Pasangan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla punya janji cukup banyak di seputar isu hak asasi manusia (HAM). Janji mereka itu terlihat dalam visi misi dan program aksi sebagai salah satu calon dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 lalu.
Keduanya menjanjikan:
- Penghapusan regulasi yang berpotensi melanggar HAM kelompok rentan termasuk perempuan, anak, masyarakat adat, dan penyandang disabilitas;
- Pemberian jaminan perlindungan dan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan serta melakukan langkah-langkah hukum terhadap pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama;
- Memasukkan muatan HAM dalam kurikulum pendidikan umum di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Tingkat Pertama, maupun di dalam kurikulum pendidikan aparat Negara seperti TNI dan Polri;
- Penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu yang sampai saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia seperti: Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari - Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965;
- Penghapusan semua bentuk impunitas dalam sistem hukum nasional, termasuk di dalamnya merevisi UU Peradilan Militer yang pada masa lalu merupakan salah satu sumber pelanggaran HAM;
- Memperjuangkan penghormatan terhadap HAM di lingkungan negara-negara ASEAN untuk diimplementasikan sesuai kesepakatan yang sudah ditandatangani di dalam di dalam ASEAN - Charter.
Semuanya itu adalah hal penting, yang sebagian besar di antaranya tidak pernah ditangani secara tuntas selama bertahun-tahun sebelumnya. Tanpa penyelesaian yang jelas, beberapa kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu itu hanya akan menjadi bayang-bayang kelam yang diwariskan ke generasi berikutnya.
Itu sebabnya, dalam Pilpres 2014 yang lalu, visi misi pasangan Jokowi-JK tersebut menjadi salah satu daya tarik bagi pemilih. Tak bisa dimungkiri.
Wajar jika setelah Jokowi-JK terpilih sebagai pemenang Pilpres, warga negara menagih. Salah satu kelompok masyarakat yang secara rutin dan terbuka menagih penyelesaian atas berbagai kasus pelanggaran HAM berat adalah para aktivis HAM yang dikenal dengan Aksi Kamisan.
Setiap hari Kamis mereka melakukan aksi berdiam diri menghadap Istana Negara di Jakarta sambil membawa payung hitam. Kamis (27/7) kemarin adalah Kamis ke-500 dalam aksi mereka.
Aksi Kamisan ke-500 itu memang membuat kita teringat kembali bahwa sejumlah persoalan dan kasus pelanggaran HAM masih belum jelas langkah penyelesaiannya. Sampai hari ini kita masih bisa mempertanyakan apakah pemerintahan Jokowi-JK akan menuntaskan persoalan ini, seperti yang dijanjikan dalam visi misi mereka?
Pemerintah pernah menyampaikan rencana untuk membentuk Komite Rekonsiliasi untuk menuntaskan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu. Hal itu disampaikan oleh Jaksa Agung Prasetyo pada Mei 2015, selepas rapat bersama tim gabungan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Rencananya, Komite Rekonsiliasi itu akan terdiri dari Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Polri, TNI, Kementerian Hukum dan HAM, serta keluarga korban. Komite itu akan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Komite tersebut tidak akan menyelesaikan kasus per kasus pelanggaran HAM berat, melainkan secara bersamaan. Dengan cara itu, pelaku pelanggaran bukan lagi menunjuk kepada orang per orang, melainkan institusi.
Jelas, pemerintah cenderung memakai pendekatan non-yudisial untuk menyelesaikannya. Pemerintah berdalih, para saksi, pelaku dan bukti sudah susah didapatkan. Rencana itu dipertanyakan banyak pihak, terutama dari kalangan organisasi masyarakat sipil.
Kita sudah mempunyai Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia. Undang-undang tersebut mengamanatkan bahwa pihak yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat adalah pengadilan HAM.
Yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat dalam undang-undang tersebut meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kasus-kasus kerusuhan Mei, kasus Trisakti-Semanggi 1 dan 2, kasus penghilangan paksa, kasus Talang Sari Lampung, kasus Tanjung Priok, dan tragedi 1965 tergolong ke dalamnya. Dan semua kasus tersebut tertulis dalam visi misi Jokowi-JK sebagai kasus yang dijanjikan akan diselesaikan "secara berkeadilan."
Meskipun undang-undang dengan jelas menyebutkan Pengadilan HAM sebagai jalan untuk memutuskannya, namun pemerintahan Jokowi-JK tampak masih berkukuh menggunakan pendekatan non-yudisial.
Pada 2016, kembali Presiden Joko Widodo mengungkapkan rencana pembentukan Komite Rekonsiliasi itu. Tahun 2017 ini pemerintah, lewat Menko Polhukam Wiranto, kembali menekankan pendekatan non-yudisial untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu.
Mengapa pemerintah sangat bersikeras menghindarkan Pengadilan HAM sebagai jalan menyelesaikan kasus-kasus itu? Mengapa juga pemerintah ingin menyelesaikannya seolah seperti sebuah paket gabungan, bukan sebagai kasus per kasus? Mengapa pula pemerintah sedemikian cepat lebih memilih untuk membentuk Komisi Rekonsiliasi?
Pendekatan non-yudisial bagi kasus pelanggaran HAM berat, yang terjadi sebelum ada UU Pengadilan, memang dimungkinkan dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun UU Pengadilan HAM mengamanatkan bahwa Komisi Kebenaran dan Rekosiliasi tersebut dibentuk dengan undang-undang; bukan dibentuk begitu saja berdasarkan kemauan pemerintah.
Susah bagi kita untuk tidak berpikir bahwa arah yang dipilih oleh pemerintah tersebut lebih ditentukan oleh preferensi politik, ketimbang preferensi keadilan. Oleh karena itu, jika pemerintah bersikeras untuk melulu menggunakan pendekatan non-yudisial, cita-cita keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat itu tak akan tercapai.
Memenuhi janji politik adalah satu hal yang perlu dibuktikan oleh pemerintahan sekarang. Namun jauh lebih penting lagi adalah memenuhi keadilan bagi para korban dan keluarganya.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/antara-janji-politik-dan-keadilian-bagi-korban-pelanggaran-ham