Aksi corat coret di situs Calonarang, yang diduga terjadi Sabtu (22/7/2017) petang, masih diselidiki oleh polisi. Namun aksi corat coret itu bukanlah aksi perusakan pertama yang terjadi di situs Calonarang, yang terletak di Dusun Butuh Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Perusakan terhadap situs itu, diyakini, telah terjadi sejak 1965. Banyak patung-patung yang semula berada di situs tersebut hilang sejak 1965. Patung-patung tersebut sebagian dirusak, dan sebagian lain dipendam. Aksi perusakan itu terjadi karena situs tersebut dipandang sebagai cermin kemusyrikan.
Perusakan itu menyisakan dua ambang pintu, dan empat buah umpak berbentuk prisma yang diperkirakan merupakan fondasi penyangga empat sudut rumah, dan dua buah balok. Semuanya itu terbuat dari bahan batuan andesit.
Isu perusakan situs Calonarang mencuat lagi pada 2014. Saat itu di situs tersebut muncul bangunan baru berupa tambahan plesteran semen. Umpak--benda purbakala di situs itu--ditaruh di atasnya, dengan menyatukannya dengan bangunan baru itu. Jelas, keaslian situs itu sudah dirusak.
Bukan cuma itu. Tambahan lainnya tak kalah ajaib: tiga makam yang disebut-sebut sebagai makam Calonarang, makam Ratna Manggali dan makam sang ajudan Calonarang. Padahal sebelumnya tidak pernah ada makam di situs tersebut.
Siapa pelaku pengrusakan pada tahun itu? Ternyata juru kunci situs Calonarang itu sendiri, yang bernama Ki Suyono Joyo Koentoro. Suyono berdalih, penambahan bangunan baru itu ditujukan agar para pengunjung nyaman bisa berteduh dan melakukan ritual di situs tersebut. Sejumlah pengunjung, berdasarkan kepercayaan dan keyakinannya, memang melakukan ritual di situs Calonarang.
Polisi saat itu mengaku akan menghentikan perusakan situs itu, dengan menghentikan proses pembangunan yang dilakukan Suyono. Benarkah? Yang pasti, saat kasus perusakan situs Calonarang mencuat lagi pada Juli tahun ini, ada tambahan bangunan baru lagi ditemukan di areal tersebut: kamar mandi permanen.
Selain itu, Suyono 'merias' situs itu dengan kain putih bergambar topeng dan keris. Benda purbakala--umpak dan ambang pintu--dicor menyerupai altar pemujaan. Ritual pemujaan tampaknya sering berlangsung di situ. Tampaknya semua hal itulah yang memicu protes berupa corat coret yang menambah kerusakan di situs tersebut bulan ini.
Situs Calonarang menjadi salah satu sudut dari potret besar nasib situs purbakala yang tidak terkelola dengan baik. Kerusakannya terjadi karena adanya alih fungsi dan gesekan budaya.
Selain situs Calonarang, ada sejumlah situs bersejarah lain yang rusak karena beralih fungsi. Di Dusun Kumisik, Desa Lawanganagung, Kecamatan Sugio Lamongan, sebuah situs yang diduga candi telah berubah menjadi makam. Situs Petilasan Damarwulan di Desa Sudimoro, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang juga rusak karena areal di sekitar beralih fungsi menjadi kolam pemancingan ikan.
Aktivitas pembangunan di areal sekitar juga sering menjadi penyebab kerusakan situs bersejarah. Situs budaya Waruga di Desa Kuwil Minahasa Utara, misal, mengalami kerusakan akibat pelaksanaan proyek pembangunan bendungan. Situs gua prasejarah di Kabupaten Tulungagung, contoh lain, terancam rusak akibat penambangan marmer.
Tak sedikit situs bersejarah rusak karena aksi vandalisme. Petilasan raja Thailand, Chulalakron, di kawasan Curug Dago dan situs purbakala Lava Bantal di Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman rusak akibat aksi vandal para pemburu batu akik.
Vandalisme juga telah merusak peninggalan sejarah di Liang Nyere, Kutai Timur. Begitu juga dengan situs peninggalan kerajaan Singhasari di Desa Torongrejo, Batu, yang rusak karena dibakar sejumlah orang.
Selain itu, kehancuran situs-situs bersejarah juga bisa disulut oleh penjarahan seperti yang terjadi atas bangunan purbakala Majapahit di kabupaten Mojokerto; atau ketidakcermatan dalam melakukan revitalisasi seperti terjadi pada Komplek Makam Sunan Giri, Gresik; atau karena memang terabaikan seperti menimpa nasib situs manusia purba di Kelurahan Gilimanuk, Kabupaten Jembrana.
Apapun penyebabnya, kerusakan situs semacam itu harus menjadi perhatian kita. Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya telah mengamanatkan perlindungan terhadap peninggalan-peninggalan bersejarah di sekitar kita.
Bukan semata menjadi tempat bagi artefak kuno, keberadaan situs purbakala mempunyai nilai penting bagi ilmu pengetahuan, sejarah, dan juga teknologi. Bahkan, situs purbakala harus dilihat sebagai jejak masa lalu sebuah bangsa. Dari jejak masa lalu itulah kita bisa melihat bagaimana karakter kita berkembang dan tumbuh, dan memroyeksikan masa depan kita sebagai sebuah bangsa.
Dengan memperlakukannya sebagai jejak masa lalu, tidak ada alasan bagi kita untuk dengan sengaja merusak situs-situs bersejarah di negeri kita. Perusakan situs purbakala dengan dalih perbedaan keyakinan masa lalu dan masa kini adalah tindakan yang tidak masuk akal.
Kita tidak perlu mencemaskan masa lalu, yang sudah barang tentu berbeda dengan masa kini. Justru, sebaliknya, kesadaran sejarah malah akan membuat kita lebih mantap memilih jalan hari ini, dan merencanakan masa depan kita. Kehilangan jejak masa lalu justru membahayakan orientasi kita ke masa depan.
Jika tak bisa terlibat dalam merawatnya, setidaknya, janganlah kita terlibat merusak situs-situs purbakala.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/jangan-rusak-situs-purbakala