Sebuah penelitian menunjukkan bahwa penduduk Indonesia tergolong sangat malas berjalan kaki. Tentu ada banyak alasan yang membuat sebagian dari kita malas berjalan kaki.
Cuaca panas dan kelembaban yang cukup tinggi di negeri kita sering disebut-sebut sebagai alasan seseorang malas berjalan kaki. Bagi mereka yang tinggal di perkotaan, selain polusi udara, faktor yang membuat banyak di antara kita malas berjalan kaki adalah pelanggaran peraturan dan pengabaian hak pejalan kaki dalam berlalulintas.
Para pengemudi angkutan umum terlalu mudah menuruti kemauan penumpang untuk menghentikan kendaraannya selain di halte yang telah ditentukan oleh peraturan lalu lintas. Penumpang kendaraan umum lebih suka berhenti di tempat yang membuatnya tak banyak berjalan kaki ke tempat tujuan.
Selain itu, di sejumlah kota yang padat, hak pejalan kaki cenderung diabaikan. Tak sedikit trotoar, yang seharusnya menjadi hak pedestrian, malah dijejali oleh pedagang kaki lima; atau malah menjadi tempat parkir kendaraan. Di kota yang penuh dengan kemacetan, trotoar bahkan menjadi lintasan sepeda motor. Miris.
Jembatan penyeberangan pun begitu. Masih ada jembatan penyeberangan yang dirancang tanpa memperhitungkan kenyamanan dan keamanan pejalan kaki: tanjakan/turunan yang terlalu tajam, penerangan yang sangat minim -bahkan tak ada, menjadi tempat berjualan atau mengemis, dan bahkan menjadi tempat penyeberangan sepeda motor pula.
Zebra cross bahkan nyaris tak dikenali fungsinya. Banyak pengendara yang menghentikan kendaraannya di zebra cross saat menunggu giliran melintas persimpangan jalan. Dalam situasi begitu, bukanlah urusan yang nyaman dan aman bagi pejalan kaki yang hendak menyeberang jalan.
Ada dua produk hukum yang secara gamblang menyatakan hak para pejalan kaki. Pertama, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang jalan.
Dalam UU Lalu lintas, hak pejalan kaki meliputi 3 hal. Pertama, berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung seperti trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain. Kedua, berhak mendapat prioritas menyeberang jalan di tempat penyeberangan. Ketiga, jika fasilitas penyeberangan jalan belum tersedia, pejalan kaki berhak menyeberang di tempat yang dipilih dengan memperhatikan keselamatan dirinya.
Ada sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak lain agar hak tersebut sungguh terjamin dan terlindungi, dan beberapa di antara disertai pidana bagi yang melanggarnya.
Pelanggaran atas hak pejalan kaki bukan melulu mengakibatkan ketidaknyamanan bagi kita untuk berjalan kaki. Bukan juga sekadar membuat kita malas berjalan kaki. Pelanggaran atas hak pejalan kaki seringkali juga mengakibatkan kecelakaan fatal yang memakan korban.
Data Korlantas Polri masih menunjukkan betapa tingginya angka yang kecelakaan yang melibatkan pejalan kaki. Salah satu kecelakaan lalu lintas paling mengenaskan yang memakan korban para pejalan kaki terjadi pada 2012. Kecelakaan yang terjadi di Jakarta itu menewaskan 8 orang dan melukai beberapa orang lainnya.
Benar bahwa kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pejalan kaki tidak selalu disebabkan oleh pelanggaran hak pejalan kaki; bisa juga disebabkan oleh pejalan kaki yang tidak mematuhi kewajibannya. Namun, yang perlu diingat, keselamatan dan kenyamanan pejalan kaki mempunyai keistimewaan dalam UU Lalu lintas: menjadi prioritas. Artinya, pejalan kaki adalah pihak yang pertama-tama harus diutamakan ketimbang lainnya.
Berbagai pelanggaran atas hak para pejalan kaki yang terjadi sekarang sudah sangat memprihatinkan. Yang tak kalah membuat kita geram adalah pembiaran atas pelanggaran-pelanggaran itu. Pembiaran yang berlarut-larut membuat pelanggaran hak pejalan kaki itu dipandang seolah sesuatu yang lazim.
Aparat seolah abai atas kewajibannya untuk melindungi hak pejalan kaki berdasarkan hukum. Para pejalan kaki dibiarkan bergesekan sendiri secara langsung dengan para pelanggar hukum.
Sebuah video yang viral pada 2012 memperlihatkan seorang perempuan pejalan kaki mengusir pemotor dari trotoar di bawah Jembatan Semanggi Jakarta. Nisa Famaya Amalia, nama perempuan itu, sendirian berhadap-hadapan menghadang para pengendara sepeda motor yang merampas hak pejalan kaki tersebut.
Penghadangan terhadap kendaraan bermotor yang merampas hak pejalan kaki di trotoar juga terjadi di Semarang pada 2016. Penghadangnya adalah Daffa Faros Oktoviarto, bocah yang saat itu masih duduk di kelas IV SD.
Tidak semua orang berani mengekspresikan kegeramannya terhadap pelanggaran hak pejalan kaki. Alfini adalah salah satu warga negara yang punya nyali menentang para pelanggar.
Koalisi Pejalan Kaki adalah salah satu kelompok yang getol melakukan sejumlah aksi untuk menyadarkan banyak orang tentang hak pejalan kaki. Aksi terbaru kelompok ini terekam mendapat penentangan dari pengguna jalan lain yang melanggar hak pejalan kaki.
Gesekan horisontal antara pejalan kaki dengan warga lain yang melanggar haknya seharusnya tidak perlu terjadi jika hukum dan aturan ditegakkan. Hukum menuntut ketaatan. Ketika ketaatan tak bisa dicapai, maka aparat negara wajib hadir untuk menegakkan hukum. Sayang sekali, kita lebih sering tidak melihat aparat bertindak ketika begitu banyak pelanggaran atas hak pejalan kaki terjadi setiap hari.
Hak pejalan kaki boleh jadi bukan isu besar setara dengan masalah terorisme, korupsi, atau isu politik dan ekonomi lainnya. Namun itu tidak berarti bahwa masalah hak pejalan kaki merupakan isu remeh temeh yang bisa diabaikan.
Lebih dari itu, membiarkan warga negara bergesekan dengan warga negara lain terkait dengan pelanggaran hak tersebut adalah posisi yang tidak bertanggung jawab. Aparat negara harus memenuhi kewajibannya untuk memastikan hukum berjalan dengan semestinya.
Kita tidak ingin hukum membusuk sebagai akibat dari pembiaran pelanggaran demi pelanggaran -sekecil apa pun- terjadi terus menerus.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/mengapa-mengabaikan-hak-pejalan-kaki