Hari Minggu (13/8) kemarin, Presiden Joko Widodo secara simbolis menyerahkan 2.850 sertifikat tanah kepada warga Kabupaten Jember dan daerah sekitarnya. Termasuk Banyuwangi, Probolinggo, Lumajang, Bondowoso, Pasuruan, Probolinggo, dan Kabupaten Situbondo. Ini memang bukan seremoni pertama Presiden membagikan sertifikat tanah kepada warga.
Di Mandailing Natal pada akhir Maret Presiden menyerahkan 1.158 sertifikat. Di Cirebon pada pertengahan April Presiden menyerahkan 1.989 sertifikat. Di Boyolali pada akhir April Presiden menyerahkan 10.055 sertifikat. Pada akhir Mei di Malang Presiden menyerahkan 10.038 sertifikat. Awal Juni di Tasikmalaya Presiden menyerahkan 2.553 sertifikat; disusul kemudian pada pertengahan Juni menyerahkan 2.187 sertifikat di Purwokerto. Pada bulan Juli Presiden menyerahkan 6.000 sertifikat di Pekanbaru, dan 1.535 sertifikat di Balikpapan. Sebelum Jember, Presiden menyerahkan 5.903 sertifikat di Denpasar.
Pemerintah menargetkan untuk menerbitkan sertifikat tanah sebanyak 5 juta pada tahun ini. Target tersebut akan ditingkatkan pada 2018, sebanyak 7 juta sertifikat. Sedangkan pada 2019 ditingkatkan lagi sebesar 9 juta sertifikat sehingga pemerintah akan menerbitkan 21 juta sertifikat dalam periode 2017 sampai 2019.
Presiden Jokowi sangat serius dengan target-target itu. Presiden akan menggeser atau bahkan mengganti menteri yang tak mampu memenuhi target terkait penerbitan sertifikat tanah tersebut. 'Ancaman' Presiden itu sangat bisa dipahami sebab tahun lalu program ini berjalan sangat lamban.
Dalam pembukaan sidang kabinet paripurna di Istana Bogor awal tahun ini, untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di tengah perekonomian global yang lesu, Presiden menyampaikan bahwa fokus pemerintah tahun ini adalah pemerataan ekonomi. Salah satunya, melalui kebijakan redistribusi aset dan tanah. Presiden meminta, hal terkait konsesi rakyat, tanah adat, dan sertifikat tanah untuk rakyat harus menjadi fokus kerja pada tahun ini.
Penerbitan sertifikat tanah -sebagai bentuk legalisasi aset- dan redistribusi tanah adalah dua program Reforma Agraria. Legalisasi aset akan meliputi 4,5 juta hektare tanah. Begitu pula redistribusi tanah sehingga Reforma Agraria menarget 9 juta hektare tanah.
Reforma Agraria merupakan bagian dari program komprehensif pemerintah yang disebut sebagai Kebijakan Ekonomi Berkeadilan. Kebijakan tersebut, seperti disampaikan Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution, bersifat affirmative action untuk mencegah terjadinya reaksi negatif terhadap pasar, terhadap sistem demokrasi, sekaligus mencegah terjadinya friksi akibat konflik sosial di masyarakat.
Dengan kata lain, kebijakan tersebut ditujukan untuk mengatasi ketimpangan dalam masyarakat. Ada tiga area pokok yang tercakup dalam Kebijakan Ekonomi Berkeadilan tersebut.
Pertama, kebijakan berbasis peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM), yang meliputi vokasi, kewirausahaan dan pasar tenaga kerja.
Kedua, kebijakan berbasis kesempatan, yang meliputi sistem pajak berkeadilan, manufaktur dan ICT, ritel dan pasar, pembiayaan dan anggaran pemerintah.
Ketiga, kebijakan berbasis lahan. Reforma Agraria tercakup dalam kebijakan ini. Selain itu, kebijakan tersebut juga meliputi pertanian, perkebunan, masyarakat miskin kota, nelayan dan budidaya rumput laut.
Reforma Agraria diyakini oleh pemerintah, seperti disampaikan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, akan membantu mengurangi ketimpangan. Reforma Agraria difokuskan pada redistribusi aset, terutama pada lahan menganggur atau lahan yang sudah dimiliki orang tetapi tidak dipakai dalam waktu lama.
Dengan begitu, penguasaan lahan yang berlebihan oleh pihak tertentu akan berkurang. Kelompok yang termajinalkan akan lebih bisa memiliki akses terhadap kepemilikan aset lewat kebijakan tersebut.
Kita patut mengapresiasi langkah pemerintah ini. Kita berharap pemerintah menjalankan Reforma Agraria dengan penuh kesungguhan.
Di samping itu, kita berharap pemerintah memperjelas arah Reforma Agraria. Di berbagai kesempatan pemerintah hampir selalu mencampuradukkan program Reforma Agraria dengan perhutanan sosial.
Keduanya mungkin sama-sama mengarah kepada pemerataan ekonomi. Namun perhutanan sosial jelas berbeda dengan Reforma Agraria. Perhutanan sosial merupakan pemberian hak pengelolaan hutan kepada kelompok masyarakat. Saat ini program perhutanan sosial mencakup 12,7 juta hektare. Ada diantaranya dikelola oleh masyarakat adat. Ada juga yang dikonversikan menjadi lahan pertanian.
Pemilahan yang jelas antara program reforma agraria dengan perhutanan sosial perlu dilakukan agar tidak mengaburkan evaluasi atas capaian masing-masing program dalam menurunkan ketimpangan dalam masyarakat.
Pemerintah perlu menggubris kritik yang selama disampaikan oleh kalangan masyarakat sipil, yang mengingatkan agar kita tidak berhenti pada program pertanahan -semisal penerbitan sertifikat itu; melainkan harus sungguh mewujudkan reforma agraria.
Reforma agraria sudah barang tentu seharusnya tidak berhenti pada penerbitan sertifikat sebagai bentuk legalisasi tanah yang dipisahkan dengan redistribusi tanah.
Justru hal yang seharusnya pertama-tama dilakukan adalah redistribusi tanah dalam konteks mengoreksi ketimpangan dalam struktur agraria. Hasil dari redistribusi itulah yang kemudian dilegalisasi. Tak kalah penting, penyelesaian atas konflik agraria haruslah menjadi bagian dari reforma agraria itu sendiri.
Diterbitkan sebagai Editorial Beritagar.id
URL sumber: https://lokadata.id/artikel/reforma-agraria-jangan-berhenti-di-sertifikat-tanah