Pekerjaan rumah itu bernama konflik agraria

Ilustrasi oleh Salni Setyadi

 

Jika kita cemas dengan peristiwa yang terjadi di Mesuji, Lampung, pada Selasa (1/8) lalu, itu lumrah. Di area Mesuji, yang secara administratif sebagian masuk wilayah Lampung dan sebagian lain masuk wilayah Sumatra Selatan, pernah terjadi peristiwa yang sangat membekas terkait konflik agraria.

Selasa awal Agustus lalu itu terjadi bentrokan antara warga Desa Sungai Cambai dan petugas pengamanan swakarsa perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Prima Alumga. Bentrokan itu mengakibatkan jatuhnya 3 orang korban luka tembak. Dua orang korban adalah petugas pengamanan swakarsa PT Prima Alumga. Sedangkan satu korban lainnya adalah warga Desa Sungai Cambai.

Selain menimbulkan korban luka, bentrokan itu juga mengakibatkan sejumlah aset PT Prima Alumga terbakar. Diperkirakan, pembakaran aset tersebut menimbulkan kerugian sebesar Rp4,5 miliar.

Bentrokan dipicu oleh pemasangan portal, berupa rangkaian drum, di Sungai Riya Tangis yang selama ini merupakan salah satu jalur transportasi bagi warga desa setempat. Pemasangan portal itu didorong oleh sejumlah kasus pencurian sawit di area perkebunan perusahaan tersebut.

Situasi panas akibat benturan warga masyarakat dengan perusahaan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri di wilayah Mesuji seringkali muncul. Pada 2011, Mesuji menjadi sorotan nasional saat sejumlah kasus bentrokan di Mesuji dalam beberapa tahun terakhir yang memakan banyak korban mencuat, disertai dengan foto dan rekamannya. Ada tiga kasus konflik agraria yang mencuat saat itu.

Pertama, kasus yang terkait dengan konflik lahan adat di dalam kawasan Hutan Tanaman Industri Register 45 Way Buaya antara antara masyarakat Kampung Talang Batu, Talang Gunung dan Labuhan Batin Kecamatan Way Serdang Kabupaten Mesuji Lampung dengan PT. Silva Inhutani.

Kedua, sengketa tanah lahan sawit antara warga Desa Sei Sodong Kecamatan Mesuji, Ogan Komering Ilir Sumatra Selatan dan PT. Sumber Wangi Alam yang ditandai dengan tewasnya dua petani yang diduga dibantai di tengah kebun kelapa sawit.

Ketiga, sengketa antara warga Desa Kagungan Dalam, Sri Tanjung, dan Nipah Kuning, Kecamatan Mesuji Kabupaten Lampung Utara dengan PT Barat Selatan Makmur Investindo.

Mesuji menjadi cermin betapa parah dan kusutnya konflik agraria di negeri kita: pihak yang terlibat sangat banyak dan pembiaran yang berlarut-larut.

Bentrokan yang terjadi Selasa lalu itu, menurut polisi, sudah usai dan situasi sudah kondusif. Kita tentu berharap, pemerintah tidak berhenti puas pada situasi yang temporer dan berada di permukaan saja. Bagaimana pun, sekali lagi, Mesuji mempunyai sejarah gelap terkait konflik agraria, dan konflik agraria di tengah masyarakat kita juga masih tinggi.

Awal tahun lalu Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat, konflik agraria selama 2016 meningkat hampir dua kali lipat ketimbang tahun sebelumnya. Sepanjang 2016 terjadi 450 kasus dengan luasan wilayah 1.265.027 hektare.

Pada tahun itu, yang paling bayak terjadi adalah konflik antara warga dengan perusahaan. Penyumbang terbanyak konflik agraria pada tahun itu adalah sektor perkebunan.

Data-data itu menegaskan bahwa salah satu pekerjaan rumah besar yang sedang kita hadapi adalah persoalan agraria. Sayangnya, penyelesaian atas persoalan-persoalan agraria ini terasa berjalan sangat lamban, tidak sebanding dengan percepatan munculnya konflik agraria yang baru.

Dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, ada lima program prioritas Reforma Agraria. Pertama, penguatan kerangka regulasi dan penyelesaian konflik agraria. Kedua, penataan penguasaan dan pemilikan tanah obyek Reforma Agraria. Ketiga, kepastian hukum dan legalisasi atas tanah obyek Reforma Agraria. Keempat, pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan dan produksi atas tanah obyek Reforma Agraria. Kelima, kelembagaan pelaksanaan Reforma Agraria Pusat dan Daerah.

Namun, itu tadi, sebagai sebuah upaya penyelesaian, langkah pemerintah sangat lamban. Sejumlah kasus konflik agraria baru mencuat. Bahkan kita juga mencium aroma kriminalisasi terhadap warga dalam sejumlah konflik agraria.

Konflik agraria selama ini selalu dimulai oleh konsesi pengelolaan tanah yang dipegang oleh pemodal untuk menghasilkan keuntungan ekonomi -yang juga memang kita butuhkan. Namun itu tidak berarti kita bisa menerima begitu saja eksklusi masyarakat dari wilayah kelolanya begitu saja; terlebih sambil menggunakan jalan kekerasan dan mengabaikan hak-haknya.

Pemihakan terhadap masyarakat justru seharusnya menjadi yang utama, tanpa bermaksud mengabaikan pentingnya memenuhi kebutuhan untuk memaksimalkan perolehan ekonomi atas lahan. Penghormatan terhadap budaya dan adat, penyikapan yang adil atas isu kepemilikan dan pemanfaatan lahan tampaknya jauh lebih penting untuk didahulukan.

Memprioritaskan penyelesaian pengadilan atas konflik agraria justru seringkali seperti mulai menyulut api dalam sekam. Terlebih jika penyelesaian model itu melibatkan keberpihakan aparat terhadap pemodal.

Tanah dan air, secara tradisional, adalah alasan-alasan penting bagi orang untuk hidup berbudaya dan berada. Tanpa itu, orang dipojokkan untuk berubah menjadi spesies tanpa adab dan budaya.

Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://beritagar.id/artikel/editorial/pekerjaan-rumah-itu-bernama-konflik-agraria

Kontak