Hentikan kekerasan di antara pendukung klub sepak bola

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

 

Olahraga itu memuliakan kita sebagai manusia. Lewat olahraga, kita ditantang untuk melakukan peregangan diri -baik secara fisik maupun mental- jauh dari yang kita duga; bagai ditantang untuk membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang mungkin belum kita duga sebelumnya. Itu adalah nilai yang menarik kita kepada semangat untuk mengatasi kondisi alamiah (nature) menjadi kemuliaan kita sebagai makhluk yang berbudaya (culture).

Di dalam olahraga kita diajarkan untuk belajar berkompetisi sebagai kawan dengan pihak lain. Bahkan, masih di dalam olah raga, kita dibentuk untuk menghormati dan mempercayai lawan kita. Tanpa rasa hormat dan percaya kepada lawan, olah raga tak pernah ada.

Namun marilah kita akui, seperti juga praktik lain yang melibatkan kompetisi, antusiasme dan kegempitaan praktik olahraga senantiasa dikelilingi oleh ancaman jebakan yang bisa menjauhkan kita dari nilai-nilai mulia tadi. Tidak sedikit orang, misal, masuk dalam jebakan persepsi bahwa, dalam olahraga, lawan adalah musuh yang perlu ditaklukkan dan dilumpuhkan. Padahal, dalam olah raga, lawan itu tak lebih dari sekadar kawan yang bersaing untuk memperebutkan kemenangan.

Distorsi pemahaman nilai-nilai sportivitas itu memberikan jalan bagi sebagian orang untuk menjadikan olah raga sebagai saluran dan dalih atas kecenderungan agresinya dalam bentuk kekerasan, yang bisa saja berujung pada kematian. Dan kita saat ini masih belum berhenti menyaksikan kematian seperti itu.

Kamis (27/7) kemarin ribuan bobotoh -pendukung Persib- mengantarkan jenazah Ricko Andrean ke tempat peristirahatannya yang terakhir di Tempat Pemakaman Umum muslim Cikutra Bandung. Ricko meninggal pada pagi harinya setelah lima hari dirawat di rumah sakit.

Anak muda yang masih berusia 21 tahun itu adalah korban kekerasan yang dilakukan pendukung grup sepak bola. Ironinya, Ricko adalah seorang bobotoh yang menjadi korban pengeroyokan sejumlah bobotoh pula, akibat kesalahpahaman.

Peristiwa pengeroyokan itu terjadi pada Sabtu (22/7). Pada hari itu, di Stadion Gelora Bandung Lautan Api Gedebage Bandung, berlangsung pertandingan antara Persib melawan Persija. Pendukung kedua klub sepak bola itu memang sudah dikenal saling berseteru.

Itu sebabnya, jauh-jauh hari polisi melarang The Jakmania -pendukung Persija- datang ke Bandung saat pertandingan berlangsung. Pada hari pertandingan, bahkan, polisi mengerahkan personelnya di pintu-pintu tol menuju Bandung untuk mengantisipasi masuknya The Jakmania.

Meskipun polisi sudah melakukan antisipasi, keributan di antara pendukung Persib dan Persija terjadi juga di stadion tempat pertandingan berlangsung. Keributan terjadi selepas usai babak pertama pertandingan. Sejumlah bobotoh mengeroyok seseorang yang dikira The Jak -pendukung Persija.

Ricko, yang kebetulan berada tak jauh, menghampiri sumber keributan. Orang yang terpojok oleh keroyokan sejumlah pendukung Persib itu mencoba berlindung di balik badan Ricko, yang beberapa saat sebelumnya menanggalkan atribut Persib. Kesalahpahaman pun terjadi. Ricko dikira bagian dari The Jak. Ia lalu dikeroyok oleh sesama bobotoh.

Ujung cerita Ricko sudah kita tahu. Ricko menambah daftar mereka yang menjadi korban kekerasan di antara pendukung klub sepak bola.

Akhir tahun lalu, terjadi bentrokan antar pendukung di Tol Cipali. Rombongan The Jakmania dalam perjalanan pulang selepas menyaksikan pertandingan Persija melawan Persib di Stadion Manahan, Solo. Dalam bentrokan itu anggota The Jakmania bernama Harun Al Rashid Lestaluhu tewas.

Masih pada tahun yang sama, pada bulan Oktober, pengeroyokan mewarnai pertandingan antara Persib melawan Gresik United i Stadion Wibawa Mukti, Bekasi. Seorang bobotoh remaja, bernama Muhammad Rovi, menjadi korban pengeroyokan di tengah perjalanannya untuk menyaksikan pertandingan itu. Rovi yang masih berumur 17 tahun itu tewas akibat pukulan benda tumpul.

Masih banyak nama yang menjadi korban kekerasan dalam perseteruan antar klub sepak bola kita. Upaya untuk mencegah terjadinya bentrokan kekerasan sudah banyak ditempuh, namun tampaknya masih jauh dari memadai. Kita tidak boleh lelah untuk mencari jalan agar kekerasan di antara pendukung klub sepak bola sungguh berhenti.

Peran komunitas masing-masing pendukung klub sepak bola sangatlah penting dalam upaya menghentikan kekerasan tersebut. Masing-masing komunitas harus memiliki keberanian untuk tidak hanya menjadi lingkungan yang membangkitkan dan menjunjung kesetiaan dan fanatisme terhadap klub sepak bolanya saja.

Komunitas-komunitas itu harus berani mempromosikan semangat dan nilai sportivitas. Sejumlah kegiatan bersama antar komunitas boleh jadi sudah layak dijajagi untuk membangun kepercayaan diri bahwa berkompetisi tidak selalu berarti bermusuhan.

Pemerintah pun harus memperlihatkan kesungguhan untuk menangani kasus-kasus kekerasan di antara pendukung klub sepak bola ke dalam proses hukum yang benar. Selain untuk menunjukkan wibawa hukum, kesungguhan untuk memroses kasus kekerasan itu juga untuk menimbulkan efek jera. Tak boleh ada pikiran bahwa kekerasan yang terkait dengan olahraga boleh dibiarkan.

Upaya-upaya itu sekaligus menjadi bagian dalam mewujudkan olah raga sebagai jalan kita untuk menjadi makhluk yang beradab dan berbudaya. Di dalam olah raga, watak keberingasan dan penaklukan bertransformasi menjadi nilai yang menjunjung keadilan, ketaatan kepada aturan, dan penghormatan kepada lawan sebagai sesama manusia.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/hentikan-kekerasan-di-antara-pendukung-klub-sepak-bola

Jaringan

Kontak