Ada tiga foto berbeda yang menjadi viral dalam beberapa hari belakangan ini di Internet. Ketiganya menunjukkan sepeda motor yang mengangkut perkakas elektronik. Satu foto menunjukkan motor yang mengangkut televisi. Dua foto lain memperlihatkan sepeda motor yang mengangkut amplifier.
Semua perkakas elektronik yang diangkut motor dalam foto itu sama-sama ditempeli kertas bertuliskan yang menjelaskan bahwa barang yang diangkut bukanlah barang curian. Ketiga foto itu mewakili suasana psikologi masyarakat kita selepas kasus penganiayaan dan pembakaran seseorang yang dituduh mencuri amplifier. Geram dan cemas.
Hari pertama bulan Agustus tahun ini memang ditandai peristiwa yang memilukan. Seorang lelaki, berinisial MA, dianiaya oleh sekumpulan orang dan lalu dibakar hidup-hidup setelah dicurigai sebagai pencuri amplifier dari sebuah musala di Bekasi, Jawa Barat.
Banyak di antara kita geram dengan peristiwa itu karena tindakan penganiayaan dan pembakaran orang hidup-hidup itu sungguh mengusik rasa keadilan dan kemanusiaan kita. Lelaki itu mungkin saja mencuri; mungkin juga tidak. Tapi jelas, tak ada di antara kita yang berhak menganiaya dan membakarnya hidup-hidup.
Banyak di antara kita bertambah cemas selepas peristiwa itu karena kecenderungan keberingasan massa terkait main hakim sendiri tampak belum surut di masyarakat kita. Tidaklah terlalu sulit bagi kita untuk menemukan rekaman video amatir di beberapa kanal video di Internet yang memperlihatkan sejumlah kasus main hakim sendiri terhadap orang yang diduga maupun jelas-jelas dipergoki melakukan kejahatan.
Tindakan main hakim sendiri lebih sering terjadi selepas peristiwa kerusuhan 1998. Tumbangnya Orde Baru dan masuk era reformasi ditandai dengan sejumlah peristiwa kerusuhan. Dari sudut tertentu, kerusuhan itu sendiri bagai ekspresi perlawanan terhadap kekuasaan lama, penisbian simbol-simbol kontrol, dan delegitimasi terhadap hukum dan aparatnya yang dianggap sebagai organ kekuasaan dari penguasa sebelumnya.
Menyusul kerusuhan-kerusuhan itu, di level tertentu, hukum dan aparatnya kehilangan wibawa di mata masyarakat. Tidak dalam bentuk korupsi dan suap; melainkan munculnya vigilante -seroang atau sekelompok orang yang mengambil peran seolah aparat hukum yang main hakim sendiri.
Ada istilah yang dipopulerkan oleh media massa, yang tidak dikenal sebelum era reformasi. Istilah itu adalah "dimassa". Istilah itu merupakan serapan dari kata "massa" yang diberi imbuhan "di" untuk merujuk kepada kata kerja pasif: dikenai massa, dikeroyok oleh orang banyak. Kata kerja pasif "dimassa" itu hanya dipakai untuk pengeroyokan yang menimpa orang yang setidaknya diduga melakukan kejahatan.
Munculnya istilah itu bagai penanda bahwa ada kurun waktu dalam kehidupan sosial kita yang cukup diwarnai oleh peristiwa main hakim sendiri terhadap orang yang diduga atau dipergoki melakukan kejahatan. Sebuah kurun waktu yang harus dianggap sebagai waktu yang kelam dari sisi kemanusiaan dan penegakan hukum.
Ada dua hal yang perlu menjadi perhatian kita terkait hal tersebut. Pertama, membangun kewibawaan hukum dan aparatnya. Kedua, mewaspadai pencetus agresivitas yang tumbuh di masyarakat kita.
Syarat utama terwujudnya kewibawaan hukum adalah penegakan hukum yang adil, yang terbebas dari praktik kotor serupa korupsi, kolusi dan nepotisme. Itu sebabnya, dalam kasus penganiayaan dan pembakaran orang yang diduga sebagai pencuri itu, kita sangat menunggu proses hukum terhadap siapa pun yang terlibat.
Ekspose proses hukum terhadap mereka, yang terlibat dalam penganiayaan dan pembakaran itu, harus cukup memadai. Kita berharap, ekspose itu akan menjadi peringatan kepada seluruh warga negara bahwa vigilante tak bisa diterima dalam masyarakat kita.
Pada saat yang sama, kita berharap kepolisian memperbaharui sistemnya agar bisa memberikan respon cepat terhadap peristiwa sejenis. Di beberapa peristiwa, kita bisa menyaksikan bahwa aparat kepolisian berhasil meredakan upaya main hakim sendiri. Namun di beberapa peristiwa lain, polisi datang terlambat. Untuk menegakkan hukum dan ketertiban, negara tak boleh kalah gesit dari massa yang beringas.
Penegakan hukum yang adil bukan saja menjadi syarat utama untuk mendirikan kewibawaan hukum. Penegakan hukum juga merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi ketidakpatuhan sosial, yang sering menjadi pencetus dari sikap agresif dalam sebuah masyarakat. Untuk meredam ketidakpatuhan sosial itu, penegakan hukum sudah seharusnya dibarengi dengan upaya untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/keberingasan-massa-dan-kewibawaan-hukum-kita