Pilihan politik untuk mengembangkan otonomi daerah pada era reformasi bolehlah kita sebut sebagai sebuah capaian. Meskipun sudah dikenal dalam isu pemerintahan, praktik otonomi daerah pada era Orde Baru sangat lemah. Saat itu, praktik pemerintahan sangat sentralistis. Daerah punya ketergantungan yang tinggi terhadap Pusat.
Mengapa otonomi daerah? Pertanyaan itu mungkin bisa kita hadapkan ke pandangan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla. Dalam pidato penerimaan gelar Doktor Kehormatan bidang Hukum Pemerintahan Daerah di Universitas Andalas Padang, September 2016 lalu, JK memandang otonomi daerah adalah sebuah keniscayaan di negeri ini.
Keniscayaan itu, menurut Jusuf Kalla, dilatarbelakangi oleh tiga hal utama.
Pertama, kemajemukan yang ada di tengah masyarakat kita mengharuskan kehadiran otonomi daerah. Kemajemukan itu bisa dijaga dan dirawat dengan otonomi daerah.
Kedua, pemerintahan di negara kepulauan seperti Indonesia akan lebih efektif dan efisien jika dilangsungkan dengan sistem yang tidak sentralistis.
Ketiga, di mata Jusuf Kalla, pelaksanaan pemerintahan yang sentralistis dalam beberapa puluh tahun sebelumnya menghasilkan ketimpangan antardaerah yang sangat besar dan melemahnya kreativitas sumber daya manusia.
Lalu kemanakah arah otonomi daerah? Kita bisa melihatnya dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Daerah, menurut undang-undang tersebut, diarahkan kepada dua hal besar. Yaitu, mempercepat perwujudan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan daya saing.
Undang-undang yang sama dengan gamblang mengamanatkan bahwa perwujudan kesejahteraan masyarakat itu harus melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Peningkatan daya saing pun harus memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam perjalanan waktu penerapannya, kita bisa melihat banyak sekali persoalan otonomi daerah yang melenceng dari arah yang seharus ditujunya. Pada awal-awal masa reformasi, otonomi daerah lebih banyak melahirkan raja-raja kecil di masing-masing daerah. Otonomi luas yang berada di tingkat kabupaten/kota diterapkan dengan pelaksanaan yang sangat bebas atas kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Perspektif kekuasaan jauh lebih dominan ketimbang perspektif kesejahteraan dalam penerapan otonomi daerah selama bertahun-tahun selepas tumbangnya Orde Baru. Begitu banyak daerah-daerah otonom baru berkat pemekaran. Namun pemekaran daerah itu tidak berimbas kepada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.
Pemekaran daerah lebih tampak sebagai pemekaran kekuasaan, ketimbang pemekaran kesejahteraan masyarakat. Syahwat kekuasaan bisa membuat orang abai untuk menganalisis potensi kekayaan dan sumber pendapatan sebelum bersemangat untuk memekarkan daerah. Bukti yang tak terbantahkan atas hal tersebut adalah jumlah daerah tertinggal pernah bertambah banyak berkat pemekaran daerah.
Ketika otonomi daerah lebih menjadi kepedulian elite politik yang memiliki syahwat kekuasaan yang besar, maka kita memang tak bisa banyak berharap ada perbaikan dalam kesejahteraan masyarakatnya. Sejak zaman kemerdekaan sampai sekarang, mengutip Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat, salah satu persoalan otonomi daerah adalah kecenderungan pemimpin daerah yang bersifat elitis. Desentralisasinya pun cenderung elitis, bukan dari masyarakat.
Mengabaikan amanat untuk mewujudkan "kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat", penerapan otonomi daerah justru memunculkan masalah dalam masyarakat kita.
Salah satu kesimpulan sementara Otonomi Daerah dan Ketimpangan yang dilakukan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) adalah bahwa Otonomi daerah menjadi faktor pendorong ketimpangan ekonomi masyarakat.
"Salah satu contohnya," Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati, seperti dikutip Kompas, "adalah bahwa daerah ingin cara instan dalam membangun ekonomi sehingga yang dikembangkan adalah sektor-sektor mudah dan sektor-sektor para kroni. Sementara sektor yang memberikan nilai tambah dan meningkatkan kapasitas ekonomi daerah justru dibiarkan."
Tentu ini tidak berarti kita harus mundur kembali memilih sistem yang sentralistis. Kita perlu melakukan sejumlah pembenahan agar semangat otonomi daerah tidak melulu menjadi kuda tunggangan para pemburu kekuasaan dan rente.
Membangun dan menghidupkan etika politik yang berkiblat untuk mensejahterakan rakyat di tengah elite politik adalah salah satu hal yang perlu dilakukan. Tentu, itu saja tidak cukup.
Politik administrasi, sejauh dipahami sebagai upaya struktural untuk membuat Pemerintah Daerah bersiteguh kepada tujuan yang diamanatkan undang-undang, juga tak bisa diabaikan. Namun pembangunan ekonomi daerah, jelas, harus menjadi orientasi dalam mensejahterakan masyarakat.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/menengok-kembali-orientasi-penerapan-otonomi-daerah