Dua tahun lalu Presiden Joko Widodo menyampaikan kekecewaannya terkait waktu bongkar muat hingga barang keluar pelabuhan (dwelling time) yang cukup lama di pelabuhan-pelabuhan kita dibandingkan dengan yang terjadi di negara lain. Dwelling time yang lama mengindikasikan inefisiensi. Bagi Presiden Joko Widodo, dwelling time adalah kunci untuk memastikan biaya logistik menjadi rendah.
Ada banyak faktor yang menyebabkan proses dwelling time memakan waktu cukup lama. Salah satu penyebabnya di pelabuhan Tanjung Priok, misal, adalah proses pengurusan barang impor yang termasuk kelompok barang kategori larangan terbatas (lartas). Barang-barang yang termasuk lartas adalah barang-barang yang dilarang atau dibatasi impor atau ekspornya.
Aturan mengenai lartas, pernah disebut oleh Bambang Brodjonegoro saat masih menjabat Menteri Keuangan, sering dijadikan permainan oleh pejabat pemberi izin untuk memperkaya diri sendiri. Itu bisa terjadi karena informasi mengenai lartas tidak transparan, dan beragamnya batasan lartas membuat aturan perizinan menjadi bersifat transaksional.
Proses pengurusan lartas melibatkan banyak pihak. Itulah yang membuat pengurusan lartas akan memakan waktu cukup lama. Otomatis juga akan memengaruhi lamanya dwelling time.
Ternyata penetapan kebijakan lartas, seperti diakui Menteri Keuangan Sri Mulyani, melibatkan banyak kementerian dan lembaga. Akibatnya, Bea Cukai harus bisa melaksanakan berbagai macam kebijakan tersebut.
Upaya untuk mengurangi lartas sudah dilakukan beberapa waktu sebelumnya dengan mengeluarkan sejumlah regulasi. Namun, Seperti diungkapkan Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution pada April lalu, jumlah lartas malah bertambah meski sudah ada regulasi tersebut.
Dengan Paket Kebijakan Ekonomi ke-15, yang diluncurkan Juni lalu, pemerintah tampaknya tidak menyurutkan tekad untuk mengurangi lartas tersebut. Kemenko Bidang Perekonomian saat ini sedang berkoordinasi dengan kementerian dam lembaga lain agar bisa menurunkan lartas menjadi 17% dari sekitar 10 ribu pos yang mengenakan tarif kepabeanan.
Isu seputar lartas hanyalah salah satu masalah yang muncul dalam sistem kepabeanan kita. Isu lain yang patut mendapat perhatian adalah impor berisiko tinggi; yaitu kegiatan impor barang yang mengandung peluang penyelewengan.
Peredaran barang ilegal selama ini disebabkan oleh praktik impor berisiko tinggi tersebut. Akibat dari peredaran barang ilegal itu, persaingan usaha menjadi tidak sehat; penerimaan negara pun menjadi tidak optimal.
Isu mengenai lartas dan impor berisiko tinggi itulah yang melatarbelakangi terbentuknya Satuan Tugas Penertiban Impor Berisiko Tinggi (Satgas PIBT). Satgas tersebut diketuai oleh Menkeu Sri Mulyani.
Jumlah importir yang tergolong berisiko tinggi, menurut Sri Mulyani, berkisar antara 1.300 sampai 1.500 importir. Dari jumlah itu, 679 diantaranya tidak mempunyai NPWP. Para importir ini terindikasi melakukan penyelundupan sebagian barang yang mereka impor. Mereka juga, menurut Sri Mulyani, menyuap petugas untuk memuluskan aksinya.
Barang-barang yang biasanya ada dalam praktik impor berisiko tinggi itu antara lain tekstil, elektronik, dan produk konsumsi. Berbagai macam barang itu dimasukkan dalam satu kontainer yang sama sehingga memerlukan penanganan yang berlebih. Akibatnya, upaya untuk mengurangi dwelling time menjadi sulit terwujud.
Porsi impor berisiko tinggi tersebut hanyalah 4,7% dari volume impor Indonesia per tahun. Nilai bea masuknya pun kecil. Yaitu, hanya 2% dari target perpajakan.
Namun, karena melibatkan praktik suap di dalamnya, porsi yang kecil itu bisa memunculkan persepsi bahwa sistem pabean di negeri kita bisa dikompromikan. Ini adalah persepsi yang berbahaya.
Satgas PIBT ini perlu kita apresiasi; bukan semata karena hadir untuk mengatasi persoalan impor berisiko tinggi itu saja. Kita patut mengapresiasinya karena Satgas PIBT ini melibatkan kementerian dan lembaga penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan Agung, dan TNI.
Praktik kotor para importir berisiko tinggi sering kali melibatkan beking yang diklaim berasal dari kementerian dan lembaga penegak hukum. Pelibatan sejumlah kementerian dan lembaga negara lain dalam Satgas PIBT bisa memberikan efek ke dua arah.
Pertama, mendorong para petugas Bea Cukai untuk sungguh-sungguh melakukan penertiban, tanpa pekewuh maupun takut bergesekan dengan lembaga lain. Kedua, memberikan sinyal ketegasan sikap kepada oknum-oknum dari lembaga mana pun yang mencoba membekingi praktik impor berisiko tinggi.
Dari kedua arah itu tampak bahwa pembentukan Satgas PIBT juga mengandung langkah politik internal yang taktis untuk memastikan semua pihak bekerja bersama menghentikan praktik kotor dalam sistem kepabeanan.
Kita berharap Satgas PIBT tidak menjadi satuan tugas papan nama saja. Kita memerlukan langkah nyata agar penerimaan negara menjadi lebih optimal, dan perekonomian dalam negeri lebih maju lagi.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/upaya-bersama-menertibkan-impor-berisiko-tinggi