasal 82A yang menyertainya.
Keempat, demi memperpendek dan mempertegas mekanisme pemberian sanksi, pemerintah tampaknya menghindarkan pertimbangan Mahkamah Agung, DPRD, dan proses pengadilan dalam menjatuhkan sanksi kepada ormas yang melanggar larangan. Pemerintah berdalih, cara tersebut berdasarkan asas contrarius actus: siapa yang memberikan izin, bisa mencabut izin.
Penghindaran proses pengadilan itulah yang sebetulnya sangat berisiko. Tanpa proses pengadilan, pemerintah menjadi satu-satunya juru tafsir atas perundang-undangan. Hal itu tergolong berbahaya dalam sebuah masyarakat demokrasi.
Jika saja sanksi-sanksi itu hanya terkait dengan prosedur formal, mungkin kita masih bisa memahami bahwa penghindaran proses pengadilan adalah sebuah langkah yang efisien. Namun karena sanksi-sanksi dalam UU Ormas itu terkait juga dengan penilaian dan tafsir atas kesesuaian dengan dengan sebuah konsep, maka penghindaran proses pengadilan menjadi sebuah langkah kekuasaan sepihak.
Perppu yang merevisi UU Ormas memang sudah ditandatangani. Namun kita berharap ada upaya baru yang tidak pendek akal untuk menjaga demokrasi sambil memastikan bahwa semua ormas harus tunduk kepada konstitusi.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/jalan-pintas-membubarkan-ormas